Saya pikir ini cinta,mungkin juga tidak pikirku.
Pasar adalah tempat yang terhitung cukup ramai  dan sering di kunjungi orang-orang. Mulai dari berbagai suku,ras,atau apapun. di satukan di tempat yang bernama pasar tersebut. Orang-orang di pasar saling membutuhkan. Ada orang yang menjual untuk mendapatkan keuntungan. membeli untuk mendapatkan keperluan. Semuanya benar-benar di satukan di tempat itu.
  Pagi hari itu hujan,beberapa jalanan harus tergenang air di sebabkan karena beberapa lubang. Keadaan tersebut cukup mempersulit beberapa pejalan kaki yang melewati jalan tersebut. Termasuk seruni.Â
Seruni selalu berdagang di sebuah pasar.Â
Hujan di pagi hari seperti ini bukan sesuatu hal aneh baginya.Â
Sebenarnya dia selalu bangun tidur lebih awal, sekitar pukul 4 pagi untuk ber-ibadah. Lalu pukul 5 pagi membantu ibunya membuat dan menyiapkan beraneka macam kue, untuk dia bawa dan jual ke pasar pukul 6 nantinya.
  Seruni tidak pernah melihat sosok seorang Ayah, dan entah kemana ayah Seruni saat ini. Dulu ayah Seruni adalah seorang pejuang. Saat Seruni tiga bulan di kandung ibunya,ayah seruni tertangkap dan di buang ke Digoel bersama dua rekannya. Kesedihan tentu benar-benar sangat di rasakan ibu seruni saat itu. Nenek seruni pada saat itu sering mengalihkan kesedihan anaknya dengan mengajaknya membuat beberapa macam kue, untuk lebih melupakan dan meredakan kesedihan yang pada saat itu ibu Seruni Alami.
Dulu mereka tak membawa kue-kue bikinan mereka ke pasar. Mereka hanya berjualan di sekitar desa dan sesekali ke desa terdekat yang tidak harus menempuh jarak jauh untuk mencapainya. Tapi kini, setelah ayahnya entah kemana dan neneknya tiada juga. Kini Seruni lah yang meneruskan semua itu.
  Sudah pukul 6 lebih 30 menit. Seruni bersiap ke pasar dengan memakai kain warisan dari ibunya yang dulu pernah juga di paka oleh mendiang neneknya. Hujan mengguyur cukup deras di atap rumah Seruni. Hingga beberapa kali, di iringi angin yang sesekali menggoyangkan beberapa bagian dari rumahnya.
Hujan berhenti 30 menit kemudian.bersama sinar-sinar yang muncul dari ufuk timur membawa kebahagian bagi mereka.
Seruni menyusuri jalan basah dan berlubang yang hampir-hampir semua lubang terisi oleh genangan air akibat hujan deras tadi. Kaki kecoklatan Seruni dan sendal pemberian ibunya terpaksa harus ikut tergenang oleh air dari lubang-lubang genangan air tersebut.
  Beberapa ratus meter dari lubang-lubang itu. Sebuah rumah bersuasana eropa milik seorang meneer,  tampak dari kejauhan, dan jika setiap pagi di rumah itu selalu terdengar alunan musik-musik dari komponis Renaissance, pendengaran Seruni cukup terbuka terhadap musik-musik seperti itu. Meskipun dia pikir musik semacam itu cukup begitu rumit baginya.Â
  Rumah tersebut di isi oleh satu keluarga yang ber-anggota suami,istri dan 2 anak-anaknya. Orang-orang di sekitar menyebut mereka keluarga Pieter. Beberapa penduduk desa senantiasa meminta bantuan pada Pieter. Entah itu perihal air,makanan, dan sebagainya.
Seruni selalu melewati rumah tersebut jika hendak akan pergi ke pasar untuk berjualan.
  Pada halaman depan rumah Pieter tersebut terdapat kursi panjang yang mengarah tepat ke arah jalan kecil itu. Marrie, orang sekitar mengenalnya dia istri meneer pemilik rumah eropa itu. Selalu duduk di kursi panjang bersama kedua anak-anaknya. Anak pertama Martin berumur 5 tahun, adiknya Ludwig berumur 3 tahun, bila melihat Seruni lewat, Marrie memanggil nama Seruni dengan lidah Belanda nya. "Seruni!,kemari!." Seruni menghampiri perlahan seraya menunduk mendengarkan suara Marrie yang terus berbicara dalam bahasanya. "Kowe, pakai alas kaki?, jangan buka. Pakai saja. Pakai," Seruni hendak melepas alas kakinya di lantai rumah Pieter tersebut.Â
  Halaman rumah Pieter cukup terawat, dengan lantai mengkilap dan beberapa vas bunga yang tersusun di atas rumput-rumput kecil di sekitar lantai-lantai tersebut. Seruni duduk di lantai menunjukan beberapa jenis kue-kuenya. Serta Marrie duduk di atas kursi tepat di hadapan kue-kue Seruni itu.
Anak-anaknya berlarian dari dalam rumah menuju mama mereka. Martin memilih-milih kue, sedangkan Ludwig duduk di pangkuan Marrie dan terlihat mengantuk sepertinya.
"kowe,buat ini kue?," tanya Marrie.
"ibu saya,nyonya," Seruni menunduk menjawabnya.
  Di pasar. Seruni sudah memiliki tempat untuk menjual kue-kuenya. Seruni membawa beberapa kain dan di ampar kan di atas meja lalu kue-kue tersebut di letakan nya di atas kain tersebut. Pembeli kue-kue Seruni hanya dari kalangan orang-orang tak ber-alas kaki.Â
  Pieter, suami Marrie itu biasanya mengunjungi Seruni di pasar. Dia sengaja berkunjung karena menyenangi kue-kue buatan ibu Seruni. Pieter, seorang berpostur tinggi khas Eropa. Dengan sepatu dan topi vilt yang sering di gunakannya. Seruni selalu mencuri-curi pandang saat Pieter beberapa kali lewat di hadapannya. Wajar saja, perempuan seumur seruni masih memiliki gejolak untuk merasakan sesuatu hal. Apalagi pada seorang pria seperti Pieter.
  Seruni memang sangat mengidam-idamkan pria totok seperti Pieter. Karena menurut seruni, dengan jalan seperti itu, hidupnya akan jauh lebih terjamin. dari berbagai hal apapun.
 "Mau ini satu," ucap Pieter dengan lidah belanda nya seraya menunjuk satu kue di hadapannya.
  "Ini,meneer?,"jawab gugup seruni kepadanya.
Seruni masih gugup,dengan sedikit menunduk,tapi masih mencuri-curi pandang kepada meneer di hadapannya.
  "Lalu,ini juga," meneer menunjuk kembali.  Â
  "ini uang,biar lebih.buat Kowe,ambil." Seruni perlahan mengambil uang yang di berikan Pieter. Seruni masih mengembalikan sisa uang pemberian Pieter. Pieter hanya tersenyum, lalu pergi dengan beberapa kue yang di bawanya.
  Kejadian bertemu dengan Pieter di pasar tadi seruni ceritakan pada ibunya. Ibunya menanggapi dengan semestinya.            "Meneer sudah punya istri,istrinya selalu baik sama kita," ucap ibu seruni.
Hasrat seruni untuk mengagumi Pieter tak dapat tertahan. Setiap malam, beberapa menit sebelum tidur, seruni selalu memperhatikan jalan kecil di depan rumahnya. Jalan kecil tersebut adalah jalan yang sering dia lalui Seruni untuk menuju rumah Pieter.
Dalam benak, Seruni memendam hasrat dan terkadang berpikir bagaimana agaknya jika dia memiliki suami seperti dirinya. Angin berhembus memainkan gorden menyibak pikiran-pikiran mengenai Pieter.
Seperti itulah kegiatan pagi seruni. Berjalan menyusuri jalan-jalan kecil dengan hiasan-hiasan rumput dan belukar yang tak pernah dipotong sebelumnya. Pagi ini, Pieter memanggil Seruni yang tengah lewat di depan halaman rumahnya. Marrie barangkali sibuk di ruang belakang merawat kedua anak-anaknya yang masih kecil itu.
  "Seruni,kemari," panggil Pieter.
Kaki kecoklatan nya melangkah perlahan dari balik kain,membawa kue bikinan ibunya.
  "Kowe mau ke pasar,seruni?."
  "hendak berangkat,tuan."
  "kowe punya wajah manis,sudah  Â
   bersuami?."
Meneer tersenyum seraya memegang dan mengusap kain dan kaki seruni,dan seruni hanya menunduk melihat tangan putih berbulu itu.
  Di perjalanan,tangan putih itu masih samar-samar terasa di kaki seruni,tangan hangat itu membikin gejolak seruni semakin naik dan pikir seruni---ah melayang bersamanya.
  Sudah dua hari meneer tidak terlihat oleh Seruni. Marrie berucap bahwa suaminya tengah berada di Belanda untuk mengunjungi orang tua nya. Pergi menggunakan kapal Belanda sekitar tiga hari sebelumnya. Seruni rindu tidak karuan,ingin sekali lagi dia merasakan tangan berbulu Pieter menyentuhnya lagi.
Karena ketiadaan Pieter, Marrie jadi meminta Seruni untuk lebih sering menemuinya. Seruni selalu datang ke rumah Pieter pada sore hari, meminta izin pada orangtuanya bahwa dia akan tidur di rumah Pieter pada malam harinya.
Marrie sungguh senang bukan kepalang. Pasalnya rumah itu terlalu luas jika di isi hanya oleh tiga orang saja.
  Setiap pagi seruni pulang ke rumah orang tuanya,mengambil kue-kue untuk di bawa ke pasar nantinya. Sore hari seperti biasanya Seruni pergi ke rumah Pieter membantu dan mengasuh anak mereka yang masih kecil-kecil itu. Menyiapkan makan malam pada pukul 7 dan menidurkan Martin dan Ludwig pada pukul sembilan lebih tiga puluh menit.
Selepas itu menyiapkan teh hangat untuk Marrie yang sering duduk-duduk di halaman seraya bersenandung menikmati udara sejuk pada malam itu.
"Kowe ini manis,belum ada suami,bukan?," tanya istri meneer.
"Belum,nyonya," Seruni menunduk tersenyum kecil memandang kaki putih Marrie di hadapannya.
"Aih...sayang,Seruni," melanjutkan senandungnya.
  Pieter kembali,setelah sekitar lima hari menghirup suasana Belanda yang saat itu tengah musim dingin di sana.
Anaknya berlarian menuju papa mereka. Martin dan Ludwig duduk di pangkuan papanya dengan iringan tawa bahagia yang tampak jelas di lihat seruni saat itu.
Seruni dan Marrie sudah menyiapkan berbagai hidangan di atas meja makan. Bahkan Pieter sudah dapat mencium harumnya dari jarak beberapa meter menuju rumah itu.
  Pieter tak mempermasalahkan keberadaan Seruni di rumah mereka. Pieter malah terlihat tampak senang dengan adanya Seruni bersama mereka di rumah itu. Karena pikir meneer, itu akan sangat membantu bagi keluarga mereka.
Sudah lewat beberapa minggu Seruni berada di rumah mereka. Seruni sudah jarang ke pasar, bahkan mengunjungi orangtuanya pun tidak, Marrie selalu berusaha agar Seruni selalu berada di sekitarnya dan membantu keluarga mereka.
Seruni di beri pakaian dan di pakai kan pakaian-pakaian Marrie, menggunakan alas kaki dan gaun-gaun pendek yang menjadi ciri khas orang-orang Belanda pada saat itu.
  Di satu ruangan tidur di rumah itu, Pieter selalu menjadi bayang-bayang seruni pada setiap malam itu. Pasalnya, hampir beberapa malam, Pieter selalu masuk ke kamar seruni, dengan alasan bertanya sesuatu hal perihal anak-anaknya,karena memang Seruni lah yang lebih banyak waktu bersama anak-anak mereka.
Pada awalnya seruni merasa terganggu, dan juga mungkin takut jika sekali waktu Marrie melihat mereka berduaan di kamar itu. Tapi,karena rayuan Belanda itu, Seruni jadi lebih leluasa,karena hasratnya itu.
  Saat itu tepat pukul sepuluh pagi,cuaca sudah sangat cerah,seruni tengah berada di halaman rumah bersama dua anak asuhnya. Ludwig berlarian menyusuri halaman yang ditumbuhi rumput-rumput serta kursi panjang yang sengaja di letakan menghadap ke arah jalan kecil di depan rumahnya. Martin duduk hendak tidur di pangkuan seruni karena mendengar alunan dari komponis Renaissance kegemaran Pieter.
Marrie pergi ke pasar sudah sekitar tiga puluh menit,dan sengaja agar Seruni yang mengurus Martin dan Ludwig untuk beberapa saat.
  Pieter membawa Martin dan Ludwig. Lalu Pieter menarik seruni ke belakang halaman rumah yang luas, bahkan lebih luas dari halaman depan rumahnya. Halaman belakang pun sama, di tumbuhi rumput-rumput kecil dan sekitar beberapa ratus meter terdapat turunan dan di turunan itu terdapat sungai kecil dengan air jernih, beberapa orang sering mengambilnya untuk keperluan, baik di minum atau pun di pergunakan untuk hal-hal lainnya.
Di seberang sungai masih terdapat rumput-rumput kecil luas yang terhampar bagai lautan,dan Pieter yang memilikinya.
Mereka berdua duduk menghadap sungai, merasakan angin yang secara tiba-tiba mengenai rambut mereka. Pieter mencium perlahan pipi seruni dengan bibirnya. Mencium bibir seruni dengan bibirnya. Seruni di dekapanya,di tidurkan tepat di bawahnya. Kain seruni di tarik dan di lempar sekitar satu meter dari arah mereka. Pieter masih memburu bibir seruni yang kemerah-merahan, tarikan dan hisapan, di genggamnya dada kecil seruni, tidak penuh di genggaman meneer pun.
Semua kain yang melekat di tubuh seruni sudah hilang, sebagian terbang terbawa angin melintasi sungai kecil di hadapan mereka.
Masih di dekapannya tubuh kecoklatan Seruni,Â
Tubuh itu jadi lebih mempesona karena sinar yang tertuju tepat ke arah seruni, Pieter menjelajahi hampir semua bagian tubuh seruni,tak ada yang dia lewatkan,dari setiap hutan dan lekukan-lekukan meneer jelajahi sudah. Seruni melenguh, serangan rudal Pieter tepat dan pas memporak-porandakan hasrat seruni yang tinggi itu.
Pieter melenguh bersama tiupan angin yang mengibaskan rambut Seruni dan samar-samar dari kejauhan terdengar suara tangisan Martin yang sebelumnya tertidur memanggil-manggil papanya yang tiba-tiba pergi entah kemana. Seruni terkejut tidak karuan mendorong tubuh Pieter yang tengah berada tepat di atasnya.
  Tiga puluh menit, Pieter berpakaian lengkap,kain seruni terbang terbawa angin menyebrangi sungai kecil di hadapan mereka. Pieter memangku Seruni dengan perlahan membawanya menelusuri lautan rumput menuju ke rumahnya.
  Marrie terkejut saat kembali dari pasar mendengar Martin menangis,Marrie Mencari-cari Seruni. Memanggil-manggil suaminya. Tapi mereka berdua masih tidak ada jawaban juga. Marrie duduk di halaman  membawa kedua anak-anaknya.
Samar-samar Marrie mendengar langkah berlari. Dari kejauhan dia melihat suaminya tengah memangku Seruni dengan tergesa-gesa,Marrie terkejut bukan kepalang. Pikirannya memburu ke arah Seruni yang tidak menggunakan selembar kain atau apapun.
Marrie berdiri beberapa menit melihat kejadian tersebut. Martin masih di pangkuannya. Pieter seperti tidak terkejut melihat istrinya. Dia melewati Marrie masih dalam keadaan tergesa-gesa seperti sebelumnya. Seruni terkejut, dia tidak tau harus bagaimana. Seperti semuanya sudah memang harus benar-benar terjadi.
  Marrie sakit, Seruni lah yang mengurus tanggung jawab di rumah tersebut. Pieter pergi ke Belanda untuk mengurus kepindahannya ke sana. Martin dan Ludwig saat ini menjadi urusan ibu Seruni. Beberapa hari kemudian,Saat Pieter kembali ke rumahnya. Marrie meninggal masih dalam keadaan sakit seperti sebelumnya. Pieter mengistirahatkan Marrie dengan sebuah penyesalan yang sebelumnya dia lakukan.
Setelah beberapa Minggu, Seruni berencana akan di bawa pergi ke Belanda oleh Pieter. Ibu seruni tentu tak menyetujui rencana tersebut. Tapi dengan perlahan seruni meyakinkan ibunya bahwa kepergiannya tersebut akan baik-baik saja.
Martin dan Ludwig tak di bawanya pergi ke Belanda juga. Pieter menyerahkan mereka kepada ibu Seruni untuk mengurusnya dan semua termasuk rumah itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H