"Kowe ini manis,belum ada suami,bukan?," tanya istri meneer.
"Belum,nyonya," Seruni menunduk tersenyum kecil memandang kaki putih Marrie di hadapannya.
"Aih...sayang,Seruni," melanjutkan senandungnya.
  Pieter kembali,setelah sekitar lima hari menghirup suasana Belanda yang saat itu tengah musim dingin di sana.
Anaknya berlarian menuju papa mereka. Martin dan Ludwig duduk di pangkuan papanya dengan iringan tawa bahagia yang tampak jelas di lihat seruni saat itu.
Seruni dan Marrie sudah menyiapkan berbagai hidangan di atas meja makan. Bahkan Pieter sudah dapat mencium harumnya dari jarak beberapa meter menuju rumah itu.
  Pieter tak mempermasalahkan keberadaan Seruni di rumah mereka. Pieter malah terlihat tampak senang dengan adanya Seruni bersama mereka di rumah itu. Karena pikir meneer, itu akan sangat membantu bagi keluarga mereka.
Sudah lewat beberapa minggu Seruni berada di rumah mereka. Seruni sudah jarang ke pasar, bahkan mengunjungi orangtuanya pun tidak, Marrie selalu berusaha agar Seruni selalu berada di sekitarnya dan membantu keluarga mereka.
Seruni di beri pakaian dan di pakai kan pakaian-pakaian Marrie, menggunakan alas kaki dan gaun-gaun pendek yang menjadi ciri khas orang-orang Belanda pada saat itu.
  Di satu ruangan tidur di rumah itu, Pieter selalu menjadi bayang-bayang seruni pada setiap malam itu. Pasalnya, hampir beberapa malam, Pieter selalu masuk ke kamar seruni, dengan alasan bertanya sesuatu hal perihal anak-anaknya,karena memang Seruni lah yang lebih banyak waktu bersama anak-anak mereka.
Pada awalnya seruni merasa terganggu, dan juga mungkin takut jika sekali waktu Marrie melihat mereka berduaan di kamar itu. Tapi,karena rayuan Belanda itu, Seruni jadi lebih leluasa,karena hasratnya itu.