Mohon tunggu...
septiya
septiya Mohon Tunggu... Administrasi - jarang nulis lebih sering mengkhayal

Penggemar pisang goreng ^^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

The Art of Liora (1)

2 Juni 2016   10:15 Diperbarui: 2 Juni 2016   14:45 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
art of liora ( http://www.leonidafremovgallery.com/Scenery?sort=pd.name&order=DESC&limit=50&page=2.)

Karya kolaborasi septiyaning dan Putri Apriani

Jika saja semua kata yang terlintas di pikiranmu itu mampu kau sampaikan, mengambil sedikit saja keberanian yang ada di dirimu. Lalu bagaimana jika tidak? Apakah kau yakin masih ada kesempatan suatu kali nanti?

Senyum merekah senantiasa menghiasi bibir Ratna hari ini, dengan berbalut baju toga dan menggenggam ijazah Ratna berpose berfoto dengan kedua orang tuanya. Setelah empat tahun lima tahun berjibaku dengan dunia kampus akhirnya hari ini tiba. Kelegaan yang  telah lama dinantinya. Perjuangan untuk mendapat gelar Sarjana Akuntansi berbuah manis. Rasa bangga kedua orang tua Ratna pun tidak bisa ditutupi lagi. Bahkan ibunya sempat menitikkan air mata saat nama Ratna dipanggil untuk menerima ijazah. Keharuan menyelimuti hati sang Ibunda.

“Selamat ya, Nduk,” sebuah kecupan mendarat di kening Ratna dari sang Ibunda. Dibalasnya dengan pelukan erat. Sang Ayah tak ketinggalan mengacungkan kedua jempol dengan senyum lebar. Hari yang sempurna.

***

Selang satu bulan, Ratna masih enggan meninggalkan kota ini. Kota yang telah menjadi rumah kedua untuknya.

“Ah pengen pulang tapi kok rasanya berat ninggalin Jogja ya?” Ratna memandang buku-buku kuliahnya yang masih terjejer rapi di rak kamar kostnya. Sudut-sudut kota ini rupanya telah membuat nyaman Ratna hingga ia masih betah di kota ini. Namun setiap ingin mengambil keputusan untuk tetap bertahan di kota ini, gadis yang hampir genap dua puluh dua tahun itu selalu ingat kata-kata ibunya. “Nduk, kapan kamu pulang? Barangmu sudah kamu bereskan belum?” pertanyaan itu lah yang selalu terngiang di benak Ratna.

Jemari Ratna kemudian mengetikkan sebuah nama web yang penyedia informasi lowongan pekerjaan. Dicermatinya daftar lowongan yang terpampang  di layar laptopnya. Mendapatkan pekerjaan di kota ini. Yah, mungkin itu bisa menjadi satu alasan untuk tetap tinggal di sini sementara waktu ini.

“Tok tok… Nana…” suara Ina memanggil dari balik pintu. Teman yang pertama kali ia kenal di awal “menjelajah” kota Istimewa ini.

“Kamu di BBM, telpon, WA, nggak jawab. Ternyata malah ngrungkel di kost-an.” suara Ina memenuhi kamar begitu pintu dibuka. Ratna hanya menanggapi dengan senyum khasnya yang memperlihatkan gigi gingsulnya.

“Kamu kapan mulai kerja?” Ratna kembali duduk di depan laptopnya. “Besok, hari ini temenin aku yuk cari sepatu ke Mataram.” Ina sibuk mematut diri di depan cermin panjang yang bersender di pojok kamar.

Mataram adalah sebuah nama jalan di Jogja. Tepat nya sebelah timur jalan Malioboro. Berderet kios sepatu di pinggir jalan. Pilihan sepatu di tempat ini pun tidak kalah bagusnya dengan di toko. Terlebih jika bisa menawar. Sepatu dengan kualitas bagus bisa didapat dengan harga lebih murah. Itulah kenapa Mataram ini akrab dengan mahasiswa dan anak sekolah di Jogja.

“Besok ada job fair di kampus teknik. Kamu ke sana aja.” suruh Ina melihat sahabatnya yang sibuk menscroll daftar lowongan kerja di laptopnya. Mungkin Ina benar kali ini, kesempatan itu bisa datang dari mana saja. Job fair mungkin bisa jadi jalannya untuk mendapatkan kerja.

***

Kata orang “suatu kebetulan” itu adalah hadiah dari Tuhan. Apakah itu benar? Apakah Tuhan memang menciptakan “suatu kebetulan”untuk manusia?

Berkas-berkas untuk dibawa ke job fair sudah rapih dalam tas. Ratna masih berputar ke kiri dan ke kanan mematut diri di depan cermin. Ada harapan yang besar di dadanya saat ini. Meskipun ia tahu, saingan tentu tidak sedikit.

Langkah kaki mantap memasuki gedung serba guna. Diperhatikannya satu persatu stand yang ada. Mencari di mana ada yang membuka lowongan untuk lulusan Akuntansi. Karena job fair ini berada di lingkungan kampus teknik. Lowongan yang dibuka kebanyak untuk jurusan teknik.

Ratna berhenti di sebuah stand perusahaan otomotif. Awalnya ia melihat banyak yang mengantri di depan stand yang didominasi warna biru langit itu, “silakan.” Seorang perempuan muda menyodorkan brosur kepada Ratna, “terima kasih.” Ratna bergeser ke tempat yang agak sepi.

Setelah membaca sekumpulan brosur yang ia dapat dari beberapa booth tadi. Ratna menyusun berkas-berkas yang dibawanya. Ada dua perusahaan yang membuatnya tertarik untuk mengajukan lamaran. Disusunnya dengan rapi sesuai dengan persyaratan yang tertera di brosur.

Setelah menyerahkan berkas lamaran ke perusahaan yang pertama, Ratna bergegas menunju perusahaan otomotif. Hanya dua posisi yang dibutuhkan perusahaan itu, namun apapun itu kuasa Tuhan ada di dalamnya. Hal itu yang ia pegang teguh. Satu bendel yang berisi CV, surat lamaran, foto kopi ijazah dan transkrip nilai beserta foto ia serahkan kepada seorang perempuan yang duduk di dalam stand.

“Mbak Ratna Amelia….”

“Ya…saya,” baru saja Ratna memutar badannya setelah menyerahkan berkasnya.

“Ini no urut untuk interview awal setelah jam makan siang nanti ya,” Ratna mengangguk, mengambil secarik kertas bertuliskan angka nol tiga. Interview? Ia sama sekali tidak mempersiapkan itu semalam. Lalu bagaimana nanti? Ah, bisa hilang satu kesempatannya kali ini.

***

Lepas makan siang Ratna berniat kembali ke booth perusahaan yang memproduksi mobil Jepang itu. BRUUKKK..!!

“Maaf.. maaf.. saya kurang hati-hati,” lelaki berperawakan cukup tinggi dengan kulit sawo matang itu menabrak Ratna. Sepertinya dia buru-buru.

“Iya nggak apa-apa, lain kali hati–hati ya,” ujar Ratna sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.

“Sekali lagi maaf ya Mbak……” ucapan lelaki itu menggantung. “Sepertinya saya tidak asing dengan anda. Tapi siapa ya?” tambahnya.

Dahi Ratna mengernyit. “Astaga…kamu Lio bukan? Anak kelas 3 IPS 1.” Ratna menutup mulutnya dengan tangan kanannya. Hampir saja dia berteriak menyadari siapa orang yang ada di depannya sekarang.

Lio. Lelaki yang pernah jadi teman sekelasnya ketika duduk di bangku kelas dua itu kini ada di hadapannya. Tak dipungkiri Ratna pernah menyimpan hati pada Lio, sayangnya Ratna tak pernah berani mengungkapkan perasaannya kepada Lio. Hingga akhirnya Ratna lebih memilih Rayhan yang lebih dulu menyatakan cinta.

Dalam kamusku, perempuan nggak boleh menyatakan cinta duluan. Begitu komitmen yang selalu Ratna pegang, hingga sekarang? Entahlah, hanya hatinya yang tahu.

“Cari kerja juga, Na? Long time no see,” tanya Lio pada wanita yang ada di hadapannya.

Ratna tersenyum, ia seakan tak percaya akan bertemu dengan teman lamanya di sini. Teman lama? Ah sepertinya tak hanya sekadar itu. “Iya, kamu juga?”

“Kamu sendiri? Nggak dianter sama Rayhan, Na?” Lio menatap mata Ratna. Matanya masih tajam seperti dulu.

Andai saja kamu tahu, Lio, bahwa aku tak pernah benar-benar menyukai Rayhan. Gumam Ratna dalam hati.

Lio melambaikan tangannya tepat di depan wajah Ratna. “Hei, Na, kalian masih pacaran kan?”

Ratna menggeleng, lalu tersenyum. “Udah ah bahas yang lain aja.” Mereka terdiam, lalu tak beberapa lama kemudian Ratna kembali bertanya pada Lio, “eh, tapi kalo kamu gimana? Kamu ke sini sendiri? Atau sama siapa? Sekarang kamu udah punya pacar dong, nggak jomblo terus,” tanpa Ratna sadari pertanyaan demi pertanyaan ia lontarkan kepada Lio.

Lio tertawa mendapat rentetan pertanyaan dari Ratna. “Tanyanya satu-satu dong. Kita duduk di sebelah sana yuk, biar lebih enak ngobrolnya,” ajak Lio yang mengarah pada sudut ruangan. Di sana para job hunter biasanya bisa duduk secara lesehan atau ‘ngemper’ secara bersama-sama.

“Aku ke sini sendiri kok. Masih jomblo. Belum ada lah yang mau sama pengangguran kayak aku gini.”

Ratna menepuk pundak Lio. “Jangan ngomong gitu. Kata siapa nggak ada yang mau sama kamu?”

“Aku bilangnya ‘belum’ lho ya, bukan ‘nggak ada’ yang mau sama aku. Barangkali perempuan di sebelahku ini mau sama aku,” Lio melirik Ratna.

Wajah Ratna mendadak merah seperti tomat. Lelaki yang berada di sampingnya saat ini memang tak pernah gagal membuatnya gugup. Bahkan sebelum Rayhan jadi pacarku, aku selalu mengharapkan kamu, Lio.Ungkap Ratna dalam hatinya

*ilustrasi 

Cerita Selanjutnya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun