ilustrasi : www.bimbingan.org
Bapak yang sudah sejak sepuluh menit yang lalu berdiri di dekat pintu. Adzan isya belum juga berkumandang. Tapi bapak sudah rapi dengan baju koko warna hijau muda dengan peci hitam. Bukan mushola yang akan ditujunya, melainkan sebuah masjid yang letaknya jauhnya dua kali lipat jarak dari rumah ke mushola.
“Ayo naik cepet, keburu iqamah nanti.”
“Sebentar to, ini kuncinya susah.” Aku masih mengotak-atik kunci pintu yang susah.
Aku selalu membonceng bapak ketika akan berangkat tarawih ke masjid. Bukan motor, tapi sepeda onthel.
“Pak, kok kita nggak ke mushola aja to, kan lebih dekat.”
“Mau ibadah kok pakai mikir jauh apa dekat to Nduk.”
“Biar berangkatnya nggak buru-buru gini lho pak.”
“Semakin awal itu semakin baik, nanti sampai di masjid masih bisa sempat sholat tahiyatul masjid.”
Bapak terus mengayuh sepeda menyusuri jalan kampung, sementara aku membonceng di belakang sambil mengomentari kebiasaan bapak itu.
Aku turun ketika sampai di halaman masjid.
Masjid ini tergolong masjid tua dibanding masjid yang lain yang berada di kampung ini.
Dan benar saja, setiap kali aku sampai di masjid. Suasana masjid masih sepi. Jamaah lain belum datang, baru dua orang bapak-bapak. Salah satunya yang biasanya menjadi muadzin. Selalu seperti ini.
_
Ketika tarawih selesai jamaah keluar bergegas pulang, ada beberapa yang bertahan di masjid untuk tadarus. Aku menunggu bapak di dekat parkiran.
“Nunggu siapa Ian ?” tanya salah seorang bapak yang mengenalku.
“Bapak.”
Dari kejauhan kelihatan bapak berjalan menuju ke arahku.
“Tadi, tak suruh ninggal aja. Kok nggak mau Diannya.” seloroh bapak itu lagi
“Ninggal gimana, wong buat temen kok.” Jawab bapak sambil mengambil sepedanya.
Buat bapak, aku yang membonceng setiap kali pergi dan pulang dari masjid dianggap sebagai teman perjalanan. Karena dengan bersama aku bapak bisa sambil ngobrol banyak hal. Ibu ? Ibu sudah pergi dulu bareng tetangga yang naik motor. Jadilah hanya aku.
Bapak mulai mengayuh sepedanya, beberapa jamaah sekitar masjid memilih untuk berjalan kaki.
“Ealah kebalik itu Ian. Harusnya kamu yang boncengin bapakmu.” canda salah seorang yang berjalan
“Ya ndak kuat aku bulek.” Jawabku sambil lalu
Bapak hanya tertawa mendengar gurauan itu.
_
Sama seperti remaja lainnya, aku terkadang malas untuk tarawih. Seperti malam ini. Setelah shalat maghrib aku masih klesotan di kasur. PAdahal jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah tujuh lewat lima menit. Samar- samar aku mendengar dari kamar kalau bapak sudah mengambil wudhu.
Setelahnya bapak menghampiri aku di kamar.
“Kok malah leyeh-leyeh, jam berapa ini. Sana cepet ambil wudhu.”
“Aku nggak berangkat ah Pak.”
“Kenapa? Wong nggak sakit, nggak kenapa-kenapa kok.”
“Tarawih kan nggak wajib Pak.” Kilahku biar tetap diperbolehkan untuk tidak berangkat.
“Kamu cuma bisa tarawih pas Ramadhan aja. Dikasih kesempatan kok nggak digunain.” Bapak pergi menuju kamarnya untuk berganti baju.
Aku dengan malas berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Sedikit menggerutu, karena dari dulu bapak selalu memaksa anak-anaknya untuk tidak bolong sholat tarawih meskipun hukumnya sunnah.
Di jalan setelah melewati tikungan, aku sempat bertanya sama bapak.
“Pak..kok bapak suka maksa Dian buat tarawih to. Yang lain aja mau tarawih atau nggak bapaknya boleh-bolehin aja kok.”
“Ya karena mereka bukan anak bapak.”
Aku terdiam mendengar hal itu. Inilah cara bapak mengajarkan aku tentang agama. Sementara bapak mengayuh sepeda tak berkata-kata lagi. Satu tikungan lagi masjid AL MUTTAQIN sudah terlihat.
-*-
NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community
Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H