Mohon tunggu...
Septiyana kharisma Putri
Septiyana kharisma Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ke Mana Larinya Harta Bersama Setelah Perceraian? Pembagian Harta Bersama dalam Perspektif Hukum Nasional dan Hukum Adat

14 Maret 2023   01:49 Diperbarui: 14 Maret 2023   01:52 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

BOOK REVIEW

Judul : Kemana Larinya Harta Bersama Setelah 

  Perceraian?

Pembagian Harta Bersama Dalam Perspektif 

Hukum Nasional Dan Hukum Adat

Penulis: Verlyta Swislyn, S.H., M.Kn

Penerbit: PT Elex Media Kompitundo

Terbit : 2020

Cetakan: Pertama 

Buku dengan judul "Kemana Larinya Harta Bersama Setelah Perceraian ? Pembagian Harta Bersama Dalam Perspektif Hukum Nasional dan Hukum Adat" karya Verlyta Swislyn ini sangat menarik untuk dipahami. Berisi hal-hal akurat yang sesuai dengan realita kehidupan masyarakat pada umumnya. Trend persoalan harta bersama dari masa ke masa semakin variatif, baik yang bersifat tradisional maupun konvensional. Buku ini merupakan buku yang dapat mengangkat secara komplek persoalan hukum harta bersama pada perkawinan dalam konteks ditengah perkembangan masyarakat.

Negara Indonesia terkenal dengan keragaman suku bangsa dan budayanya. Kita tetap hidup rukun dengan adanya perbedaan budaya antar suku bangsa dengan cara saling menghormati dan menghargai perbedaan di setiap daerah masing-masing. Selain hal itu masyarakat Indonesia juga menganut bermacam-macam agama, hal ini diatur dalam Pasal 61 ayat 1 dan 2 serta Pasal 64 ayat 1 dan 5, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Juncto Undang-Undang Nomor 24 tahun 2013 tentang UU Administrasi Kependudukan, agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ada 6 yaitu Islam,Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khong Cu. Namun dalam realitanya agama yang diakui oleh pemerintah pada saat ini ada 5 yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, berdasarkan ketentuian Peraturan Perundang-Undangan dan bagi pengahayatan kepercayaan tidak diisi tapi tetap dilayani dan dicatat dalam data kependudukan.

Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, memerlukan pergaulan hidup, bermasyarakat serta hidup bersama. Salah satu hidup bersama adalah keluarga yang lengkap. Dalam kehidupan perkawinan tentu terdapat konflik antar pasangan suami istri. Konflik perkawinan secara Intens sering menjadi akar munculnya masalah yang lebih kompleks yang bisa menyebabkan perceraian. Apabila perceraian terjadi sudah dapat dipastikan akan menimbulkan akibat terhadap orang-orang yang bersangkutan. Akibat hukum dari perceraian ini tentu menyangkut terhadap orang tua dari masing-masing pihak, anak dan harta kekayaan selama dalam perkawinan.

Perkawinan adalah sesuatu yang sakral dan mengakibatkan hubungan hukum antara suami dan istri. UU Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 merupakan bagian dari hukum keluarga yang tidak mengatur tentang kewarisan Tetapi hanya mengatur tentang harta perkawinan, pengaturan masalah ini akan dipengaruhi oleh hukum yang berlaku pada suami istri menikah, oleh karena itu bidang ini berkaitan dengan muatan hukum perselisihan. Suatu perkawinan akan melahirkan persoalan tentang harta kekayaan mengenai harta bersama suami istri maupun harta pribadi atau harta bawaan.

Dilihat dari sudut pandang Hukum Nasional menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, status hukum perkawinan menurut Kitab Undang-Undang hukum perdata terdiri dari tiga kategori :

a. Perkawinan yang dilangsungkan dengan perjanjian kawin bahwa antara suami istri yang bersangkutan tidak ada percampuran harta kekayaan.

b. Perkawinan yang dilangsungkan tidak dengan perjanjian kawin, maka sejak terjadinya perkawinan, maka demi hukum antara suami istri terjadi persatuan harta kekayaan.

c. Perkawinan dilangsungkan dengan perjanjian kawin ada pengecualian yaitu perkawinan yang dilangsungkan akan menimbulkan percampuran harta yang dikehendaki saja.

Suatu perkawinan yang sah memiliki akibat hukum terhadap kedudukan suami istri, harta serta kedudukan anak, orang tua dan perwalian, hal ini dapat dilihat dalam uraian berikut ini :

a.Hak dan Kewajiban Suami Istri

KUHPerdata dalam pasal 103 memulai dengan kaidah bahwa suami dan istri harus setia satu sama lain, tolong menolong dan saling membantu.

b.Harta Perkawinan

Kedudukan harta perkawinan dalam sebuah keluarga tidak lepas dari perjanjian perkawinan antara suami istri pada saat melangsungkan perkawinan.

Sebelum UU No. 1 Tahun 1974 ketentuan berkaitan dengan harta pengaturan harta kekayaan dalam hukum perkawinan yang terdapat dalam KUHPerdata dalam Pasal 139 sampai dengan Pasal 154, dimana hukum adat yang berlaku bagi semua golongan masyarakat dan hukum agama. Dalam pasal 119 KUHPerdata harta persatuan pribadi suami istri berlaku persatuan bulat. Hal tersebut merupakan cermin pandangan yang bersifat individual. Persatuan bulat sangat ideal bagi calon suami istri yang berjanji sehidup semati hendak melangsungkan perkawinan secara perdata. Tetapi jika dilihat lebih mendalam Persatuan bola tersebut tentu tidak sesuai dengan asas harta kekayaan pribadi suami istri menurut sistem budaya dan karakter Bangsa Indonesia, sebagian pandangan hidup orang timur yang bersifat kekeluargaan.

Hukum harta bersama sering mendapat perhatian dari para ahli hukum terutama para praktisi padahal harta bersama merupakan suatu masalah yang sangat berpengaruh di dalam kehidupan suami istri jika terjadi perceraian. Masalah harta bersama muncul jika terjadi perceraian sehingga dapat menimbulkan berbagai masalah hukum. Pada kondisi seperti ini adanya perjanjian perkawinan dapat menjadi jalan keluar untuk mengatasi perbedaan dan penyelesaian harta bersama yang didapat selama berumah tangga. 

Tidak dibuatnya perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum perkawinan dilaksanakan dapat memulai sengketa harta bersama antara suami dan istri, maka terjadi pembauran semua suami dan istri, lalu semua harta tersebut dianggap sebagai harta bersama. Hal ini tentu menimbulkan masalah apabila porsi pendapatan masing-masing tidak seimbang. 

Akibat hukum dari perceraian ini tentunya menyangkut pula terhadap anak dan harta kekayaan selama dalam perkawinan. Apabila terjadi putus perkawinan baik disebabkan karena kematian maupun perceraian dalam masyarakat hukum adat tentunya dilihat dari suami istri dan keluarga yang bersangkutan, Apakah mereka dalam garis keturunan patrileneal, matrilineal atau parental, Bagaimana konsep perkawinan yang mereka lakukan dan keadaan lingkungan yang mempengaruhi.

Hukum harta Perkawinan adalah peraturan hukum yang mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan suami istri yang telah melangsungkan perkawinan. Harta benda yang diperoleh selama masa perkawinan berlangsung itu merupakan harta bersama menjadi milik suami istri, sedangkan harta bersama dari suami atau istri masing-masing baik sebagai hadiah maupun warisan benda di bawah pengurusan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan hal lain. Dalam UU Perkawinan setidaknya dikenal 3 jenis harta yaitu:

a.Harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan. Harta ini merupakan benda yang dikuasai bersama selama perkawinan.

b.Harta bawaan adalah harta yang dibawa masing-masing pihak sebelum proses perkawinan dilakukan. Harta ini dikuasai oleh masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

c.Harta perolehan adalah harta yang diperoleh dari Hadiah atau warisan. Harta ini dikuasai oleh masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Dalam pasal 35 sampai dengan pasal 37 Bab Vll UU Perkawinan dikenal istilah harta yang terdapat dalam suatu keluarga yaitu harta bersama, harta bawaan, dan harta benda yang diperoleh masing-masing dari hadiah atau warisan, mengenai arti dan sumber dari harta itu sendiri tidak dijelaskan. Pasal-Pasal itu hanya menitikberatkan pada status daripada harta itu apabila perkawinan terputus.

Dilihat dari sudut pandang Hukum Adat, menurut hukum adat perceraian adalah peristiwa luar biasa yang merupakan masalah sosial dan yuridis yang sangat penting di dalam beberapa daerah di Indonesia. Pada umumnya aturan mengenai perkawinan dan perceraian di dalam hukum adat dipengaruhi oleh agama yang dianut oleh masyarakat adat yang bersangkutan, di mana anggota masyarakat adat tersebut berada di bawah hukum adat yang berlaku.

Jika terjadi perselisihan antara suami istri yang mengakibatkan perceraian, pada umumnya di lingkungan masyarakat adat, terutama yang memiliki ikatan kekerabatan, tidak langsung diajukan ke pengadilan melainkan diselesaikan terlebih dahulu atau melaksanakan musyawarah kerabat yang bersifat peradilan adat dalam arti menyelesaikan secara damai atau diselesaikan secara kekeluargaan antara kedua pihak yang berselisih, dari masing-masing pihak suami istri dapat menunjuk seseorang untuk mempengaruhi kedua pihak menjadi juru damai.

Apabila perceraian yang terjadi tidak lagi dapat diatasi dengan musyawarah kerabat dan istri kembali ke kerabat asalnya atau ke tempat lain, ia tidak berhak membawa kembali harta bawaannya, apalagi jika perceraian itu terjadi dikarenakan kesalahan istri karena berzina. Apabila pihak kerabat istri menuntut juga agar semua harta bawaan dikembalikan, maka kewajiban pihak kerabat istri mengembalikan uang jujur dan semua biaya yang telah dikeluarkan pihak suami dalam menyelenggarakan perkawinan mereka.

Dalam masyarakat matrilineal yang berlaku adalah perkawinan dalam bentuk perkawinan semenda, di mana setelah perkawinan suami masuk dalam kekerabatan istri. Pada golongan ini harta bersama terpisah dari harta bawaan istri dan harta bawaan suami, termasuk juga harta hadiah atau warisan yang dibawa masing-masing pihak ke dalam perkawinan. 

Dengan demikian harta yang dikuasai bersama adalah harta yang dihasilkan selama perkawinan atau dinamakan harta bersama. Jika terjadi perceraian maka yang sering menjadi masalah atau perselisihan adalah mengenai harta pencaharian atau harta bersama, sedangkan harta lainnya adalah harta bawaan masing-masing pihak suami-istri tidak menjadi masalah perselisihan, kecuali apabila harta bawaan itu terlibat bercampur ke dalam harta bersama.

Apabila dalam perkawinan seperti ini terbuka kemungkinan adanya budal yang bersifat umum, maka barang-barang yang termasuk di dalamnya dibagi dua antara suami dan istri. Pada hakikatnya jika tidak ada alasan yang berhubungan dengan adat seperti tidak dikaruniai anak, perzinahan si istri, mimpi-mimpi buruk, kepala keluarga dan hakim-hakim untuk waktu yang lama para pihak yang ingin bercerai diupayakan untuk tidak meneruskan niat mereka untuk bercerai di wilayah tertentu sangat jarang diadakan, namun lama-kelamaan setelah mengadakan musyawarah bersama agar semua akibat keuangan maupun tentang nasib anak-anak dapat ditetapkan, menyebabkan terjadinya perceraian. 

Dalam sebuah tertib hukum menurut garis keturunan ayah, sebuah pembubaran perkawinan mas kawin mengandung arti kembalinya sang istri dan mas kawin ke dalam kelompok kekerabatannya sendiri.

Dalam masyarakat adat yang berdasarkan parental (ke-orang tuaan) yang hanya terikat pada hubungan keluarga rumah tangga dibawah pimpinan ayah dan ibu, dan tidak terikat dengan hubungan kekerabatan yang lain, maka perkawinan yang banyak terjadi adalah perkawinan bebas atau perkawinan mandiri, yaitu dimana kedudukan suami istri seimbang dan bebas menentukan tempat tinggal sendiri, maka harta perkawinannya mendekati apa yang sudah diatur dalam UU Perkawinan yaitu adanya harta bersama yang dikuasai suami istri untuk dikuasai bersama dan adanya barang bawaan yang tetap dikuasai oleh masing-masing pihak suami istri kecuali ditentukan dengan ketentuan yang lain. Jika terjadi perceraian maka penyelesaiannya secara kekeluargaan, jika cara ini tidak tercapai maka masing-masing pihak dapat mengajukan tuntutannya melalui pengadilan.

Buku ini sangat bagus di baca untuk mendalami materi karena disertai dengan bahasa yang mudah dipahami. Buku ini juga bukan hanya menjelaskan tentang harta bersama seusai perceraian namun buku ini juga membahas tentang lahirnya kepercayaan parmalim. Namun jika pembaca melihat sekilas dari judul buku ini akan mengira bahwa buku ini dipenuhi dengan penjelasan yang sangat jelas mengenai pembagian harta bersama setelah perceraian. 

Namun pada kenyataannya menurut saya buku ini kurang menjelaskan tentang apa yang sesuai dengan judulnya melainkan menjelaskan tentang perkawinan dan penjelasan tentang asal-usul kepercayaan Parmalim dan disertai dengan budaya serta adat dari kepercayaan parmalim tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun