Mohon tunggu...
Septian DR
Septian DR Mohon Tunggu... Translator dan Wiraswasta -

TRANSLATOR & KOMIKUS

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pendekar Silat Lidah Bagian 2

3 Agustus 2016   11:21 Diperbarui: 3 Agustus 2016   11:29 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Minggu pagi tanggal 17 Juli 2016, aku terbangun, membuka mata menatap langit-langit ruangan kamarku yang bersih, lalu aku beringsut dan bersandar di tepian ranjangku. Sejenak kulirik Elsa yang masih tertidur pulas dengan pose menantang, maksudku pose yang begitu pasrah untuk kita cumbu, tapi tak kupedulikan. Tidak mengapa dia begitu, sangat wajar untuk wanita cantik dan seksi seperti dirinya yang sangat mendambakan cinta tapi jelas tak mampu meraihnya, begitu pun diriku. Kekuatan supermutan yang kami miliki memiliki konsekuensi jelas pada aspek reproduksi kami. Berdua kami tak bakal bisa punya anak. Kesedihanku akan hal itu sudah lama hilang, berbeda dengan Elsa yang tampaknya masih setengah hati menerima. Kutatap jam dinding di kamarku, jarum panjang menunjuk angka 12, jarum pendek menunjuk angka 6. Baiklah tiga menit bersandar di tepian ranjang cukup untuk memulihkan rasa kantukku dan memperkuat seluruh tenaga tubuhku, termasuk tenaga superku tentunya.

“Emmh, Edwin,” desah Elsa terbangun. “Jam … berapa?”

“Heksa.” balasku lalu berdiri dan menatap Elsa. “Kita sarapan apa pagi ini?”

Elsa beringsut bangun dan bersandar sejenak di dinding kamar. “Omelet orak-arik mau?”

Semua masakan Elsa itu lezat dan menyehatkan jadi aku langsung mengangguk tanpa ragu. Kubuka kunci pintu kamar, lalu setelah membuka pintu kamar, aku berkata kepada Elsa. “Aku mandi dulu, Sa.”

Elsa mengangguk, lalu melambaikan tangan sambil berkata. “Tolong tutup pintunya dulu.”

Kututup pintu kamarku, lalu aku berjalan menuju kamar mandi.

Saat itu terdengar suara mercon banting yang sangat keras dan memekakkan telinga tepat di halaman luar rumahku. Memang bukan hanya kekagetan yang kurasakan tapi indera superku langsung memberi isyarat bahaya bahwa ancaman tadi malam betul-betul terlaksana hari ini.

Mercon banting kembali terdengar dengan suara yang jauh lebih keras. Pintu kamarku terbuka dan Elsa dengan lingerie putihnya terbirit-birit mendekatiku. “Mereka menyerang sepagi ini?”

“Entahlah.”

Tiga bunyi keras mercon banting kali ini terdengar dekat sekali dengan pintu depan rumahku. Tak ayal lagi aku berlari ke depan, Elsa mengikutiku. Kubuka korden jendela dan kudapati enam orang pria sangar bertopeng dengan pakaian serba merah baik sweater maupun celana panjang terusan yang mereka kenakan serta sepatu bot yang bercat merah pula. Lucunya di bagian dada mereka ada logo lingkaran putih dengan kilat kuning, lalu kuperhatikan di kedua sisi telinga topeng merah mereka ada sayap kecil keemasan.

“Mereka berenam memakai kostum tokoh superhero The Flash.” kata Elsa sambil tersenyum mengelus punggungku. “Para fans DC Comics tampaknya.”

“Para fans DC Comics garis keras yang tak rela jagoan mereka mendapat kritikan tajam.” kataku menambahkan sambil menggelengkan kepala. “Apa mereka berenam tak punya pekerjaan lain?”

“Mereka jelas punya pekerjaan, Edwin. Ini hari Minggu dan pasti mereka libur. Lagipula menjadi fans garis keras DC Comics itu berarti mereka juga mempunyai berbagai merchandise-nya, bukan hanya komik versi softcover atau hardcover, tetapi segala pernak-perniknya pula, action figure, boneka, gantungan kunci, kaos, topi, handuk, jam tangan, mug, juga jaket dan sweater, itu pun baru sebagian kecil. Jelas bukan murah tapi mahal, pasti mereka semua para fans garis keras DC Comics itu berkantong tebal sekali dan punya kuasa juga koneksi di mana-mana. Lihat jalanan depan rumah kita begitu sepi, mungkin mereka telah membagi-bagikan uang para penguasa wilayah sini untuk leluasa mengepung rumah kita.”

Aku mengangguk setuju. “Masuk akal, Sa. Menurutmu bagaimana? Kita layani mereka?”

“Terserah kamu, Edwin.”

Enam orang fans garis keras berkostum The Flash itu secara serempak melempar mercon banting ke teras rumahku dan bunyi ledakan keras memekakkan telinga membuat Elsa spontan memelukku erat. “Kesabaranku habis, Edwin.” katanya dengan suara bergetar penuh amarah. “Akan kuhajar mereka!”

“Biar aku saja, Elsa.”

“Kubantu kamu dari lantai dua, Edwin.”

“Baik. Sana cepat.”

Elsa berlari kencang menaiki tangga menuju lantai dua, sementara aku membuka pintu rumah yang sudah kubuka kuncinya, lalu kututup kembali.

Enam orang fans garis keras ala The Flash itu tampak terperangah melihat aku berdiri, masih mengenakan kaos dalam putih polos dan celana pendek hijau lumut. “Melempar mercon ke rumah orang lain itu tindakan kriminal!” kataku lantang sambil mengacungkan telunjuk kananku pada mereka berenam.

Salah satu dari keenam fans garis keras itu berteriak padaku. “Mercon itu budaya kami sebagai orang Betawi tahu nggak lu? Lu aje bisanye mengkritik Batman dan Superman saja lu. Nih kami The Flash menuntut balas dendam!”

“Aku mengkritik film Batman v Superman atas dasar ilmu yang kumiliki, bukan asal mengkritik.”

“Berapa Rotten Tomatoes membayar gaji lu?”

Sungguh aku terperanjat mereka mengkaitkan hasil kerjaku mengulas film Batman v Superman dengan situs Tomat Busuk yang terkenal itu, situs yang berisi para kritikus film terkemuka dunia dalam bekerja menilai hasil karya seni bernama film dan memberikan skor 100% tomat segar untuk film yang sangat bagus dan berkualitas sangat tinggi. Aku tidak tergabung sama sekali dengan situs Tomat Busuk jadi kujawab saja pertanyaan iseng mereka itu dengan jawaban iseng. “Aku memang membayar para kritikus Tomat Busuk itu untuk memberi nilai buruk kepada film Batman v Superman.”

Serentak salah satu dari keenam orang itu memberi perintah komando dengan suara lantang. “SERANG KRITIKUS JAHANAM INI!”

Keenam fans garis keras itu melesat kencang mengepungku, tapi sigap aku melayang di udara satu meter di atas tinggi tubuh mereka berenam. “Ayo serang aku.” kataku mencoba tenang, menurunkan kadar emosiku.

Enam orang fans garis keras itu mendongak ke atas sambil melongo tanpa bisa berkata sedikit pun. Dengan sekali tendangan kaki kanan, aku bisa merobohkan mereka semua sampai pingsan berhari-hari, tapi aku tetap memilih diam melayang. Kutunggu reaksi mereka.

“Lu … superhero?” tanya salah satu fans garis keras yang terhuyung-huyung mundur ke belakang, lalu berbalik badan dan berlari kencang menjauh.

“PERGI KALIAN SEMUA!” bentakku sambil menyemburkan angin panas dari mulutku, membuat lima orang fans garis keras yang tersisa terlontar menjauh ke tepi jalan.

Setelah keenam orang fans garis keras itu kabur, aku segera turun menjejak tanah kembali. Tak ada yang melihat aksiku tadi karena lingkungan sekitar rumahku walau padat rumah penduduk tapi pagi ini tampak sangat sepi. Segera aku masuk rumah dan mengunci pintu, lalu aku segera masuk ke kamar mandi dan terkesiap saat Elsa tengah asyik berendam di bathtub yang penuh busa sabun wangi.

“Mereka sudah kabur tentunya?” tanya Elsa mengerling nakal kepadaku. “Bisa kurasakan dari sini kok.”

“Tampaknya rahasia kita terbongkar, Sa.” kataku santai masuk ke bilik shower di sebelah kiri lalu melepas semua pakaian yang kukenakan.

“Cepat atau lambat pasti terbongkar, Edwin.”

Aku menaruh kaos dalam dan celanaku yang kotor ke bak besar biru tempat cucian kotor yang sudah penuh dengan lingerie, celdam dan kutang Elsa, lalu kunyalakan shower dan kubasuh seluruh bagian tubuhku dengan air, mengenyahkan kotoran dan kuman yang lengket di seluruh tubuhku lalu kuguyur shower lagi, kuambil sabun cair rasa daun sirih segar lalu kutuang ke busa kuning yang tadi kuambil dari gantungan dinding shower, lalu setelah kucampuri shower sedikit langsung kubasuh ke seluruh tubuhku sampai segar, lalu kubilas seluruhnya sampai segar berseri, tak lupa kukeramas rambutku dengan sampo anti ketombe rasa lemon, kubilas rambutku. Kusiram lagi seluruh tubuhku dengan shower, lalu setelah semua usai, aku mengambil handuk hijau terang yang tergantung di gantungan dinding shower, terus kukeringkan seluruh tubuhku. Bersih, segar dan wangi kini seluruh tubuhku.

Setelah membebatkan handuk hijau terang menutupi bagian perut sampai lutut, aku berjalan keluar dari ruang shower, menoleh pada Elsa yang telah selesai berendam dan kini mengenakan kimono putih serta tengah menguras air bekas bathtub sampai bersih. Elsa buru-buru menyusulku keluar kamar mandi. “Mandi bebek ya kamu?” tanyanya sambil tertawa riang.

“Lebih cepat lebih baik, Sa. Sudah lapar ini, masak yuk? Tadi apa usulmu? Omelet orak-arik?”

Elsa mengangguk, lalu mengelus siku tangan kiriku dan cepat-cepat berlari masuk kamarnya sendiri, menutup pintu. Aku masuk ke kamarku sendiri. Setelah mengenakan kaos kuning Golok Setan karya seniorku Pak Mansyur Daman serta celana pendek selutut warna merah berpola garis hitam putih kecil-kecil, aku merapikan kamar tidurku.

Kubuka pintu kamarku dan kulihat Elsa mengenakan kaos pink bermotif silindris tanpa lengan dan celana jins biru gelap keluar dari dapur. “Habis sarapan kita belanja tengah bulan, Edwin.” katanya sambil menjentikkan jari tangan kirinya kepadaku.

Aku mengangguk sambil membalas menjentikkan jari tangan kananku kepadanya. “Sarapan sudah siap?”

“Ayo santap.”

Omelet orak arik buatan Elsa seperti biasa begitu lezat. Menurut penuturan Elsa sendiri saat memasak tadi – dan tidak sempat kusaksikan karena aku tengah membersihkan dan merapikan kamarku – dia mencampur dua telur bebek dengan garam dan sedikit gula tambah sedikit campuran tepung terigu dan irisan bawang putih serta cabe merah dan lada serta remasan tahu dan juga soun yang telah dia tiriskan. Elsa mencampur seluruh bahan tadi jadi satu di wajan dengan api panas dan hasilnya jadilah Omelet orak arik khasnya.

“Tante tak pernah memasak seperti ini untuk kamu?” tanya Elsa.

Aku menggeleng. “Tak pernah lagi.” kataku getir. “Entahlah, Sa. Tak ingat aku.”

“Anggap saja aku sebagai pengganti Tante.”

“Kau takkan bisa menggantikan Mamaku, Elsa.”

Elsa manggut-manggut. “Terserah jawabmu.”

Selesai makan dan minum, Elsa mencuci piring dan gelas, sementara aku menuju ke ruang garasi yang belum lama kubangun. Garasi kubuka kemudian kuhidupkan mesin mobil Honda Brio merah kami yang telah setahun ini kami beli dan juga sudah kami lunasi.

Pukul delapan pagi, kami meluncur menuju supermarket HERO di bilangan Permata Hijau untuk belanja bulanan. Aku menyetir, Elsa duduk di belakang sambil tiduran, sudah seperti sopir taksi saja aku ini. Di hari minggu pagi ini, jalan Kebayoran Lama yang kami lewati masih lumayan sepi.

“Kenapa sepi ya hari ini?” Elsa beringsut bangkit, lalu merebahkan kursi kiri depan, berpindah duduk di sampingku. Dia tegakkan lagi kursi kiri depan itu, lalu dia pakai sabuk pengaman. “Oh ya ini hari Minggu? Hahaha.”

Aku menoleh pada Elsa sekilas sambil mengerutkan keningku. “Lupa hari juga kau ini. Mimpi apa kau tadi malam, Sa?”

Elsa tersenyum dengan mata memandang langit-langit mobil. “Aku mimpi masuk surga, Edwin.”

Aku mengangguk-angguk ikut tersenyum. “Kita berdua adalah penghuni surga kelak, Sa.”

“Entahlah, Edwin. Dosaku sudah terlalu banyak.”

“Dosaku juga banyak, Sa.”

“Kenapa kita berdua malah bicara tentang dosa?”

“Kau sendiri yang bilang bermimpi masuk surga. Buat mimpimu jadi nyata, Sa.”

“Apa model sepertiku bisa masuk surga?”

“Yang kutahu ada pelacur masuk surga karena memberi minum anjing yang kehausan di tengah gurun pasir yang terik.”

Elsa mengangguk-angguk lalu diam, terus diam sampai kami masuk ke halaman parkir supermarket HERO. Aku mengambil tiket parkir dengan menekan tombol hijau, lalu kuparkir Honda Brio merah kami ini di ruang parkir yang masih lowong. Elsa masih diam saja, pandangannya tertumbuk ke kaca depan. Entah apa yang dia pikirkan. Kumatikan mesin mobil dan kulepas sabuk pengamanku. Kulihat Elsa juga berbuat hal yang sama, lalu berbarengan kami keluar dari mobil sambil menutup pintu. Kuaktifkan alarm pengaman, lalu aku menghampiri Elsa yang berdiri bersandar di samping pintu kiri mobil. Dia menggandengku dengan tangan kanannya sambil tersenyum, masih diam saja.

“Kau akan diam terus begini sampai kita selesai belanja? Daftar belanjaannya mana?” tanyaku bingung.

Elsa menunjuk bagian belakang kepalanya dengan tangan kiri, lalu mengacungkan jempol tangan kirinya itu.

“Kalau begitu aku yang mendorong kereta, kau yang mengambil barang belanjaannya.”

“Memang seperti itu.” kata Elsa setengah berbisik. “Terus gandeng aku begini sampai kita masuk ke HERO.”

“Nanti kita beli barang belanjaan sesuai keperluan atau lebih, Sa?”

“Itu terserah aku, Edwin. Kalau ada yang lebih kubayar sendiri.”

“Jangan khawatir, Sa. Kubayari nanti.”

“Kita lihat saja nanti, Edwin.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun