Aku menggeleng. “Tak pernah lagi.” kataku getir. “Entahlah, Sa. Tak ingat aku.”
“Anggap saja aku sebagai pengganti Tante.”
“Kau takkan bisa menggantikan Mamaku, Elsa.”
Elsa manggut-manggut. “Terserah jawabmu.”
Selesai makan dan minum, Elsa mencuci piring dan gelas, sementara aku menuju ke ruang garasi yang belum lama kubangun. Garasi kubuka kemudian kuhidupkan mesin mobil Honda Brio merah kami yang telah setahun ini kami beli dan juga sudah kami lunasi.
Pukul delapan pagi, kami meluncur menuju supermarket HERO di bilangan Permata Hijau untuk belanja bulanan. Aku menyetir, Elsa duduk di belakang sambil tiduran, sudah seperti sopir taksi saja aku ini. Di hari minggu pagi ini, jalan Kebayoran Lama yang kami lewati masih lumayan sepi.
“Kenapa sepi ya hari ini?” Elsa beringsut bangkit, lalu merebahkan kursi kiri depan, berpindah duduk di sampingku. Dia tegakkan lagi kursi kiri depan itu, lalu dia pakai sabuk pengaman. “Oh ya ini hari Minggu? Hahaha.”
Aku menoleh pada Elsa sekilas sambil mengerutkan keningku. “Lupa hari juga kau ini. Mimpi apa kau tadi malam, Sa?”
Elsa tersenyum dengan mata memandang langit-langit mobil. “Aku mimpi masuk surga, Edwin.”
Aku mengangguk-angguk ikut tersenyum. “Kita berdua adalah penghuni surga kelak, Sa.”
“Entahlah, Edwin. Dosaku sudah terlalu banyak.”