Perebutan Tahta Dunia
Pasca BRICS Summit 2024 di Kazan, Russia, wacana mata uang BRICS kembali mengemuka. Presiden Rusia dan Brazil yang terang-terangan mengemukakan ide tersebut dalam rangka mengurangi dependensi pada US Dollar.Â
Berbagai pendapat dan informasi kemudian berkembang liar, hingga memicu respon Presiden AS terpilih, Donald Trump. Sang Presiden dengan lantang memperingatkan negara-negara BRICS bahwa upaya menggantikan "the Mighty US Dollars", maka mereka akan dikenakan tarif dagang 100%!
Meskipun beberapa pihak melihat respons Trump terlalu over-reactive dan mencerminkan celah kurangnya confidence terhadap US Dollar, namun tampaknya masih cukup efektif sebagai peringatan keras.Â
Beberapa negara BRICS seperti India dan Afrika Selatan langsung menyampaikan pernyataan bahwa mereka tidak memiliki agenda de-dolarisasi. Padahal ancaman Trump tersebut justru dapat berdampak keras pada ekonomi AS karena ternyata negara adidaya ini sejak 1975 terus mengalami defisit neraca perdagangan, alias total impor lebih besar daripada total ekspor. Pengenaan tarif impor tinggi tentu akan membuat harga-harga di AS melambung, memicu inflasi dan berbagai masalah ekonomi.
Namun menimbang karakter Donald Trump saat menjadi presiden di era 2018 lalu, peringatan itu tentu tidak bisa dipandang sebelah mata. Masih hangat dalam ingatan ketika perang dagang AS dan China mengakibatkan gejolak ekonomi yang berdampak ke hampir seluruh dunia.
Meskipun secara faktual, berdasarkan data IMF, penggunaan US Dollar sebagai cadangan devisa global telah menurun dari 72% di era Post World War II menjadi 59% di tahun 2022. Namun kekuatan the Greenbacks dalam hal pertukaran mata uang masih sangat dominan, berdasarkan data Bank for International Settlements tahun 2022, sebesar 88% transaksi foreign exchange masih didominasi US Dollar.
Status US Dollar sebagai world’s reserve currency membuat Amerika Serikat leluasa mempengaruhi sistem keuangan dunia. Federal Reserve atau the Fed, bank sentral AS bisa terus mencetak uang dalam jumlah besar, karena hampir semua negara pasti menggunakan US dollar untuk perdagangan internasional kan?. Pemerintah AS juga bisa mengenakan sanksi kepada negara yang berlawanan karena banyak negara bergantung pada US Dollar untuk transaksi impor penting seperti minyak, bahan pangan, hingga teknologi. Itulah mengapa AS merasa terusik ketika ada negara lain yang mencoba menyaingi dominasi mereka.
Meskipun BRICS terus berupaya mendobrak, namun beberapa riset global juga mengungkapkan bahwa jalan untuk mendongkel dominasi Amerika Serikat masih akan panjang. Riset Liu ZZ dan Papa M. (2022) yang diterbitkan Cambridge University menyoroti berbagai kepentingan dibalik BRICS dan strategi de-dolarisasi harus menghadapi "status quo" seperti SWIFT payment system, global oil trade, dan pengaruh keuangan IMF.
Research paper dari Greene (2023) dari Carnegie Endowment for International Peace juga menyoroti tensi geopolitik menjadi concern mengingat berbagai konflik dan sanksi ekonomi membuat volatilitas global menjadi sulit diprediksi. Bagi negara-negara berkembang, upaya dedolarisasi membuat stabilitas ekonomi mereka lebih terekspos berbagai risiko.