Mohon tunggu...
Septian Ananggadipa
Septian Ananggadipa Mohon Tunggu... Auditor - So let man observed from what he created

Pejalan kaki (septianangga7@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Mengapa AS Gusar dengan Rencana Mata Uang BRICS?

13 Desember 2024   09:52 Diperbarui: 15 Desember 2024   05:03 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Pixabay oleh kirill_makes_pics (2017)

Semenjak usainya Perang Dunia II, Amerika Serikat (AS) menjadi powerhouse terkuat di dunia. Di kala itu, negara yang dipimpin Franklin D. Roosevelt ini menjadi yang terdepan dalam hal ekonomi, teknologi, politik, dan militer. Selain itu, Amerika Serikat merupakan negara pemilik cadangan emas (gold reserves) terbesar di dunia. 

Kedigdayaan itulah yang membuat negara-negara lain menyepakati Bretton Woods Agreement tahun 1944 untuk mengaitkan mata uangnya dengan US Dollar, dalam rangka memfasilitasi investasi dan perdagangan internasional.

Di era tersebut juga didirikan International Monetary Fund (IMF), World Trade Organization (WTO), dan International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), yang disebut terakhir ini kemudian berkembang menjadi World Bank Group. 

Dinamika tersebut membuat cengkraman Amerika Serikat ke ekonomi dunia semakin kuat. Seiring dengan rekonstruksi dunia pasca perang dan tumbuhnya perdagangan internasional, US Dollar menjadi mata uang yang paling banyak digunakan di dunia, menggeser British Pound yang sebelumnya berjaya di era kolonial.

Namun di beberapa dekade terakhir, hegemoni Amerika Serikat sebagai global super power terus menghadapi tantangan. Mulai dari melesatnya ekonomi negara-negara Asia, hantaman krisis ekonomi, hingga berbagai konflik di belahan dunia. Selain itu, di tahun 2009 empat negara besar dunia yaitu Brazil, Rusia, India, China, membentuk sebuah koalisi ekonomi yang disebut BRIC. Setahun kemudian, South Africa bergabung sehingga kelompok ini disebut dengan BRICS.

Kini kelompok tersebut telah berkembang dengan bergabungnya Iran, Mesir, Ethiopia, dan Uni Emirat Arab. Lalu di BRICS Summit 2024 lalu, beberapa negara lain seperti Indonesia, Malaysia, Turkey, Mexico dan Nigeria mengutarakan potensi untuk turut bergabung.

Sebagai aliansi kekuatan ekonomi, BRICS memiliki berbagai agenda untuk memperkuat kerja sama antar anggotanya, seperti pendirian New Development Bank, kerjasama di bidang sains, teknologi, perdagangan, pendidikan, hingga integrasi sistem pembayaran. 

Dalam aspek keuangan internasional, salah satu agenda besar yang didengungkan adalah pengembangan mata uang BRICS untuk mengurangi ketergantungan terhadap US Dollar. Dengan dimotori negara-negara ekonomi jumbo seperti China dan Rusia, pergerakan BRICS ini tentu dipandang akan menyaingi hegemoni Amerika Serikat. Bukan rahasia umum bahwa dari berbagai bidang, The American Eagle tidak harmonis dengan China dan Rusia.

Berdasarkan data IMF, secara agregat Gross Domestic Product (GDP) yang telah disesuaikan dengan Purchasing Power Parity (PPP), negara BRICS telah mencapai 32,1% total GDP global, melampaui G7 yang memiliki 29,9%. Sebagai informasi, G7 adalah koalisi ekonomi negara-negara maju yang dipimpin AS dan beranggotakan Kanada, United Kingdom, Perancis, Italia, Jerman, dan Jepang.

Sumber: IMF diolah oleh Statista (2023)
Sumber: IMF diolah oleh Statista (2023)


Perebutan Tahta Dunia

Pasca BRICS Summit 2024 di Kazan, Russia, wacana mata uang BRICS kembali mengemuka. Presiden Rusia dan Brazil yang terang-terangan mengemukakan ide tersebut dalam rangka mengurangi dependensi pada US Dollar. 

Berbagai pendapat dan informasi kemudian berkembang liar, hingga memicu respon Presiden AS terpilih, Donald Trump. Sang Presiden dengan lantang memperingatkan negara-negara BRICS bahwa upaya menggantikan "the Mighty US Dollars", maka mereka akan dikenakan tarif dagang 100%!

Meskipun beberapa pihak melihat respons Trump terlalu over-reactive dan mencerminkan celah kurangnya confidence terhadap US Dollar, namun tampaknya masih cukup efektif sebagai peringatan keras. 

Beberapa negara BRICS seperti India dan Afrika Selatan langsung menyampaikan pernyataan bahwa mereka tidak memiliki agenda de-dolarisasi. Padahal ancaman Trump tersebut justru dapat berdampak keras pada ekonomi AS karena ternyata negara adidaya ini sejak 1975 terus mengalami defisit neraca perdagangan, alias total impor lebih besar daripada total ekspor. Pengenaan tarif impor tinggi tentu akan membuat harga-harga di AS melambung, memicu inflasi dan berbagai masalah ekonomi.

Namun menimbang karakter Donald Trump saat menjadi presiden di era 2018 lalu, peringatan itu tentu tidak bisa dipandang sebelah mata. Masih hangat dalam ingatan ketika perang dagang AS dan China mengakibatkan gejolak ekonomi yang berdampak ke hampir seluruh dunia.

Meskipun secara faktual, berdasarkan data IMF, penggunaan US Dollar sebagai cadangan devisa global telah menurun dari 72% di era Post World War II menjadi 59% di tahun 2022. Namun kekuatan the Greenbacks dalam hal pertukaran mata uang masih sangat dominan, berdasarkan data Bank for International Settlements tahun 2022, sebesar 88% transaksi foreign exchange masih didominasi US Dollar.

Status US Dollar sebagai world’s reserve currency membuat Amerika Serikat leluasa mempengaruhi sistem keuangan dunia. Federal Reserve atau the Fed, bank sentral AS bisa terus mencetak uang dalam jumlah besar, karena hampir semua negara pasti menggunakan US dollar untuk perdagangan internasional kan?. Pemerintah AS juga bisa mengenakan sanksi kepada negara yang berlawanan karena banyak negara bergantung pada US Dollar untuk transaksi impor penting seperti minyak, bahan pangan, hingga teknologi. Itulah mengapa AS merasa terusik ketika ada negara lain yang mencoba menyaingi dominasi mereka.

Meskipun BRICS terus berupaya mendobrak, namun beberapa riset global juga mengungkapkan bahwa jalan untuk mendongkel dominasi Amerika Serikat masih akan panjang. Riset Liu ZZ dan Papa M. (2022) yang diterbitkan Cambridge University menyoroti berbagai kepentingan dibalik BRICS dan strategi de-dolarisasi harus menghadapi "status quo" seperti SWIFT payment system, global oil trade, dan pengaruh keuangan IMF.

Research paper dari Greene (2023) dari Carnegie Endowment for International Peace juga menyoroti tensi geopolitik menjadi concern mengingat berbagai konflik dan sanksi ekonomi membuat volatilitas global menjadi sulit diprediksi. Bagi negara-negara berkembang, upaya dedolarisasi membuat stabilitas ekonomi mereka lebih terekspos berbagai risiko.

Sumber: ING think (2024)
Sumber: ING think (2024)

Meskipun begitu, BRICS tidak diam dan pasif menghadapi hegemoni AS. Beberapa langkah strategis seperti pengembangan Cross-Border Interbank Payment System (CIPS) sebagai alternatif SWIFT, ekspansi BRICS New Development Bank (NDB) untuk mengurangi ketergantungan pada IMF, dan project M-Bridge yang menjadi pionir integrasi Central Bank Digital Currency (CBDC). 

Dari data ING Think (2024), juga menyajikan fakta bahwa bank-bank sentral China, Russia, dan India secara gradual terus meningkatkan cadangan emasnya sebagai diversifikasi aset dan menjadi "hedging" terhadap risiko volatilitas mata uang. Seluruh dunia tentu memperhatikan ketika AS secara sepihak membekukan aset-aset US Dollar milik bank sentral Rusia saat konflik dengan Ukraina meletus.

Persaingan sengit antara BRICS dengan AS beserta sekutunya masih akan berlanjut di berbagai episode mendatang, dan sangat mungkin berdampak pada stabilitas ekonomi global. 

Dengan berpedoman pada sikap politik "bebas aktif", Indonesia melakukan langkah-langkah yang menarik untuk dicermati, disatu sisi menunjukkan ketertarikan bergabung dengan The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang identik dengan AS dan aliansinya, namun juga menyatakan keinginan untuk merapat ke BRICS, yang tentunya berseberangan dengan kepentingan AS. 

Adu kekuasaan antara BRICS dan AS beserta sekutunya akan membuat apapun bisa terjadi di geopolitik dan ekonomi global dengan sangat cepat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun