Presiden Erdogan juga tercatat membongkar pasang kabinet ekonominya. Gubernur Bank Sentral Turki sudah diganti tiga kali selama tahun 2021, kemudian Menteri Keuangan juga diganti.
Gonta-ganti kabinet ekonomi ini tentu bisa dipandang kurang baik oleh para investor, karena mencerminkan instabilitas pemerintahan dan adanya pengaruh politik dalam pengelolaan kebijakan moneter.
Meskipun begitu, pemerintah Turki tidak hanya bertopang dagu. Beberapa kebijakan untuk menangkal kejatuhan ekonomi terus diupayakan, seperti kewajiban konversi mata uang, pemangkasan pajak, hingga intervensi di pasar valuta asing, namun belum sepenuhnya efektif.
Kondisi ini tentu menjadi momen-momen yang berat bagi pemerintah dan warga Turki. Bagi Presiden Erdogan, situasi pelik ini menjadi tantangan tersendiri karena tahun 2023 akan ada Pemilu Presiden di mana Erdogan akan mencalonkan diri kembali melalui partainya yaitu AKP.
Tekanan ekonomi ini tidak hanya terjadi di Turki, namun hampir semua negara mengalaminya, termasuk Indonesia. Hampir tidak mungkin untuk menutup mata dari pengaruh gejolak internasional, karena setiap negara pasti membutuhkan impor, ekspor, pertukaran mata uang, perjalanan lintas batas, dan perdagangan antar negara.
Oleh karena itu, di masa sulit ini pengambilan kebijakan ekonomi dan pengelolaan keuangan yang mengedepankan sense of crisis akan menjadi sangat krusial.
Dari kondisi Turki kita bisa banyak belajar, bahwa ternyata mengelola uang itu tidak mudah ya, apalagi mengelola keuangan negara. Pantas saja, ekonom sekaligus filsuf India, Amartya Sen, pernah berkata.
"Economic growth without investment in human development is unsustainable, and unethical"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H