Apa sih yang terjadi di Turki hingga seperti ini?
Sulitnya Mengendalikan Uang
Kondisi yang dialami Turki saat ini menjadi pelajaran bahwa mengelola ekonomi negara itu sangat tidak mudah. Apalagi di tengah gejolak geopolitik global dan pandemi Covid.
Dari sisi national output economic, yang diukur dari Gross Domestic Product (GDP), negara yang dilintasi Selat Bosporus ini tercatat memang telah menurun sejak tahun 2013.Â
Berdasarkan data World Bank, GDP Turki melesat 376% di periode 2001 hingga 2013 hingga menyentuh 957 miliar USD, namun setelah itu terus merosot setiap tahun menjadi 720 miliar USD pada 2020 lalu.
Kondisi itu menunjukkan mesin ekonomi Turki mulai melambat. Apalagi diterpa pandemi Covid, lalu perang Rusia dan Ukraina yang memicu melonjaknya harga minyak, gas, dan batu bara secara global membuat kondisi ekonomi makin babak belur.
Meroketnya harga energi tersebut membuat negara yang dipimpin Erdogan ini harus mengeluarkan biaya yang sangat besar karena industri negara masih bergantung cukup besar pada impor minyak bumi, gas, dan batu bara.
Belum lagi masalah pasokan bahan baku seperti gandum, minyak sawit, hingga melambungnya biaya kargo dan perkapalan.
Padahal, transaksi impor mayoritas menggunakan USD dan nilai tukar lira terus menurun, alhasil defisit neraca transaksi berjalan makin melebar.
Neraca transaksi berjalan atau current account ini menjadi salah satu indikator utama tingkat kesehatan ekonomi negara. Dengan kondisi defisit yang terus melebar, maka kepercayaan investor terhadap sovereign currency Turki yaitu lira terus merosot, investor juga menjadi cenderung enggan mengembangkan usaha disana.
Apalagi secara geopolitik, tercatat beberapa kali pemerintahan Turki berseteru dengan negara lain seperti Amerika Serikat, Saudi Arabia, dan yang terbaru konflik dengan Yunani. Para investor dan pengusaha menjadi ragu untuk memegang lira lalu lebih memilih menukarkannya ke USD.