Penurunan nilai tukar lira terhadap USD yang anjlok sangat dalam dalam setahun terakhir tentu memberatkan pos anggaran negara.Â
Dari data Statista periode 2021, rasio utang Turki terhadap GDP berada di level 41%, sehingga beban anggaran negara untuk pembayaran utang internasional jadi makin berat.
Antara Politik dan Ekonomi
Menghadapi kondisi ekonomi yang serba sulit seperti meroketnya inflasi dan pelemahan nilai tukar uang, Presiden Erdogan mengambil pendekatan yang tidak konvensional.
Dalam teori ekonomi umum, untuk menghadang inflasi dan pelemahan nilai tukar, bank sentral akan menaikkan suku bunga acuan secara bertahap.Â
Tujuannya agar masyarakat lebih tertarik menyimpan uangnya di bank dibanding belanja, sehingga harga-harga barang menurun. Pemegang USD juga bisa lebih tertarik menukarkan uangnya ke lira jika imbal hasilnya menarik, sehingga perlahan memulihkan nilai tukar lira.
Namun, Presiden Erdogan kini tegas menolak wacana peningkatan suku bunga acuan dan lebih memilih pendekatan yang berlawanan yaitu pemangkasan suku bunga. Pemimpin yang menjabat sejak 2003 ini juga mengungkapkan bahwa suku bunga bertentangan dengan ajaran Islam.
Dari data Bank Sentral Turki (CBRT), suku bunga acuan per Mei 2022 kini berada di level 14%.
Mengerek suku bunga acuan memang bukan satu-satunya jalan keluar, apalagi jika inflasi disebabkan masalah pasokan bahan baku dan impor. Apabila salah takaran, suku bunga tinggi bisa jadi malah menghambat roda ekonomi dan memberatkan masyarakat.
Pemerintah Turki sendiri terakhir kali menaikkan suku bunga acuan pada Maret 2021 lalu dari 17% menjadi 19%. Lalu sejak Agustus 2021 terus menurun secara bertahap hingga level 14% seperti saat ini.
Sebagai gambaran, suku bunga acuan di Indonesia kini jauh lebih rendah yaitu 3,5%. Meskipun tentu saja kondisinya berbeda, karena Turki memang sedang diterpa masalah ekonomi dan politik yang cukup pelik.