Samudera : Nanti yaa tunggu waktu yang tepat. Sabar yaa sayang.
Ana : Kapan?
Samudera : Apa kamu siap dengar apa yang akan aku jelaskan ke kamu tentang keluargaku? Mungkin ini akan membuatmu sedih, sakit hati ataupun kecewa.Â
Ana : Oke, aku siap apapun yang akan aku dengar dari kamu.
Samudera menarik nafas panjang.Â
Samudera : Jujur, sebenarnya mamaku sudah tahu siapa kamu, bagaimana kamu selama ini. Mamaku terang-terangan membandingkan kamu dengan mantanku sebelumnya. Dari segi fisik, pendidikan dan suku. Kamu tahu kan kalau aku orang Betawi. Mamaku yang pemikirannya masih belum modern, masih benar-benar menuntut kesempurnaan fisik, An. Bukan aku membuatmu sedih karena kamu tidak secantik mantanku, tapi faktanya mamaku menuntut itu. Untuk aku sendiri, aku sayang sama kamu karena sifat dan perilakumu yang selama ini bisa mengimbangiku, membuat aku nyaman, sesuatu yang tidak pernah aku temukan ketika bersamanya selama 4 tahun lalu. An, aku gak mau ini semua terlihat sia-sia tapi aku juga gak mau memaksakanmu bahkan mengambil hakmu. Itu kenapa aku belum mau mengajakmu bertemu keluargaku. Aku gak mau kamu  down. Aku mau kita sama-sama berjuang, kamu berusaha untuk memperbaiki diri dan aku akan terus mencari cara untuk meluluhkan hati mamaku. Oya, mantanku itu juga keturunan Betawi, itu yang membuat mamaku semakin membanggakannya. Tapi aku yakin bahwa fisik seseorang bisa diubah tapi sifat dan watak akan susah mengubahnya. Memang gak semua orang Betawi seperti mamaku, tapi yaa itulah mamaku. Kadang aku berpikir kalau semuanya udah mentok, karena mamaku punya pengalaman yang buruk dengan orang Solo dan mamaku tahu kalau kamu keturunan Solo, bertambahlah penolakan mama. Aku tau An, kamu pasti merasa sedih, tapi ini kenyataannya. Aku sayang kamu tapi ketika suku berbicara, orang tua berkehendak aku bisa apa? Sekarang semua tergantung kamu, apa kamu siap berjuang untuk hubungan ini? Aku harap setelah ini kamu tidak lagi bertanya hal yang sama tentang alasanku belum mengajakmu bertemu karena mamaku sudah mengetahuinya.
Hatiku bergejolak, perih rasanya. Aku kalah telak, jelas kami berbeda. Bibit, bebet dan bobot yang ditetapan ibunya sudah ada pada mantannya, sementara aku? Bagai langit dan bumi juka disandingkan dengannya. Wanita itu sungguh cantik, berkulit putih bersih, senyumnya indah, berpendidikan, keluarga terpandang dan yang terpenting adalah sukunya Betawi, seperti keinginan mamanya. Aku, keturunan Jawa tulen (aku terlahir dari ayah keturunan Solo, Jaten dan mamaku Ngawi, Jatim), berkulit gelap, hanya lulusan SMA dan keluargaku sungguh jauh dengan keluarga Samudera dari sisi ekonomi, dari segala faktor, jelas aku kalah telak. Bukanku menyerah sebelum berperang tapi aku menyadari bahwa anak harus berbakti pada orang tuanya, aku tak ingin hubungan ini menjadi sumber masalah untuk Samudera. Â Seketika itu pula aku mengingat ucapan Almarhumah mamaku, "Ndok, nanti cari suami, kalau bisa orang Jawa saja, satu suku dengan kita. Sebenarnya tidak masalah dengan suku lain tapi lebih bagus suku sendiri, sudah sama-sama mengerti. Mama sih berharap nantinya seperti itu, kamu bisa dapat orang Jawa. " Â Jelas, bersama Samudera pun bukan menjadi pilihan mamaku.
Dengan suara parau karena menahan air mata, aku mulai bersuara, "Samudera, aku sudah paham sekarang. Aku mengerti kalau semua itu yang diinginkan mamamu karena setiap orang tua akan memilih yang terbaik untuk anak kebanggaannya. Aku tidak akan membuatmu semakin tersiksa karena dengan bersamaku hanya akan membuatmu tidak patuh pada mamamu. Aku akan berusaha untuk menjadi yang mamamu inginkan tapi pasti akan membutuhkan waktu yang sangat panjang, kan? Kamu akan melihat perubahanku walau saat itu mungkin aku sudah tidak lagi bersamamu. Aku hanya seorang anak yatim piatu yang berharap jika menjalani suatu hubungan bisa mendapat restu penuh dari orang tua pasangannya. Aku sudah tidak punya orang tua yang menjadi tempatku bersandar, berkeluh kesah dan berbagi. Aku ingin merasakan kembali memiliki orang tua, yaa orang tua pasanganku. Ditambah lagi aku bukan keturunan Betawi, berbicara suku, jelas aku kalah telak. Aku kalah telak jika dibandingkan dengannya. Samudera, lebih baik kamu menuruti semua keinginan orang tuamu. Menjalani hubungan ini bagiku seperti menghadapi kematian saja, siap tidak siap jika harus berpisah aku harus ikhlas kan? Lanjutkan keturunanmu, bersama seseorang yang datang dari sukumu. Aku akan baik-baik saja. Aku sudah pernah mengalami puncak perpisahan saat aku harus kehilangan kedua orang tuaku. Jika kamu memutuskan hubungan ini sekarang, aku sangat memahami dan menerima dengan hati yang lapang."
Samudera masih menatapku, aku tertunduk. Air mata tidak mampu lagi aku tahan, mengalir di kedua pipiku. Aku seka berkali-kali tapi sebanyak itu juga air mataku jatuh.Â
Ia mengusap kepalaku dengan lembut, mengecupnya, dalam..Â
"Ini memang berat. Sungguh aku tidak ingin ini terjadi, An. Karena pola pikir mamaku yang masih  jadul  sehingga masih mengkotak-kotakkan suku. Merasa bahwa suku nya yang terbaik, menjaga gengsi dan harga dirinya di depan orang lain. Ana, aku berharap Allah mengubah segalanya. Maaf jika ini menyakitkanmu tapi aku yakin akan ada jalan yang terbaik untukmu dan untukku. Tolong pahami bahwa aku menyayangimu selama ini karena apa yang ada pada dirimu.  Perpisahan ini semoga hanya sementara, yakinlah jika kita berjodoh, kita akan kembali bersama dalam waktu yang indah."