Istriku bergegas berdiri dan berjalan masuk kamar, lalu segera kembali membawa dompetku yang berwarna coklat gelap. Kubuka dompet, lalu kukeluarkan dua lembar kartu pemberian Martin Garoni itu. Dompet coklat kuletakkan di meja, sementara dua kartu itu kuserahkan pada istriku yang langsung menimang-nimangnya begitu penasaran sambil duduk di sofa. "Dua-duanya tanpa laminasi, Kangmas."
Aku menepuk jidatku karena merasa tidak tahu-menahu tentang itu. "Terlalu biasa menurutmu?"
"Biasanya ada laminasi untuk kartu nama atau kartu diskon seperti ini, glossy bila ingin tampak berkilat-kilat atau berkilauan, atau doff jika ingin tampak halus dan lembut jika kita sentuh, seperti menyatu dengan kulit begitu."
"Sepertinya Martin Garoni tidak punya niat lebih untuk mencetak kartu nama yang lebih prestisius dan aku yakin uang bukan alasannya."
"Kupikir ada petunjuk di sini, Kangmas." istriku menyerahkan kartu nama Martin Garoni kepadaku. "Sedikit terkelupas bagian pinggirnya."
Aku menatap kartu nama yang berwarna merah darah itu. Tidak ada simbol atau garis atau kurva atau lengkungan atau motif desain lain. Hanya tulisan putih yang menjelaskan nama Martin Garoni beserta alamat kantornya serta nomor ponsel yang masih aktif. Tidak ada alamat rumah sama sekali. Bagian pinggir kanan bawah sedikit terkelupas. Karena penuh rasa ingin tahu, akhirnya kurobek sedikit demi sedikit bagian pinggir yang terkelupas itu. Terlihat ketikan huruf hitam sans serif kapital di tengah-tengah kertas putih itu.
CASANOVA 70 (1965)
"Apa itu petunjuknya, Kangmas?"
"Ini baca sendiri."
Istriku tertegun membaca ketikan itu. "Ini judul film lama."
"Film komedi romantis ya? Pantas aku tidak tahu."