TUJUH
Â
Malam itu, aku dan istriku berdua menonton televisi yang berita utamanya adalah kebakaran hebat yang melanda Hotel Micronium. Beruntung tidak ada korban jiwa satu pun karena saat terjadinya kebakaran ternyata semua jajaran pimpinan dan karyawan tidak ada satu pun yang masuk.Â
Pihak kepolisian yang telah memeriksa keterangan semua orang memberi penjelasan bahwa hanya ada satu orang yang paling bertanggungjawab atas musibah tersebut yakni sang manajer utama Hotel Micronium itu sendiri, Martin Garoni.
"Aku yakin dia masih di Jakarta ini. Tidak mungkin dia kabur."
"Seperti apa orangnya, Kangmas?"
"Orang Italia pada umumnya ganteng, Diajeng."
"Beri aku jawaban spesifik." kata istriku sambil menggeliat manja padaku.
"Menurutku dia mirip Toldo."
"Otakmu penuh bola." Istriku mengecup pipiku. "Seganteng Toldo. Baik kalau begitu. Seandainya dia memang masih berada di Jakarta, kira-kira di mana tempatnya bersembunyi?"
"Pertanyaan bagus." Aku teringat Martin Garoni pernah memberikan kartu nama dan juga kartu diskon Hotel Micronium kepadaku yang masih kusimpan di dompet. "Ambilkan dompetku di kamar, Diajeng."
Istriku bergegas berdiri dan berjalan masuk kamar, lalu segera kembali membawa dompetku yang berwarna coklat gelap. Kubuka dompet, lalu kukeluarkan dua lembar kartu pemberian Martin Garoni itu. Dompet coklat kuletakkan di meja, sementara dua kartu itu kuserahkan pada istriku yang langsung menimang-nimangnya begitu penasaran sambil duduk di sofa. "Dua-duanya tanpa laminasi, Kangmas."
Aku menepuk jidatku karena merasa tidak tahu-menahu tentang itu. "Terlalu biasa menurutmu?"
"Biasanya ada laminasi untuk kartu nama atau kartu diskon seperti ini, glossy bila ingin tampak berkilat-kilat atau berkilauan, atau doff jika ingin tampak halus dan lembut jika kita sentuh, seperti menyatu dengan kulit begitu."
"Sepertinya Martin Garoni tidak punya niat lebih untuk mencetak kartu nama yang lebih prestisius dan aku yakin uang bukan alasannya."
"Kupikir ada petunjuk di sini, Kangmas." istriku menyerahkan kartu nama Martin Garoni kepadaku. "Sedikit terkelupas bagian pinggirnya."
Aku menatap kartu nama yang berwarna merah darah itu. Tidak ada simbol atau garis atau kurva atau lengkungan atau motif desain lain. Hanya tulisan putih yang menjelaskan nama Martin Garoni beserta alamat kantornya serta nomor ponsel yang masih aktif. Tidak ada alamat rumah sama sekali. Bagian pinggir kanan bawah sedikit terkelupas. Karena penuh rasa ingin tahu, akhirnya kurobek sedikit demi sedikit bagian pinggir yang terkelupas itu. Terlihat ketikan huruf hitam sans serif kapital di tengah-tengah kertas putih itu.
CASANOVA 70 (1965)
"Apa itu petunjuknya, Kangmas?"
"Ini baca sendiri."
Istriku tertegun membaca ketikan itu. "Ini judul film lama."
"Film komedi romantis ya? Pantas aku tidak tahu."
"Betul, Kangmas. Ini film komedi romantis dari Italia. Aku pernah menonton film ini dulu saat masih SMA. Bapakku dan Ibuku kolektor film-film komedi romantis klasik soalnya."
"Bukan Hollywood ya?"
"Sudah kubilang dari Italia."
"Sutradaranya Federico Fellini?"
"Bukan seingatku." Istriku berusaha mengingat-ingat. "Kalau tidak salah ... Mario Monicelli. Beliau sutradara spesialis komedi ala Italia."
"Cerita filmnya mengenai petualangan Giacomo Casanova pada dekade 70-an begitu?"
"Semacam itu, Kangmas. Tokoh utamanya adalah seorang perwira yang baik hati dan sudah punya tunangan, seorang wanita yang cantik sekali. Sayangnya si perwira ini hobinya selalu mengejar wanita-wanita lain yang mempesona hatinya. Dia mengejar cinta istri atasannya sendiri, mengejar cinta seorang pawang binatang di pertunjukan sirkus, mengejar cinta seorang pramugari asal Indonesia juga, mengejar cinta bawahannya sendiri, mengejar cinta istri seorang milyarder juga. Pokoknya Casanova sejati."
"Bintang utamanya bukan Alain Delon ya?"
Istriku menggeleng cepat. "Marcelo Mastroianni."
"Lho? Bukankah dia yang menjadi bintang utama di film La Dolce Vita?"
"Betul sekali, Kangmas."
"Kalau semua film komedi romantis seperti La Dolce Vita, tentu aku akan menjadi pecandu sejati film komedi romantis. Terus siapa bintang utama wanitanya, Diajeng? Jangan-jangan Anita Ekberg atau Anouk Aimee?"
"Bukan, Kangmas. Kalau bisa kubilang, ada banyak bintang cantik di sini. Bintang utama wanitanya tentu saja Virna Lisi yang berperan sebagai sang tunangan Marcelo Mastroianni."
"Oh ya, Virna Lisi. Aktris Italia yang kupikir paling cantik sejagat raya melebihi Sophia Loren, Gina Lollobrigida, atau Claudia Cardinale sekalipun. Aku pernah menonton film Virna Lisi saat dia bermain bersama Alain Delon di film The Black Tulip, adaptasi novelnya Alexandre Dumas. Delon dan Lisi kompak sekali di film itu."
"Kangmas tertarik menonton filmnya? Kita bisa beli di Google Play kok."
"Lebih baik kubeli di Amazon saja versi Blu-Ray nanti." Aku menguap lebar tanpa kututupi mulutku. Tidak sopan memang, tapi apa boleh buat karena aku sudah mengantuk, tapi rasa penasaran tidak bisa kututupi. "Jadi apa hubungan film Casanova 70 ini dengan Martin Garoni menurutmu, Diajeng?"
"Mungkin Martin suka sekali dengan film ini, tergila-gila tampaknya. Kangmas tahu tidak kalau film Casanova 70 ini nyaris seluruh bintang wanitanya cantik-cantik dan terkenal pula?"
"Memangnya Virna Lisi kurang cantik?"
"Bukan itu, Kangmas. Selain Virna Lisi, sederetan bintang cantik lain bermain di film Casanova 70 ini. Contohnya Margaret Lee dan Michele Mercier, terus ada Rosemary Dexter dan Beba Loncar, juga ada Moira Orfei dan Seyna Seyn. Oh ya hampir lupa, ada kembaranku juga main, Kangmas."
"Lho? Marisa Mell main juga di film ini? Kok aku tidak tahu?"
"Kangmas hanya menonton Danger Diabolik saja soalnya."
Ponselku mendadak berdering kencang di sofa. Aku tidak tahu nomor siapa ini yang menelpon, tapi segera kuangkat. "Halo selamat malam?"
Kudengar suara gemerisik, lalu sebuah bisikan kudengar lambat-lambat. "Kiss ... The ... Girls ... and ... Make ... Them ... DIE!!!"
"Apakah ini Quentin Tarantino?"
"Kiss The Girls and Make Them Die!" desis suara itu tajam. Sepertinya suara itu sangat kukenal. Sepertinya, tapi aku tidak yakin.
Terdengar dengung panjang.
"Orang iseng yang mencurigakan?" tanya istriku ingin tahu. Dia merangkulku, lalu mulai menciumi bibirku.
"Bukan orang iseng." kataku sambil melucuti daster kuning yang istriku kenakan. "Dia mengincar kita, Diajeng."
Istriku mendorongku berbaring di sofa, lalu mulai menindihku. "Aku tidak peduli, Kangmas. Aku hanya peduli ... kamu."
Tiba-tiba listrik padam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H