Mohon tunggu...
Septian Dhaniar Rahman
Septian Dhaniar Rahman Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah dan Komikus

Saya lulusan Sastra Inggris dan telah menerjemahkan beberapa buku non fiksi. Selain itu, saya juga telah menerbitkan beberapa novel dan komik detektif. Kunjungi website saya juga di http://septiancomics.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Hantu Hutan (Bagian 4)

15 Januari 2022   22:23 Diperbarui: 15 Januari 2022   22:30 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

EMPAT

 

Bunyi lonceng membangunkanku. Ternyata aku dan istriku duduk di lantai dalam posisi saling membelakangi rapat dan terikat tali hitam yang kuat sehingga susah buat kami bergerak. Aku hanya memakai celana dalam, baju dan celanaku entah ke mana, mungkin Si Jubah Hitam melucutinya. Kami terikat di ruangan yang penuh dengan kaca baik di dinding maupun di langit-langit. Aku yakin ini bukan kamar Super VIP yang tadi kami tempati. Lewat kaca itu, aku tahu juga kalau Si Jubah Hitam juga telah melucuti baju dan celana istriku. Sungguh Sompret.

"Kangmas?" istriku bersuara lirih, lalu menguap lebar. "Dia membohongi kita, Kangmas. Sudah kabur dia tampaknya."

"Mengapa dia kabur, Diajeng?"

"Dia kabur karena gagal membunuh kita berdua."

"Terus ikatan tali ini?"

"Aku tidak tahu siapa yang mengikat kita, Kangmas."

"Hanya orang gila yang mengikat kita berdua, Diajeng. Mungkin dia kabur ke Rumah Sakit Jiwa, kembali ke habitatnya. Sekarang jam berapa kira-kira?"

"Aku tidak tahu, Kangmas. Mari kita pikirkan bagaimana cara kita melepas ikatan ini."

"Kuat sekali ikatannya. Mungkin supaya kita tidak bisa kabur."

"Kangmas, aku ... masih mengantuk."

"Sama, Diajeng. Aku juga."

"Kangmas mau tidur lagi?"

"Aku akan berupaya sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari ikatan tali laknat ini."

"Kalimat kamu murahan sekali."

"Kupikir kalimatku tadi heroik."

Istriku tertawa, aku juga, dan sungguh asyik, rasa kantuk kami hilang. Aku takjub betapa aku tidak ingin menguap lagi dan aku yakin istriku pasti merasakan kepuasan yang sama. Tunggu dulu. Tahan sebentar.

Aku mengumpulkan energi sedemikian rupa sehingga pelan-pelan ikatan tali itu sedikit demi sedikit mengendur. Istriku bergoyang-goyang ke kanan, kiri, depan, dan belakang, lalu tali-tali itu mulai melemah ikatannya, kemudian terlepas begitu saja ke lantai. Aku dan istriku lalu segera berdiri dan saling mematut di depan kaca masing-masing. Aku tidak tahu apakah aku harus mengagumi tubuhku yang sebenarnya tampak kekar di depan kaca dan sebenarnya harus kuakui Si Jubah Hitam betul saat dia menyebutku mirip Yul Brynner. Untung aku pernah menonton ketiga film aktor ini walaupun tidak di bioskop, yang pertama saat dia berperan sebagai Raja Siam, yang kedua saat dia merupakan Raja Mesir, yang ketiga saat menjadi koboi jagoan yang berupaya mengusir para bandit ganas dari sebuah desa.

Istriku memelukku erat dari belakang, lalu dia tersenyum menatap kaca. "Bukankah kita serasi sekali, Kangmas?"

Aku mengangguk dengan hati berdebar-debar menanti apa yang terjadi selanjutnya. Tidak semestinya di situasi semacam ini aku memperturutkan hawa nafsu, tapi apa daya istriku sangat menggoda.

Suara sempritan peluit yang panjang mengagetkan kami berdua. Darimana asalnya ya? Mengganggu nafsu saja kalau begini. Baiklah sekarang kami harus mencari jalan keluar dari ruangan penuh kaca setan ini.

"Kenapa Si Jubah Hitam itu menelanjangi kita berdua, Kangmas?"

"Kita tidak telanjang. Aku masih memakai celana dalam. Kau masih memakai lingerie."

Istriku langsung memelukku dan mencium mesra bibirku. "Kita harus keluar dari sini, Kangmas. Aku tidak mau terjebak selamanya di sini."

Denting piano membuat kami terhenyak, lalu musik instrumental yang sangat kukenal langsung mengalun berupa lagu abadi dari grup band ternama The Eagles yang sangat populer sejak tahun 1977 yang lalu.

"Ingat liriknya, Diajeng?"

Istriku mengangguk sambil menyanyikan lagu tersebut dengan suaranya yang merdu, memang berbeda dengan suara Don Henley.

Lalu kami mendengar suara kaca pecah berantakan, tapi bukan kaca-kaca di ruangan ini. Aneh. Terus suara lonceng tadi? Sungguh pertanyaan yang tidak mampu kujawab.

"Kenapa ruangan ini penuh kaca di seluruh dinding dan langit-langit, tetapi tidak di lantai?" begitu pertanyaan istriku saat dia mengetuk lantai dengan sepatu ketsnya. Sungguh absurd kalau Si Jubah Hitam dan para anak buahnya melucuti nyaris seluruh pakaian kami dan lupa mencopot sepatu kets yang kami pakai.

"Aku yakin ada pintu keluar di lantai ini, entah yang mana." kataku lalu merebahkan diri di lantai dan memasang telinga untuk mencari petunjuk. Ada suara nyut panjang tepat di bawah tempatku merebahkan diri.

"Lantai ini berkarpet, Kangmas. Bagaimana kalau kita gulung saja?"

"Seandainya bisa."

"Berapa jumlah kaca keseluruhan di ruangan ini?"

"Hitung saja, Diajeng."

Istriku berjalan mengitari ruangan sambil mengedarkan pandangan. Dia balik lagi sambil menggelengkan kepala. "Setiap sisi ruangan tambah satu langit-langit masing-masing ada dua belas kaca. Artinya ada enam puluh kaca di seluruh ruangan ini dan tidak ada pintu keluar. Setidaknya kita belum menemukan kalau ada."

Aku menghentakkan kaki kanan dan kaki kiriku berulangkali di lantai berkarpet itu. Suara nyut panjang terdengar lebih keras. Istriku meloncat lalu menendang salah satu kaca di dinding sampai pecah. Dari pecahan kaca itu, terlihat ada rongga berukuran sedang yang memperlihatkan sebuah tombol kecil berwarna merah. "Tombol apa ini, Kangmas?"

"Coba kutekan."

Aku menekan tombol merah itu dengan jempol kananku, lalu suara dering telepon yang panjang terdengar begitu berisik, kemudian lantai yang kami pijak menjeblak ke bawah. Aku meluncur ke bawah, istriku juga. Suasana masih terang benderang saat kami terus turun tanpa bisa berhenti.

"Kita turun ke mana ini, Kangmas?"

"Aku tidak tahu, Diajeng. Tetap waspada."

Akhirnya kami berhenti setelah sampai di tempat mendatar di mana seluruh ruangan berwarna perak polos tanpa ukiran atau pahatan sedikit pun. Bau wangi jeruk lemon begitu semerbak, lalu perlahan-lahan dinding di depan kami bergeser ke samping, memperlihatkan jalan raya Slipi yang dingin dan sepi. Masih dini hari ini tampaknya, sekitar jam satu atau jam dua. Aku menggigil kedinginan, apalagi aku hanya memakai celana dalam. Istriku memelukku erat sambil mengajakku keluar. Kami nyaris telanjang dan tidak memakai masker, sungguh bahaya kalau ketahuan polisi dalam situasi seperti ini. Akhirnya kami membulatkan tekad untuk nekat berlari menyeberang jalan tanpa melewati jembatan penyeberangan. Di tengah teriakan dan siutan orang-orang yang masih begadang di sekitar Pasar Slipi, kami terus saja berlari, sampai kemudian ke jalan Anggrek Rosliana, tepat di depan rumah kami yang halamannya sangat luas dan tidak berpagar.

"Kunci cadangan kau letakkan di mana, Diajeng?"

"Di lemari rahasia sebelah bel pintu, Kangmas."

Begitu mendapati kunci rahasia, kami segera masuk rumah. Istriku segera masuk kamar mandi, sementara aku setelah mengunci pintu berbaring sejenak di sofa ruang tamu. Aku capek menghadapi Si Jubah Hitam atau siapapun namanya, Hantu Hutan. Lain kali akan kami bereskan. Bagaimana dengan Om Kaftan? Mungkin dia berkaitan dengan Si Jubah Hitam itu. Satu hal yang pasti, kami sudah lunas membayar tagihan di kamar Super VIP di Hotel Micronium yang misterius itu. Besok pagi atau lusa jika rasa capek kami hilang, akan kami kejar itu Si Jubah Hitam dan kami akan menemukan Om Kaftan, cepat atau lambat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun