"Kenapa Si Jubah Hitam itu menelanjangi kita berdua, Kangmas?"
"Kita tidak telanjang. Aku masih memakai celana dalam. Kau masih memakai lingerie."
Istriku langsung memelukku dan mencium mesra bibirku. "Kita harus keluar dari sini, Kangmas. Aku tidak mau terjebak selamanya di sini."
Denting piano membuat kami terhenyak, lalu musik instrumental yang sangat kukenal langsung mengalun berupa lagu abadi dari grup band ternama The Eagles yang sangat populer sejak tahun 1977 yang lalu.
"Ingat liriknya, Diajeng?"
Istriku mengangguk sambil menyanyikan lagu tersebut dengan suaranya yang merdu, memang berbeda dengan suara Don Henley.
Lalu kami mendengar suara kaca pecah berantakan, tapi bukan kaca-kaca di ruangan ini. Aneh. Terus suara lonceng tadi? Sungguh pertanyaan yang tidak mampu kujawab.
"Kenapa ruangan ini penuh kaca di seluruh dinding dan langit-langit, tetapi tidak di lantai?" begitu pertanyaan istriku saat dia mengetuk lantai dengan sepatu ketsnya. Sungguh absurd kalau Si Jubah Hitam dan para anak buahnya melucuti nyaris seluruh pakaian kami dan lupa mencopot sepatu kets yang kami pakai.
"Aku yakin ada pintu keluar di lantai ini, entah yang mana." kataku lalu merebahkan diri di lantai dan memasang telinga untuk mencari petunjuk. Ada suara nyut panjang tepat di bawah tempatku merebahkan diri.
"Lantai ini berkarpet, Kangmas. Bagaimana kalau kita gulung saja?"
"Seandainya bisa."