“Ada apa? Tumben banget ke kelas ku?” dua pertanyaan yang cukup ku acuhkan.
“Ak kesini mau ketemu sama kamu. Tadi si Farhan bilang, kalo kamu buat proposal progja bulan depan. Sekalian buat undangan rapat rutin.” Jawabku to the point.
“Cuman itu?” lemparnya. Tanpa ekspresi.
Sengaja ku membungkam. Dan hanya ku anggukan pelan, isyarat akan kebenaran. Tanpa salam perpisahan, ku balik badan. Hampir ku langkahkan kaki, ia memanggil nama ku.
“Iya.. ?!” Sembari menoleh balik ke arahnya.
Dan iya hanya tersenyum. Ia hanya tersenyum, dengan mata yang benar benar bening. Dan aku pun dengan ekspresi datar sembari menerka.
Ia pun dengan santainya beranjak jauh dari pandangan ku. Menuju bangkunya, yang selalu berada di depan. Aku melihatnya sampai ia benar benar duduk. “Bodoh sekali, seharusnya aku tidak menoleh.” Batin ku kesal, menelan rasa sebal.
****
Aku mendengar bisikannya. Dari dia mencoba memanggil ku, dari ia mengirim pesan yang kurang bermutu, dari dia mengatur jarak dengan ku. Tapi tunggu, jangan terlalu berharap lebih! Mengingat dan menyadari, dia bukan di pihak ku. Tapi di belahan orang lain. Yang mungkin akan bersarang dengan nyaman. Aku harus mengakuinya.
Tapi, apa arti dari “Aku masih seperti dulu, tidak ada yang berubah” yang ia ucapkan ketika ku bertanya “Bagaimana dengan rasa itu?”.
Ku lihat, wajahnya memerah. Entah apa artinya. “Ah… Tidak, aku biasa saja.” Ia selalu menjawab pernyataan yang menampar ku. Aku terima itu.