Mohon tunggu...
Yacub Fahmilda
Yacub Fahmilda Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ku Dengar dengan Harap

13 Mei 2015   16:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:05 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku membungkam. Percakapan yang saat itu cukup membuat ku tercengang. Belum siap. Belum ku persiapkan, tuk ku hadapi hal itu. Tapi, bagi ku seorang lelaki harus berani menghadapinya. Fisik, iya! Termasuk untuk hati.
Wanita sakit, dengan luka. Cukup mencarikan obat. Bagi pria, memerlukan usaha yang keras untuk benar benar mengubur kenangan itu. Hingga tak tercium sedikit pun aromanya. Sekali pun harum mawar yang terkacar di atas makam.

Seseorang mendekat ke arah ku. Ah, hentakan sepatu itu. Decitan yang terselip ditiap langkah. Telah ku terka apa yang akan ku ucap.

“Aku hanya tidak enak badan.”  Jawab ku datar. Dan masih tergeletak lemas di atas meja.

“Oke, panggil gua ya kalo lo butuh sesuatu”  dengan meninggalkan senyum.

Entah mengapa, setelah aku membungkam sepertinya semakin kuat rasa dan kenangan itu. Bukan berarti aku ingin menguburnya. Aku hanya ingin menyadari lebih dalam. Tentang kenyataan, tentang kepastian, tentang perasaan dan tentang apa yang telah selama ini memburu ku. Memburuku seakan aku terlihat seperti keledai.

Bodoh. Mungkin, tapi tak sepenuhnya. Otak ku masih berfungsi layak. Meski hari hari ku, selalu terselip harap dan angan, untuk mengajaknya “ kembali”.

Sesal, sempat ku ucap tuk menolak kembali ke masa itu bersama. Ha? Benar benar seperti keledai kehilangan akalnya. Emosi ku yang tak terkontrol waktu itu, membawa ku untuk mengatakan yang tak sejujurnya. Hanya karena aku tak ingin terlihat lemah.

Sejak awal, aku hanya ingin merasakan indahnya masa muda. Masa muda dengan penuh rasa, karsa, dinamika dari sebuah kata yang sering kita sebut cinta. Entah, benarkah rasa “ini” yang masih membekas adalah korban dari cinta?

Korban? Apakah cinta pembantai? Ia datang dengan modus kebahagiaan dan menyisakan jantung yang tersayat? Ku rasa bukan. Itu bukan cinta. Tapi, aku juga tak banyak tahu tentang cinta.  Ah, sudahlah.

“Kenapa harus ketemu dia,sih?” batin ku dengan mengerutkan dahi. Yang ku batinkan sepanjang perjalanan menuju ruang kelasnya.

Kali ini, sang ketua meminta ku untuk menyampaikan pesan pada “dia”. Untuk membuat proposal program kerja bulan depan. Dan, rapat bakal berjalan rutin. Ah… kesibukan ini, membuat ku semakin dekat. Tapi apa boleh buat? Niat, untuk rapat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun