Aku membungkam. Percakapan yang saat itu cukup membuat ku tercengang. Belum siap. Belum ku persiapkan, tuk ku hadapi hal itu. Tapi, bagi ku seorang lelaki harus berani menghadapinya. Fisik, iya! Termasuk untuk hati.
Wanita sakit, dengan luka. Cukup mencarikan obat. Bagi pria, memerlukan usaha yang keras untuk benar benar mengubur kenangan itu. Hingga tak tercium sedikit pun aromanya. Sekali pun harum mawar yang terkacar di atas makam.
Seseorang mendekat ke arah ku. Ah, hentakan sepatu itu. Decitan yang terselip ditiap langkah. Telah ku terka apa yang akan ku ucap.
“Aku hanya tidak enak badan.” Jawab ku datar. Dan masih tergeletak lemas di atas meja.
“Oke, panggil gua ya kalo lo butuh sesuatu” dengan meninggalkan senyum.
Entah mengapa, setelah aku membungkam sepertinya semakin kuat rasa dan kenangan itu. Bukan berarti aku ingin menguburnya. Aku hanya ingin menyadari lebih dalam. Tentang kenyataan, tentang kepastian, tentang perasaan dan tentang apa yang telah selama ini memburu ku. Memburuku seakan aku terlihat seperti keledai.
Bodoh. Mungkin, tapi tak sepenuhnya. Otak ku masih berfungsi layak. Meski hari hari ku, selalu terselip harap dan angan, untuk mengajaknya “ kembali”.
Sesal, sempat ku ucap tuk menolak kembali ke masa itu bersama. Ha? Benar benar seperti keledai kehilangan akalnya. Emosi ku yang tak terkontrol waktu itu, membawa ku untuk mengatakan yang tak sejujurnya. Hanya karena aku tak ingin terlihat lemah.
Sejak awal, aku hanya ingin merasakan indahnya masa muda. Masa muda dengan penuh rasa, karsa, dinamika dari sebuah kata yang sering kita sebut cinta. Entah, benarkah rasa “ini” yang masih membekas adalah korban dari cinta?
Korban? Apakah cinta pembantai? Ia datang dengan modus kebahagiaan dan menyisakan jantung yang tersayat? Ku rasa bukan. Itu bukan cinta. Tapi, aku juga tak banyak tahu tentang cinta. Ah, sudahlah.
“Kenapa harus ketemu dia,sih?” batin ku dengan mengerutkan dahi. Yang ku batinkan sepanjang perjalanan menuju ruang kelasnya.
Kali ini, sang ketua meminta ku untuk menyampaikan pesan pada “dia”. Untuk membuat proposal program kerja bulan depan. Dan, rapat bakal berjalan rutin. Ah… kesibukan ini, membuat ku semakin dekat. Tapi apa boleh buat? Niat, untuk rapat.
“Ada apa? Tumben banget ke kelas ku?” dua pertanyaan yang cukup ku acuhkan.
“Ak kesini mau ketemu sama kamu. Tadi si Farhan bilang, kalo kamu buat proposal progja bulan depan. Sekalian buat undangan rapat rutin.” Jawabku to the point.
“Cuman itu?” lemparnya. Tanpa ekspresi.
Sengaja ku membungkam. Dan hanya ku anggukan pelan, isyarat akan kebenaran. Tanpa salam perpisahan, ku balik badan. Hampir ku langkahkan kaki, ia memanggil nama ku.
“Iya.. ?!” Sembari menoleh balik ke arahnya.
Dan iya hanya tersenyum. Ia hanya tersenyum, dengan mata yang benar benar bening. Dan aku pun dengan ekspresi datar sembari menerka.
Ia pun dengan santainya beranjak jauh dari pandangan ku. Menuju bangkunya, yang selalu berada di depan. Aku melihatnya sampai ia benar benar duduk. “Bodoh sekali, seharusnya aku tidak menoleh.” Batin ku kesal, menelan rasa sebal.
****
Aku mendengar bisikannya. Dari dia mencoba memanggil ku, dari ia mengirim pesan yang kurang bermutu, dari dia mengatur jarak dengan ku. Tapi tunggu, jangan terlalu berharap lebih! Mengingat dan menyadari, dia bukan di pihak ku. Tapi di belahan orang lain. Yang mungkin akan bersarang dengan nyaman. Aku harus mengakuinya.
Tapi, apa arti dari “Aku masih seperti dulu, tidak ada yang berubah” yang ia ucapkan ketika ku bertanya “Bagaimana dengan rasa itu?”.
Ku lihat, wajahnya memerah. Entah apa artinya. “Ah… Tidak, aku biasa saja.” Ia selalu menjawab pernyataan yang menampar ku. Aku terima itu.
“Kirim pesan ketika kamu butuh aku. Aku siap kapan saja itu, dan ku balas sebisa mungkin.” Dengan nada lirih ku ucap, dengan hati merintih kesakitan, dengan mulut ku yang membuka sementara otak ku terbungkam.
Aku memang tidak lebih dari “dulu” yang pernah kami rasa. Walau hanya sepotong memori yang ku punya, aku akan mencoba untuk melihat dan mendengar.
Aku mendengarnya, meski lirih dan samar. Namun, itu membuat ku lemah. Sudah pula, ku dengar dengan hati. Tapi, hati ini sepertinya menuli.
“Akankah hati ini tuli? Tidak mendengar lagi apa yang ingin kau ucap?” pikir ku. Dalam suasana hening, aku pun mulai bertanya lagi, “Benarkah hati ini akan buta? Tidak melihat yang kau usahakan?” hanya itu… Hanya pertanyaan konyol bagi seseorang yang sehat. Tapi, sepertinya aku tidak.
Yang sedikit ku yakini, ia masih dipihak ku. Dari aku melihat matanya, senyumnya, yang memang biasa saja. Nampaknya. Namun, itu seperti potongan – potongan roti yang berharga bagi ku. Tak sekadar ku telan, namun ku rasakan.
Ku tegaskan! aku percaya meski sebutir pasir bersaksi , bahwa kau masih memperjuangkannya. Meski keraguaan mencoba membodohi ku lagi. Semoga kita bisa seperti dulu. Melanjadikan moment terpisah ini adalah bagian dari indahnya kenangan. Ku tunggu waktu itu, dengan harap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H