Mohon tunggu...
Cepik Jandung
Cepik Jandung Mohon Tunggu... Mahasiswa - Belajar Kajian Budaya

Lulusan Filsafat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenal Meng Zi (Mencius) dan Pemikirannya tentang Menjadi Manusia

9 Januari 2025   06:00 Diperbarui: 9 Januari 2025   03:36 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengantar

        Manusia merupakan makhluk sosial dan oleh karena itu relasi timbal balik antara manusia menjadi sebuah keharusan. Relasi yang tepat akan memberi kehidupan yang layak bagi yang melakukannya. Dalam hal ini, relasi bisa dikatakan sangat menentukan eksistensi manusia itu sendiri. Keberhasilan relasi itu tentu tidak datang begitu saja, ada proses yang yang harus dilakukan. Keistimewaan manusia sejatinya terletak di sini apabila dibandingkan dengan binatang. Merujuk pada asumsi umum, bahwa manusia memang bisa dikatakan binatang tetapi manusia jelas lebih dari sekadar binatang karena memiliki apa yang disebut rasio atau akal. Manusia merupakan binatang yang berakal dan mampu berpikir.

        Sebagai makhluk yang berpikir, pemahaman akan keberadaan dirinya berikut dengan implikasi sosialnya yang kompleks khususnya terkait cara berelasi, dapat dicapai melalui berbagai pendekatan. Salah satu sudut pandang yang bisa digunakan dan telah membantu banyak orang sejauh ini hadir dari pemikiran timur. Perlu diperhatikan, dalam pandangan filsafat, khususnya para pemikir Timur, pembahasan tentang hakikat manusia lebih mendalam dan mendetail. Sebuah keunikan dari filsafat Timur sekaligus menjadi jawaban atas pernyataan sebelumnya bahwa pikiran manusia sangat istimewa dan mampu menciptakan sudut pandang yang khas.

        Salah satu perdebatan yang paling dominan dalam filsafat China adalah tentang kodrat baik-buruknya manusia dan bagaimana semestinya manusia bersikap antara satu dengan yang lainnya. Salah satu pemikiran yang sangat mendalam hadir dari sosok bernama Mencius. Sosok ini biasa juga dikenal dengan nama Meng Zi. Dalam tulisan ini, akan dipakai nama Mencius. Mencius hadir dengan pemikirannya yang mendalam dan memberikan suatu pencerahan kepada masyarakat, khususnya bagi masyarakat China yang hidup pada zamannya. Meski demikian, pemikirannya masih sangat relevan dengan konteks kontemporer yang sering lupa bahwa ia sedang hidup dan hidup bersama manusia lain. Dalam hidup bersama, cara berelasi menjadi poin penting untuk menghidupi hidup dengan baik. Kontribusi Mencius dalam dunia pemikiran Timur sangat banyak seperti tentang hakikat kodrat manusia dan etika serta berbagai perspektif tentang agama, politik, negara dan kebudayaan. Pada kesempatan ini, penulis akan memperkenalkan Mencius dan pemikirannya dalam menjadi manusia. Bagianya ada sesuatu yang terus diperjuangkan manusia agar tidak sekadar menjadi binatang melainkan binatang berakal budi atau manusia.

Biografi Mencius

        Menurut tabel kronologis Mencius yang disiapkan oleh Ch'eng Fu-hsin abad 14 M, Mencius lahir pada 371 dan meninggal pada 289 SM. Mencius tinggal di negara bagian Tsou, sebuah negara bagian yang berbatasan dengan Lu di Shantung (sekarang), dan yang terkenal sebagai pusat Konfusianisme. Berdasarkan tulisan Fung Yulan (1952; 107), ia mengklaim bahwa Mencius belajar di bawah didikan cucu Konfusius.

Karya-karya Mencius terdiri dari tujuh buku, yang di kemudian hari diberi kehormatan dengan menjadikannya sebagai salah satu dari empat buku yang menjadi dasar dari pendidikan tentang konfusianisme. Dalam buku ini dimuati beberapa bagian yang berbeda-beda. Bagian-bagian ini mencatat ajaran Mencius dan percakapannya dengan berbagai murid, teman, dan pelindung kerajaan. Dikatakan juga bahwa dalam karyanya ini, dicatat percakapan Mencius dengan raja feodal pada masanya (Yulan, 1952; 107).

        Mencius adalah seorang pemikir China yang hidup pada masa setelah Konfusius dan hadir sebagai pemikir yang berkontribusi terhadap filsafat dan perkembangan pemerintahan pada masanya. Yulan (1952; 108) menuliskan bahwa gagasannya yang terkenal adalah pada dasarnya sifat manusia adalah baik. Pemikiran Mencius menjadi sumber penting untuk mengenang kembali ajaran Konfusius. Dikatakan bahwa Mencius merupakan salah seorang sarjana ulung pada masanya. Uniknya, dalam kejeniusannya ini, ia bepergian ke negara-negara lain, walau dikatakan dengan sia-sia ia berusaha agar gagasannya diterima oleh penguasa negara-negara itu. Mencius sendiri pernah mengakui dan menganggap dirinya sebagai satu-satunya orang pada masa kekacauan dan kebingungan intelektual yang mampu melestarikan ajaran Konfusius. Ia memberi pernyataan sekaligus retoris, apabila ada keinginan bahwa dunia harus menikmati ketenangan dan ketertiban, siapa yang ada hari ini, selain saya, untuk bisa mewujudkannya? 

Latar Belakang Pemikiran Mencius

        Setelah Kongzi atau Konfusius wafat, ajaran meredup dan para pengikutnya mulai menghilang. Pada masa itu, sedang terjadi kekacauan karena perang dan dampak langsungnya pada bidang pendidik ialah aktivitas belajar hanya terjadi di kota Chi dan Lu. Diceritakan bahwa Konfusius menarik banyak murid dan pemikirannya cukup dikenal oleh orang-orang pada masanya. Akan tetapi karena perang dan perebutan kekuasaan dari para feodal, tujuh puluh muridnya tersebar dan bepergian di antara para penguasa feodal-feodal itu. Ada murid yang menjadi sosok penting di tempatnya, menjadi guru dan menteri pada para penguasa feodal.  Sementara itu ada juga yang menempati posisi lebih rendah, menjadi teman dan guru para pejabat atau pensiun.

        Sebagaimana dikatakan di bagian biografi, Mencius membangkitkan kembali ajaran Konfusius. Kerja keras Mencius berhasil sehingga nama dan ajarannya tersebar luas dan mempengaruhi cara berpikir masyarakat luas. Sebagai seorang filsuf, Mencius memiliki karya yang memberikan gambaran mengenai pemikirannya. Namun, dapat ditarik suatu pernyataan bahwa Mencius tidak memiliki perhatian yang dalam pada seni pengajaran. Terdapat perbedaan unik antara Konfusius dan Mencius, walaupun Mencius sendiri berpendapat bahwa dia adalah penerus ajaran Konfusianisme. Perbedaannya adalah bahwa pernyataan-pernyataan Konfusius yang kerap kali menjustifikasi atau menilai bahwa dirinya keliru. Hal ini bertentangan atau setidaknya tidak terlalu sejalan dengan Mencius yang tidak menilai bahwa dirinya salah.

        Mencius hadir seperti seorang revolusioner yang memperhatikan kebutuhan masyarakat China. Selain menjadi seorang penasihat raja, ia pun membela hak-hak rakyat. Buku yang ditulisnya merupakan sebuah sarana untuk menjawab permasalahan masyarakat pada masa itu. Bagaimanapun kondisi sosial China pada saat itu menunjukkan ketidakteraturan, terjadi degradasi moral dan anarki intelektual. Dalam situasi demikian, Mencius menulis beberapa tulisan sebagai bentuk tanggapan atas permasalahan sosial yang dihadapi negaranya.

        Dalam tulisannya, ia mengangkat tentang berbagai masalah yang terjadi dalam negaranya, termasuk memberi nasihat kepada raja yang berkuasa pada saat itu. Dalam pemikirannya, Mencius lebih menekankan tentang kesamaan antara pribadi-pribadi dalam negara. Seperti banyak pengikut Konfusius lainnya, ia lebih merupakan guru dan penggerak daripada ahli teori. Mencius lebih bertendensi untuk menggerakkan orang menuju cita-cita tertentu daripada menyusun dan menyajikan argumen yang benar dan cermat. Hal ini bukan untuk mengatakan bahwa Mencius tidak menyajikan argumen yang menarik dan meskipun kadang-kadang menarik juga, hanya saja ini bukan tujuannya atau idealnya.

Menjadi Manusia Menurut Mencius

        Mencius ingin orang-orang pada zamannya mampu memperbaiki dan mengubah diri mereka dari keadaan yang bobrok menjadi lebih baik, sesuai dengan moral dan etika yang berlaku pada zamannya. Inti dari teori Mencius adalah keyakinan akan kualitas moral bawaan dan peningkatan sifat alami manusia. Pemikiran Mencius yang terkenal adalah teorinya tentang sifat manusia pada dasarnya baik. Menurut Mencius, manusia memiliki sumber daya aktif dan teramati untuk menjadi baik. Artinya, manusia secara alami memiliki potensi untuk berbuat baik dan berbelas kasih. Perhatian etis utama Mencius, baik teoritis maupun praktis adalah bagian dari praktik pengembangan diri dan moral serta cara berelasi. 

        Mencius berpendapat bahwa jika manusia menjalankan aspek yang paling penting dan khas dari sifatnya, misalnya kepekaan moral bawaan dan kemampuan untuk berefleksi serta berpikir yang sesuai dan bermanfaat, semua ini dapat membantu mengembangkan moralnya. Kunci dari proses perubahan sikap dan mental setiap orang adalah bagaimana seharusnya menggunakan pikiran dengan baik, tepat dan benar. Menurut Mencius, pada dasarnya pikiran mengandung unsur-unsur afektif, kognitif, dan kehendak.

        Pada hakikatnya yang membuat manusia menjadi manusia adalah esensi kemanusiaan. Esensi yang membedakan ini adalah pikiran manusia (Yulan, 1952, 122). Dengan berpikir, ia menguasai pandangan yang benar tentang sesuatu. Kemampuan pikiran adalah berpikir. Apa yang disukai pikiran, bagaimanapun adalah alasan dan kebenaran. Oleh karena itu, manusia harus bertindak sesuai dengan akal dan kebenaran sehingga dia dapat mengikuti bagian dirinya yang agung. Dengan demikian, dia mempertahankan apa yang menjadikannya manusia dan sesuai dengan definisi esensial dari kata manusia. Jika tidak dia akan kehilangan apa yang dia miliki sebagai manusia dan menjadi sama dengan binatang buas.

        Apabila seseorang kehilangan kebaikan pikirannya, sejatinya ada pemulihan kehidupan atau pikiran setiap malam. Pengaruh pemulihan malam ini berarti hati manusia dan kebenaran yang belum sepenuhnya dihancurkan. Apabila manusia tidak melestarikan pikiran, dia kehilangan kemanusiaannya, dengan demikian menjadi tidak lebih dari seekor binatang. Alasan mengapa Mencius menekankan perlunya mencari pikiran yang hilang, dan tidak kehilangan pikiran adalah karena ini diperlukan sebelum seseorang benar-benar menjadi seorang manusia (Yulan, 1952; 124 ).

        Pandangan Mencius mengimplisitkan bahwa manusia adalah makhluk alami yang merefleksikan diri, bertindak, dan mencari jawaban dengan pikirannya. Sejatinya fungsi alami dari pikiran adalah untuk berpikir atau mencerminkan dan membantu manusia mengatur hidupnya. Ketika seseorang tidak mampu menggunakan pikirannya, ia adalah binatang yang hanya mengandalkan instingnya. Mencius mengatakan bahwa perbedaan antara manusia dengan binatang ialah seorang manusia itu mempunyai asas kebaikan, seperti kemampuan membuat penaklukan yang membedakan antara perbuatan baik dengan perbuatan buruk. 

        Dalam pandangan Mencius, seseorang yang berpikir, moralitas dan kehendaknya berjalan seimbang, lebih khususnya lagi ia mampu memanusiakan manusia. Mencius menegaskan bahwa ketika seseorang dalam hidup bernegara mengembangkan moralitasnya dengan baik tentunya akan sangat berkontribusi dalam menghasilkan masyarakat yang stabil dan harmonis. Yulan menuliskan (1952; 120) jika seseorang tidak memperluas kebaikan, dirinya tidak akan cukup untuk melindungi istri dan anak-anak sendiri.

        Ajaran etika Mencius menegaskan bahwa orang yang berhati manusia tidak memiliki musuh di bawah langit (Yulan, 1952; 109) Perlakukanlah sebagaimana layaknya usia tua terhadap orang-orang yang lebih tua dalam keluargamu sendiri, agar dapat meluaskan perlakuan ini kepada orang-orang yang lebih tua dari yang lain. Perlakukanlah sebagaimana layaknya kaum muda terhadap kaum muda dalam keluargamu sendiri, agar dapat meluaskan perlakuan ini kepada kaum muda dari orang lain, lakukan ini dan kerajaan dapat dibuat berputar di telapak tangan Anda (Yulan, 1952; 120).

        Menurut Mencius, semua orang memiliki pikiran yang tidak dapat menanggung melihat penderitaan orang lain (Yulan, 1966; 75). Oleh karena itu, manusia yang tidak memiliki rasa simpati bukanlah seorang manusia. Dia yang tidak memiliki rasa malu dan tidak suka bukanlah seorang manusia. Dia yang tidak memiliki perasaan rendah hati dan kepasrahan bukanlah seorang manusia. Dia yang tidak memiliki rasa benar dan salah bukan manusia. Perasaan iba adalah awal dari hati manusia. Perasaan malu dan tidak suka adalah awal dari kebenaran. Perasaan rendah hati dan mengalah adalah awal dari kepatutan. Perasaan benar dan salah adalah awal dari kebijaksanaan.

        Perasaan simpati adalah milik semua orang, begitu juga rasa malu dan tidak suka, rasa hormat dan rendah hati, dan benar dan salah. Perasaan simpati adalah hati manusia, rasa malu dan tidak suka adalah kebenaran, rasa hormat adalah kepatutan, dan yang benar dan yang salah adalah kebijaksanaan. Semuanya tidak menyatu ke dalam kita dari luar. Hanya saja manusia kurang refleksi. Artinya, ketika seseorang tidak baik, itu bukan karena dia sebenarnya kurang dalam hal-hal atau materi dasar untuk menjadi baik atau dia tidak memiliki empat permulaan yang dijelaskan di atas. Menurut Mencius, perasaan-perasaan ini harus dikembangkan karena melalui merekalah manusia menjadi manusia (Yulan, 1952; 121).

        Manusia memiliki empat awal ini seperti dia memiliki anggota badan. Oleh karena itu, apabila manusia berkata dia tidak mampu mengembangkannya, dia melukai dirinya sendiri. Ketika manusia mengatakan tentang kedaulatannya bahwa dia tidak mampu, dia melukai kedaulatannya. Semua orang memiliki empat permulaan ini dalam dirinya, memberi manusia perkembangan dan penyelesaian penuhnya (Yulan, 1952; 121).

        Ketika Mencius mengatakan bahwa sifat manusia itu baik, maksudnya bahwa semua manusia memiliki kebaikan, bukan bahwa sifat manusia seluruhnya baik. Dengan mengatakan bahwa sifat manusia itu baik, Mencius hanya menegaskan bahwa semua manusia memiliki empat awal. Kurangnya kebaikan seseorang tidak berasal dari fakta bahwa sifatnya pada dasarnya bertentangan dengan sifat manusia yang baik tetapi hanya karena dia tidak membiarkan keempat awal yang melekat dalam dirinya untuk berkembang sepenuhnya. Menurut Mencius, dalam realitasnya sifat manusia niscaya baik (Yulan, 1952; 121).

         Mencius menganggap individu sebagai sangat penting sehingga menekankan kebebasan individu. Adapun aturan etiket tradisional, jika sewaktu-waktu apa yang diakui oleh manusia salah, hal itu tidak perlu lagi diakui dan dapat direvisi. Tindakan kesopanan, tindakan kebenaran yang tidak benar-benar tepat, orang besar tidak melakukannya. Hal Ini menyiratkan bahwa otoritas keputusan yang dibuat oleh individu lebih tinggi daripada apa yang diterima sebagai keberadaan dan kebenaran. Telah dinyatakan bahwa Konfusius menekankan kebebasan individu, sementara pada saat yang sama ia menekankan pembentukan perilaku manusia dari luar. Mencius, di sisi lain, memberikan penekanan yang relatif lebih besar pada kebebasan individu, bahwa manusia pada dasarnya baik, dia percaya bahwa hati manusia, kebenaran, kesopanan, dan kebijaksanaan tidak menyatu ke dalam kita dari luar (Yulan, 1952; 126). Oleh karena itu tidak dapat dihindari bahwa ia harus memiliki rasa hormat yang kuat terhadap keputusan moral yang dibuat oleh individu. Setiap orang dibenarkan dalam asumsi bahwa semua memilikinya di dalam diri mereka untuk menjadi Orang Bijak.

        Meski demikian, keberhasilan atau kegagalan, untung atau rugi yang timbul dari aspek lain kehidupan manusia tidak dapat dan tidak boleh dipertimbangkan. Manusia Unggul hanya mengikuti hukum (hak) dan kemudian menunggu takdirnya (ming). Surga dan Takdir menunjukkan sesuatu yang berada di luar jangkauan kekuatan manusia. Dalam kata-kata Mencius: Apa yang dilakukan tanpa manusia melakukannya, adalah dari Surga. Apa yang terjadi tanpa manusia menyebabkannya terjadi, adalah dari Takdir. Ketika kita mempertimbangkan suatu tindakan, kita hanya perlu bertanya pada diri sendiri apakah itu benar atau tidak, dan jika itu benar, lakukanlah. Kita harus berusaha sebaik mungkin untuk berbuat baik, dan itu saja. Keberhasilan atau kegagalan yang dihasilkan dari perilaku tersebut tergantung pada kondisi lingkungan yang bervariasi, di mana manusia tidak pernah dapat memiliki kendali penuh, dan itu yang disebut Surga atau Takdir. Mencius mempertahankan empat awal dari hati manusia, kebenaran, kepatutan dan kebijaksanaan, dan karena itu sifat manusia adalah baik. Akan tetapi alasan mengapa manusia harus memiliki empat permulaan ini dan kodratnya harus baik adalah karena kodrat itu sejatinya apa yang telah diberikan Surga kepada kita. Hal ini memberikan dasar metafisik bagi doktrin kebaikan kodrat manusia (Yulan, 1952; 127-129).

        Menurut Mencius, dia yang telah melatih pikirannya secara maksimal, mengetahui sifatnya. Dengan mengetahui sifatnya, dia mengetahui Surga. Menjaga pikirannya tetap terpelihara dan memelihara fitrahnya adalah cara untuk mengabdi pada Surga. Tanpa pikiran ganda, apakah seseorang harus memiliki kematian sebelum waktunya atau umur panjang; dan setelah mengembangkan karakter pribadinya, ia menunggu untuk apa pun yang mungkin ada, inilah cara untuk berdiri sesuai dengan Takdir. Pikiran merupakan bagian dari manusia yang agung, sehingga dia yang telah melatih pikirannya sepenuhnya, mengetahui sifatnya. Inilah yang telah diberikan Surga kepada kita.' Oleh karena itu melalui latihan pikiran dan pengetahuan tentang sifat kita, kita juga dapat mengenal Surga. Bagi Mencius, di mana pun Manusia Unggul lewati perubahan mengikuti, di mana pun dia tinggal, ada pengaruh spiritualisasi. Hal Ini mengalir di atas dan di bawah bersama dengan Langit dan Bumi. Tidak ada kesenangan yang lebih besar daripada menemukan ketulusan, ketika seseorang memeriksa diri sendiri. Apa yang di sini disebut kebenaran adalah istilah yang mungkin mencakup keempat awal kebajikan yang ada dalam kodrat manusia. Ini adalah sesuatu yang mendasar dan internal (Yulan, 1952; 131).

Tanggapan atas Pemikiran  Mencius

        Dengan meneliti pemikiran Mencius dari berbagai sumber, suatu apresiasi perlu diutarakan terhadap pemikirannya yaitu bahwa manusia mendapat tempat yang pertama dalam pemikirannya, bukan objek abstrak lainnya. Mencius tidak menaruh perhatian pada konsep-konsep abstrak tetapi ia lebih pada ajaran praksis hidup yang nyata yang berkaitan dengan moralitas yang bertujuan untuk kebaikan manusia itu sendiri.

        Ajaran Mencius yang meyakini manusia memiliki rasio dan kemampuan berpikir dan merasakan penderitaan orang lain juga patut diapresiasi. Manusia diminta untuk selalu berusaha agar dapat mengatasi segala permasalahan yang dihadapinya dan tidak lari pada asumsi abstrak, alih-alih kepada mitos-mitos. Selain itu, ajarannya Mencius mengimplisitkan bahwa hidup manusia akan bermakna apabila manusia dapat membawa diri di tengah-tengah kehidupan masyarakat, bukan hidup untuk menyendiri dan bukan untuk mementingkan diri sendiri. Semua ini karena manusia pada dasarnya baik dan makhluk sosial, tergantung manusia itu sendiri, bagaimana mengembangkan potensinya atau justru mematikannya.

        Untuk catatan Kritis, penulis melihat bahwa penekanan Mencius tentang konsep etis dan moral yang tidak terlepas dari pribadi manusia itu sendiri, dengan kata lain manusia adalah pelaku etis dan moralitas. Penekanan-penekanan Mencius ini terkesan sangat antroposentris, atau hanya eksistensi dan esensi manusia satu-satunya yang menjadi objek penelitian dan pusat perhatian dari manusia itu sendiri. Menurut penulis, Mencius perlu mengarahkan pemikirannya terhadap konsep-konsep lain termasuk Agama dan lebih melihat kaitan antara manusia dengan Yang Transenden.

Penutup

        Dalam situasi dunia saat ini, etika dan moralitas yang diajarkan oleh Mencius masih relevan. Keadaan dan situasi Manusia zaman ini mengalami suatu kesenjangan nilai moral dan etika, bahkan sikap brutal dan radikalisme semakin menjadi-jadi. Hal ini sering diasumsikan disebabkan oleh kurangnya minat pada nilai-nilai moral dan etika. Padahal, tidak perlu minat ke luar, karena semuanya sudah ada dalam diri manusia itu sendiri.

        Mencius mempercayai bahwa manusia mempunyai asas yang baik, sekurang-kurangnya manusia mempunyai kemampuan untuk membedakan antara suatu perbuatan yang baik dengan suatu perbuatan yang buruk. Manusia mempunyai kemampuan ini karena ia mempunyai rasio yang mampu membuat penaklukan. Ini juga merupakan perbedaan antara manusia dengan binatang, karena binatang tidak mempunyai rasio yang mampu membedakan antara baik dan buruk.

        Akan tetapi Tetapi seorang manusia hanya akan menjadi seorang manusia yang benar apabila dia selalu melakukan perbuatan yang baik, sehingga berbuat baik menjadi bagian dari tabiat dan kelakuannya. Semuanya ada pada pilihan bebas manusia itu sendiri yang mampu berpikir dan berefleksi serta merasakan simpati. Dalam hal ini, tujuan dan rancangan pendidikan ialah untuk membina seorang manusia yang mempunyai tabiat baik tetap melakukan perbuatan yang baik dari segi moral. Sekiranya ajaran Mencius dan para pemikir filsafat Timur lainnya menjadi fondasi untuk mengokohkan kembali kemanusiaan zaman ini.

Daftar Pustaka

        Yulan, Fung. A Short History of Chinese Philosophy-Free Press. Transl. Derk Bodde. New York: Collier Macmillan.1966.

        Yulan, Fung. A History of Chinese Philosophy-Vol. 1 The Period of the Philosophers. Transl. Derk Bodde. London: George Allen dan UNWIN LTD. 1952.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun