Pendahuluan
Cerita tentang wabah sampar seolah menjadi bukti perkataan filsuf bernama Nietzsche bahwa semuanya akan berulang. Walaupun dalam kondisi zaman yang berbeda, situasi dan gambaran fenomena yang ditampilkan oleh Novel berjudul Sampar tampak identik dengan situasi Covid 19 yang lalu. Pada tahun 1947, seorang bernama Albert Camus yang berusia 34 tahun menulis sebuah novel yang berjudul La Peste dalam bahasa Prancis. Dalam bahasa Indonesia La Peste artinya Sampar. Â Novel sampar menceritakan bagaimana epidemi yang mengerikan terjadi di Oran, sebuah kota di Aljazair Perancis.
Albert Camus dalam pembahasan sejarah filsafat dimasukkan dalam kelompok filsuf eksistensialis. Ia dikenal sebagai filsuf Absurd, bukan karena pemikirannya sulit dimengerti atau tanpa faedah, melainkan karena ia secara terang-terangan mengatakan bahwa hidup ini Absurd. Albert Camus mengingatkan bahwa begitu ironisnya segala optimisme dan cita-cita, termasuk yang menjanjikan kebebasan.Â
Camus merupakan filsuf sekaligus novelis. Pemikirannya tentang hidup ini pada dasarnya absurd, dapat dilihat jelas dalam beberapa tulisannya termasuk dalam bentuk novel. Penggambaran Camus dalam novel sampar tentang kehadiran wabah yang akan terus mengancam kebahagiaan dengan mengirim tikus tikus di kota bahagia mengingatkan manusia bahwa sesuatu yang diasumsikan 'kemenangan' sifatnya hanya sementara dan selalu mungkin datang lagi kemalangan dan hal buruk lainnya (Setyo; 2021, 10). Bisa jadi dan mungkin saja hari itu akan tiba untuk kutukan atau justru pencerahan manusia. Nasib manusia memang selalu tidak kurang absurd. Pada akhirnya nasib memang berkuasa dan inilah absurditas bagi Camus. Manusia pada akhirnya tetap ada dalam genggaman nasib yang tidak menentu bahkan mengancam bahkan sampai pada kematian.
Apakah manusia lantas mesti pesimis dengan hidupnya? Tentu tidak. Camus justru menyarankan untuk memberontak. Hidup memang absurd tetapi dengan mengetahui itu setiap orang masing-masing menciptakan makna untuk hidupnya sendiri.
Fenomena Absurditas dan Sikap Tokoh pada Novel Sampar
Pada tahun 1945, Aljazair, Kota Oran dilanda oleh wabah sampar yang mengakibatkan banyak wilayah Kota Oran diisolasi dan banyak penduduk Kota Oran meninggal dunia. Kisah menjadi pelik ketika pada suatu hari penduduk Oran menemukan ribuan tikus mati, lalu kemudian sejumlah orang sakit disebabkan oleh basil atau bakteri dari bangkai tikus itu. Seketika itu saja wabah sampar  menyebar di ke segala penjuru Kota Oran, Awalnya penduduk kebanyakan tetap beraktivitas seperti biasa, sibuk, fokus pada pasar, mencari kehidupan, dan perdagangan.Â
Lama-lama mereka menyadari bahwa mereka berhadapan dengan wabah sampar. Wabah sampar lantas membuat penduduk Kota Oran menjadi tidak tenang. Melihat situasi ini, Pemerintah Kota Oran berusaha menenangkan penduduk dengan menutup Kota Oran. Penutupan kota membuat orang panik dan ketakutan. Kepanikan mendorong mereka berebut menumpuk kebutuhan hidup sampai tidak peduli dengan kebutuhan orang lain. Penduduk terpaksa membiasakan diri hidup terisolasi dari dunia luar.Â
Memang dalam situasi krisis muncul sikap asli manusia. Tokoh bernama Paneloux, seorang pastor Jesuit, melihat wabah sampar sebagai hukuman kolektif dari Tuhan. Dalam khotbah-khotbahnya, ia meminta umat merenungkan hukuman ini sebagai akibat hilangnya semangat kasih. Ia menganalogikan sampar sebagai alu bencana yang memang dimaksudkan untuk memukul manusia. Ia bahkan melihat sampar sebagai hukuman atas kesalahan yang dilakukan manusia. Sampar adalah alu bencana yang tak kenal damai memukul gandum manusia sampai butir terpisah dari jerami...,. Sudah terlalu lama dunia ini bekerja sama dengan kejahatan...,. (Dini; 1947, 121).
Sebaliknya, tokoh bernama Rieux justru bereaksi negatif terhadap khotbah Pastor Paneloux. Baginya, mencari sumber masalah pada hal-hal yang melampaui kesanggupan manusia bahkan menjadikan yang ilahi sebagai tameng adalah cara yang keliru. Sebagai dokter yang berhadapan langsung dengan pasien-pasien yang terkena sampar, ia risih ketika orang-orang yang tidak berdaya itu justru dianggap sebagai orang yang dihukum. Saya terlalu banyak melihat di rumah sakit-rumah sakit sehingga sukar menerima pikiran hukuman kolektif seperti itu (Dini; 1947, 159).
Rieux memang tampaknya cenderung hanya mengandalkan sepenuhnya pada sisi humanisme dan tampak sinis terhadap klaim oknum agamis yang sering dianggap merendahkan kemanusiaan dengan mengatasnamakan yang transenden dan mengharapkan campur tangan Tuhan. Rieux percaya pada kekuatan manusia meski menyadari keterbatasannya. Sindiran Rieux terhadap kepasrahan orang beragama bukannya tanpa alasan melainkan ia ingin mengungkapkan perspektif terkait tanggung jawab manusia itu sendirilah yang memberi makna hidup dan harapan.
Dokter Rieux pun mengatakan bahwa wabah sampar ini berasal dari basil-basil. Sementara mengenai basil ini Romo Panelaux juga mencoba untuk menjelaskannya yakni melalui dalil teologis berupa hukuman Tuhan. Rieux justru mempertanyakan dalil ini, karena jika ini hukuman dari Tuhan, lalu kenapa wabah sampar ini juga membunuh anak kecil yang belum bersalah apa-apa. Diceritakan bahwa, anak dari tokoh bernama Othon meninggal karena dimakan secara bengis oleh basil sampar. Rieux mencukupkan diri untuk menolong korban, dia tidak berusaha menjelaskan wabah sampar yang tengah melanda penduduk kota Oran. Bagi Rieux basil itu datang lalu reda sendiri, tetapi bukan berarti hilang, baksilnya hanya menunggu waktu untuk keluar lagi. Â
Camus ingin menggambarkan manusia hidup dalam situasi absurd dan baginya hidup memang absurd. Absurd berarti tidak logis, tidak bisa dijelaskan, penjelasan apa pun yang diberikan tidak masuk akal. Gambaran absurditas hidup ini semakin jelas dalam kasus wabah sampar. Lebih lanjut, keresahan dan tindakan yang dipilih Rieux diambil Camus sebagai keresahan jujur seorang manusia di hadapan hidup yang absurd.
Saya tidak tahu apa yang menunggu saya maupun apa yang bakal terjadi setelah semua ini selesai. Sekarang banyak orang yang sakit dan mereka harus disembuhkan. Di kemudian hari mereka akan berpikir dan saya juga. Yang paling penting adalah menyembuhkan mereka. Saya membela mereka sebisa saya, begitu saja! (Dini; 1947,161).
Demikian setelah wabah sampar mereda, Rieux mendengar teriakan kegembiraan yang muncul dari kota tetapi Rieux ingat bahwa kegembiraan seperti itu selalu terancam. Basil wabah tidak pernah mati atau menghilang untuk selamanya, itu bisa tertidur selama bertahun-tahun di furnitur dan peti linen, ia menunggu waktunya di kamar tidur, ruang bawah tanah, bagasi, dan rak buku, dan mungkin hari itu akan tiba, untuk kutukan dan pencerahan manusia, itu akan membangunkan tikus-tikusnya lagi dan mengirim mereka untuk mati di kota yang bahagia.
Camus melalui figur Rieux mencoba mengenal dunianya sehingga bisa masuk ke realitas kehidupan, sebuah absurditas. Bukan untuk melarikan diri dari kesulitan wabah sampar tetapi justru harus merasa tertantang untuk menghadapinya. Lemahnya usaha manusia untuk melindungi diri dan mengantisipasi wabah sampar menjadi malapetaka tetapi bukan karena hukuman Tuhan. Rieux dengan tekun dan tegar bekerja keras merawat  orang-orang yang menderita penyakit sampar. Dalam situasi absurd, Rieux bertindak secara moral, membantu sesama, meskipun juga tidak terlalu banyak berharap. Sebagai dokter, ia juga melihat teman-temannya berjuang sembari gugur dalam merawat pasien.Â
Menjadi relawan bagi Rieux bukan hal yang luar biasa. Itu hanya melakukan kewajiban hidup. Rieux menghindar dari jebakan kemunafikan agar Tuhan tidak dijadikan alibi kebaikan atau kejahatan. Manusia itu sendiri yang menerima dampak kebaikan atau kejahatan. Oleh karena itu, bekerja keras menjadi relawan sesungguhnya berharga dalam konteks menghadapi kejahatan tetapi bukan demi motivasi mencari imbalan dari yang ilahi. Rieux mengungkapkan, "Tapi saya wajib mengatakan kepada Anda bahwa dalam hal ini tidak ada kepahlawanan. Ini adalah kejujuran. Ini memang suatu ide, satu pikiran yang bisa membuat tertawa, tetapi yang membuat satu-satunya cara berperang melawan sampar yaitu kejujuran. Bagi saya kejujuran adalah melakukan tugas saya sebagai dokter" (Dini; 1947, 205).
Menyikapi Absurditas
Novel tentang wabah sampar digunakan Camus untuk mendeskripsikan hidup dalam situasi absurd. Wabah sampar itu datang tiba-tiba dan membawa kematian. Tidak ada penjelasan yang masuk akal. Ada dua sikap yang muncul, mencari penjelasan mistis (abstrak) atau hanya perlu dihadapi dengan serius sesuai kemampuan. Selain wabah itu datang begitu saja ia juga hilang begitu saja. Ada kegembiraan tetapi selalu terancam karena basil wabah tidak pernah mati dan siap mengirim tikus-tikus ke kota yang bahagia.Â
Wabah merupakan simbol kemalangan dan segala hal buruk yang ditimpakan takdir kepada manusia. Manusia sangat dekat dengan semua itu dan tinggal menunggu waktunya. Basil wabah itu sangat dekat seperti di furnitur dan peti linen, ia menunggu waktunya di kamar tidur, ruang bawah tanah, bagasi, dan rak buku. Â Camus melihat realitas manusia di depan wabah yang melanda ini sebagai gambaran untuk sebuah penyakit jiwa manusia yakni rasa absurd di depan realitas. Absurd dalam pandangan Camus adalah bahwa manusia selalu mengarah pada kebahagiaan dan keadilan dan di sisi lain dunia selalu diam, seolah tidak peduli (Setyadi; 2021, 34).
Dalam menghadapi situasi absurd ini, Camus mengambil sikap sebagai seorang yang tidak berusaha mencari penjelasan abstrak terhadap bencana, sebagaimana khas dalam agama dan sains. Camus memilih untuk mengamati langsung apa yang terjadi, ia membantu korban yang jatuh tanpa banyak berteori, dan ia memilih menjadi figur yang terlibat penuh walaupun berisiko untuk membantu korban. Di hadapan bencana, yang dibutuhkan adalah keterlibatan di sisi korban tanpa memberi pengajaran dan tanpa memberi banyak abstraksi untuk menjelaskan itu semua.Â
Camus dalam pemikirannya tentang basil wabah yang terus mengancam hendak mengatakan absurditas itu bagian integral dari hidup manusia dan Camus tidak pernah menempatkan manusia di atas nasib. Pada akhirnya nasib memang berkuasa atas manusia tetapi Camus kemudian dalam melihat absurditas ini mengandaikan bahwa setidaknya manusia menunjukkan bahwa tidak ada nasib yang tidak bisa dilampaui dengan cemooh oleh manusia (Anugrahbayu; 2021, 27). Kita hanya perlu menjaga kesadaran kita untuk terus hidup dalam menghadapi absurditas. Absurditas mengasumsikan manusia yang terus hidup untuk menjaga konfrontasi antara pertanyaan-pertanyaan tentang absurditas dan dunia yang selalu diam. Menurut Camus nasib itu bisa dilampaui, tetapi dengan cemooh saja. Artinya Absurditas tetap ada tetapi manusia memiliki pilihan untuk melakukan sebisanya untuk menghidupi absurditasnya itu.
Manusia pada akhirnya tetap ada dalam genggaman nasib yang tidak menentu bahkan mengancam. Sikap yang diminta dalam kenyataan seperti ini adalah sikap tahu batas (Anugrahbayu; 2021, 27). Sikap yang disarankan untuk diambil adalah sikap yang berusaha tenang di situasi yang bergejolak dan boleh melakukan pemberontakan, hanya saja tetap tahu batas. Camus menolak hidup yang muluk-muluk dan meminta manusia untuk selalu hidup dengan penuh gairah dari waktu ke waktu. Di hadapan jiwa yang sadar terus menerus akan hidupnya yang senantiasa terancam, manusia tidak harus hidup sembarangan (Setyo; 2021, 8), ia tidak boleh pasif atau berharap pada suatu idea tertentu apalagi lari ke hal yang dianggap ilahi. Manusia di hadapan absurditas tidak berdalih, tidak bunuh diri, tetapi berontak, dan biar terjadi benturan terus menerus antara manusia dan ketidakjelasannya sendiri.
 Absurd hanyalah absurd apabila ia tidak ditakuti mentah-mentah, tetapi tidak bisa dilenyapkan. Manusia menerima keadaan tanpa harapan tetapi pada saat yang sama tidak putus asa dengan tugas untuk hidup, makna dan nilai muncul persis dari ketiadaannya. Dalam hal ini, seorang bukan hidup meskipun absurd melainkan hidup karena absurd, hidup berarti menjaga yang absurd hidup. Absurditas yang kadang-kadang membawa kepada keterancaman kemudian bukan dipahami sebagai sesuatu yang menakutkan tetapi kadang-kadang menjadi sesuatu yang menggairahkan dan bahkan indah (Anugrahbayu; 2021, 27).
Penutup
Dalam situasi perang saat itu, ketika hidup begitu murah, kematian datang tiba-tiba, tidak bisa dijelaskan mengapa ada kebatilan. Kebatilan dalam konteks Sampar adalah kejahatan Nazi yakni pembunuhan tanpa alasan yang dibahasakan lewat Novel Sampar. Banyak pertanyaan yang membuat Albert Camus mengeksplorasi sastra Sampar yang menggambarkan bagaimana manusia hidup dalam situasi absurd.Â
Absurd berarti tidak logis, tidak bisa dijelaskan, penjelasan apa pun yang diberikan tidak masuk akal. Hidup memang bila direnungkan lebih jauh, sebelum segala pengonsepan agama dan filsafat, tampak absurd. Dari mana dan mau ke mana, sesungguhnya tidak ada yang benar-benar tahu. Namun begitu banyak momen yang hadir yang memberi manusia cerita dan pengalaman yang menarik. Orang tampak menikmati atau memang benar-benar menikmati hidupnya. Sebaiknya nikmati dan biarkan hidup bermakna walaupun semuanya absurd juga.
Menariknya, justru di tengah situasi absurd itu Camus tidak menyarankan bunuh diri melainkan bertindak secara moral, membantu sesama, meskipun juga tanpa terlalu banyak berharap. Begitulah hidup yang direnungkan Camus, tidak terlalu muluk-muluk tetapi juga tidak pesimis. Berontak dan membiarkan benturan terus terjadi, selalu terjaga dan sadar bahwa hidup ini absurd. Aku sadar hidup itu absurd dan aku menikmati hidup yang absurd itu.
Daftar Pustaka
Anugrahbayu, Y. D. 2021. Camus: di Titik Suntuk Pagebluk, dalam Albert Camus: Menjadi Sederhana-Basis-Nomor 07-08-Tahun Ke-70-2021. Jakarta: Kanisius.
Camus, Albert. 1947. Sampar. NH Dini terj. Jakarta: Obor.
Setyadi, Â F. Wawan. 2021. Camus dan Sartre: Polemik dua Pemikir, dalam Albert Camus: Menjadi Sederhana-Basis-Nomor 07-08-Tahun Ke-70-2021. Jakarta: Kanisius.
Wibowo, Â A. Setyo. 2021. Â Albert Camus: Kronologi Hidup, dalam Albert Camus: Menjadi Sederhana-Basis-Nomor 07-08-Tahun Ke-70-2021. Jakarta: Kanisius.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI