Dokter Rieux pun mengatakan bahwa wabah sampar ini berasal dari basil-basil. Sementara mengenai basil ini Romo Panelaux juga mencoba untuk menjelaskannya yakni melalui dalil teologis berupa hukuman Tuhan. Rieux justru mempertanyakan dalil ini, karena jika ini hukuman dari Tuhan, lalu kenapa wabah sampar ini juga membunuh anak kecil yang belum bersalah apa-apa. Diceritakan bahwa, anak dari tokoh bernama Othon meninggal karena dimakan secara bengis oleh basil sampar. Rieux mencukupkan diri untuk menolong korban, dia tidak berusaha menjelaskan wabah sampar yang tengah melanda penduduk kota Oran. Bagi Rieux basil itu datang lalu reda sendiri, tetapi bukan berarti hilang, baksilnya hanya menunggu waktu untuk keluar lagi. Â
Camus ingin menggambarkan manusia hidup dalam situasi absurd dan baginya hidup memang absurd. Absurd berarti tidak logis, tidak bisa dijelaskan, penjelasan apa pun yang diberikan tidak masuk akal. Gambaran absurditas hidup ini semakin jelas dalam kasus wabah sampar. Lebih lanjut, keresahan dan tindakan yang dipilih Rieux diambil Camus sebagai keresahan jujur seorang manusia di hadapan hidup yang absurd.
Saya tidak tahu apa yang menunggu saya maupun apa yang bakal terjadi setelah semua ini selesai. Sekarang banyak orang yang sakit dan mereka harus disembuhkan. Di kemudian hari mereka akan berpikir dan saya juga. Yang paling penting adalah menyembuhkan mereka. Saya membela mereka sebisa saya, begitu saja! (Dini; 1947,161).
Demikian setelah wabah sampar mereda, Rieux mendengar teriakan kegembiraan yang muncul dari kota tetapi Rieux ingat bahwa kegembiraan seperti itu selalu terancam. Basil wabah tidak pernah mati atau menghilang untuk selamanya, itu bisa tertidur selama bertahun-tahun di furnitur dan peti linen, ia menunggu waktunya di kamar tidur, ruang bawah tanah, bagasi, dan rak buku, dan mungkin hari itu akan tiba, untuk kutukan dan pencerahan manusia, itu akan membangunkan tikus-tikusnya lagi dan mengirim mereka untuk mati di kota yang bahagia.
Camus melalui figur Rieux mencoba mengenal dunianya sehingga bisa masuk ke realitas kehidupan, sebuah absurditas. Bukan untuk melarikan diri dari kesulitan wabah sampar tetapi justru harus merasa tertantang untuk menghadapinya. Lemahnya usaha manusia untuk melindungi diri dan mengantisipasi wabah sampar menjadi malapetaka tetapi bukan karena hukuman Tuhan. Rieux dengan tekun dan tegar bekerja keras merawat  orang-orang yang menderita penyakit sampar. Dalam situasi absurd, Rieux bertindak secara moral, membantu sesama, meskipun juga tidak terlalu banyak berharap. Sebagai dokter, ia juga melihat teman-temannya berjuang sembari gugur dalam merawat pasien.Â
Menjadi relawan bagi Rieux bukan hal yang luar biasa. Itu hanya melakukan kewajiban hidup. Rieux menghindar dari jebakan kemunafikan agar Tuhan tidak dijadikan alibi kebaikan atau kejahatan. Manusia itu sendiri yang menerima dampak kebaikan atau kejahatan. Oleh karena itu, bekerja keras menjadi relawan sesungguhnya berharga dalam konteks menghadapi kejahatan tetapi bukan demi motivasi mencari imbalan dari yang ilahi. Rieux mengungkapkan, "Tapi saya wajib mengatakan kepada Anda bahwa dalam hal ini tidak ada kepahlawanan. Ini adalah kejujuran. Ini memang suatu ide, satu pikiran yang bisa membuat tertawa, tetapi yang membuat satu-satunya cara berperang melawan sampar yaitu kejujuran. Bagi saya kejujuran adalah melakukan tugas saya sebagai dokter" (Dini; 1947, 205).
Menyikapi Absurditas
Novel tentang wabah sampar digunakan Camus untuk mendeskripsikan hidup dalam situasi absurd. Wabah sampar itu datang tiba-tiba dan membawa kematian. Tidak ada penjelasan yang masuk akal. Ada dua sikap yang muncul, mencari penjelasan mistis (abstrak) atau hanya perlu dihadapi dengan serius sesuai kemampuan. Selain wabah itu datang begitu saja ia juga hilang begitu saja. Ada kegembiraan tetapi selalu terancam karena basil wabah tidak pernah mati dan siap mengirim tikus-tikus ke kota yang bahagia.Â
Wabah merupakan simbol kemalangan dan segala hal buruk yang ditimpakan takdir kepada manusia. Manusia sangat dekat dengan semua itu dan tinggal menunggu waktunya. Basil wabah itu sangat dekat seperti di furnitur dan peti linen, ia menunggu waktunya di kamar tidur, ruang bawah tanah, bagasi, dan rak buku. Â Camus melihat realitas manusia di depan wabah yang melanda ini sebagai gambaran untuk sebuah penyakit jiwa manusia yakni rasa absurd di depan realitas. Absurd dalam pandangan Camus adalah bahwa manusia selalu mengarah pada kebahagiaan dan keadilan dan di sisi lain dunia selalu diam, seolah tidak peduli (Setyadi; 2021, 34).
Dalam menghadapi situasi absurd ini, Camus mengambil sikap sebagai seorang yang tidak berusaha mencari penjelasan abstrak terhadap bencana, sebagaimana khas dalam agama dan sains. Camus memilih untuk mengamati langsung apa yang terjadi, ia membantu korban yang jatuh tanpa banyak berteori, dan ia memilih menjadi figur yang terlibat penuh walaupun berisiko untuk membantu korban. Di hadapan bencana, yang dibutuhkan adalah keterlibatan di sisi korban tanpa memberi pengajaran dan tanpa memberi banyak abstraksi untuk menjelaskan itu semua.Â
Camus dalam pemikirannya tentang basil wabah yang terus mengancam hendak mengatakan absurditas itu bagian integral dari hidup manusia dan Camus tidak pernah menempatkan manusia di atas nasib. Pada akhirnya nasib memang berkuasa atas manusia tetapi Camus kemudian dalam melihat absurditas ini mengandaikan bahwa setidaknya manusia menunjukkan bahwa tidak ada nasib yang tidak bisa dilampaui dengan cemooh oleh manusia (Anugrahbayu; 2021, 27). Kita hanya perlu menjaga kesadaran kita untuk terus hidup dalam menghadapi absurditas. Absurditas mengasumsikan manusia yang terus hidup untuk menjaga konfrontasi antara pertanyaan-pertanyaan tentang absurditas dan dunia yang selalu diam. Menurut Camus nasib itu bisa dilampaui, tetapi dengan cemooh saja. Artinya Absurditas tetap ada tetapi manusia memiliki pilihan untuk melakukan sebisanya untuk menghidupi absurditasnya itu.