Meninjau Kekerasan Seksual di Indonesia dalam Kemanusiaan a'la Gereja Katolik
Pengantar
Kekerasan seksual bukanlah kasus yang asing lagi didengar oleh manusia zaman sekarang termasuk manusia di Indonesia. Wanita atau pria, tua hingga anak-anak, memakai baju terbuka maupun tertutup, semuanya tetap berpotensi menjadi korban kekerasan seksual. Kenyataan miris mesti diakui bagsa Indonesia dalam kasus kemanusian khususnya berkaitan dengan kasus pelecehan seksual ini. Berbagai berita menunjukan kebiadaban beberapa manusia yang dengan sengaja merusak manusia lain secara fisik dan lebih berbahaya lagi terhadap mental mereka. Pelaku-pelaku ini bukan tidak pernah sekolah atau tidak sadar melainkan memang secara sengaja melakukannya. Korban Pun berjatuhan dan seringkali memberi trauma yang sulit disembuhkan.
Tantangan kemanusian berupa kekerasan seksual ini tentu hal yang relevan dibicarakan dan dicarikan solusinya. Bangsa Indonesia yang notabene memberi pendasaran yang jelas pada kemanusiaan yang berdab dan adil tentu sangat kontradiksi dengan kenyataan seperti ini. Semua pihak mesti sadar akan bahaya besar yang ditimbulkan. termasuk Gereja katolik. Gereja katolik sudah dan akan selalu menjadi bagian dari negara Indonesia. Tulisan ini hendak melihat dan mendasarkan diri pada argumen Gereja Katolik tentang kemanusiaan dan implikasinya terhadap menjawab tantangan kasus kemanusiaan seperti kekerasan seksual.
Kenyataan Kasus kekerasan seksual di Indonesia yang Miris
"Kekerasan seksual adalah setiap tindakan, baik berupa ucapan maupun perbuatan yang dilakukan seseorang untuk menguasai atau memanipulasi orang lain serta membuatnya terlibat dalam aktivitas seksual yang tidak dikehendaki."[1] Survei membuktikan bahwa kekerasan seksual dapat terjadi pada siapapun dengan penampilan seperti apapun.
Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) dalam jumpa pers yang dihadiri media massa menunjukkan sebagian hasil survei tentang busana yang dikenakan saat responden mengalami pelecehan seksual. Ada lima jenis pakaian yang menempati peringkat teratas yakni rok, hijab, baju lengan panjang, seragam sekolah, dan baju longgar.
Dari keseluruhan responden yang mengalami pelecehan seksual, (17,47 persen) mengenakan rok panjang dan celana panjang, di peringkat bawahnya ada perempuan berbaju lengan panjang (15,82 persen), baju seragam sekolah (14,23 persen), serta pakaian lainnya hingga 19 jenis. Perempuan berhijab pendek/sedang (13,20 persen), berhijab panjang (3,68 persen), serta berhijab dan bercadar (0,17 persen) juga menjadi korban pelecehan. Bila dijumlahkan, sekitar 17 persen mengenakan hijab. Survei mengenai pakaian yang digunakan perempuan saat kena pelecehan seksual ini adalah bagian dari hasil survei nasional terkait pelecehan di ruang publik.
TIM Survei (KRPA), terdiri dari Komunitas Hollaback Jakarta, perEMPUan, Lentera Sintas Indonesia, Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta (JDFG), dan Change.org. Dalam survei ini, mereka menyatakan bahwa ada 62.224 responden yang berpartisipasi. Berdasarkan data yang didapat, mereka menyimpulkan pelecehan seksual tidak disebabkan oleh jenis pakaian. Alasan yang mereka utarakan ialah korban pelecehan seksual ternyata juga mencakup perempuan berpakaian terbuka dan berpakaian tertutup.[2]
 Berdasarkan data milik Komnas Perempuan pada tahun 2014, tercatat 4.475 kasus kekerasan seksual pada kaum Hawa, tahun 2015 tercatat 6.499 kasus dan tahun 2016 telah terjadi 5.785 kasus. Sedangkan data Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia - berdasarkan pemantauan pemberitaan media online selama periode Agustus- Oktober 2017 - menyebutkan sedikitnya ada 367 pemberitaan mengenai kekerasan seksual. Sebanyak 275 di antaranya terjadi di Indonesia. Dari data tersebut, 73% atau paling besar terjadi di Pulau Jawa, diikuti Sumatera (13%), Papua (5%), Bali-NTB-NTT (4%), Sulawesi (3%) dan Kalimantan (2%). Lebih miris lagi bahwa kasus kekerasan seksual paling besar terjadi di rumah yakni 37%. Dari data tersebut disimpulkan bahwa tindakan kekerasan kerap dilakukan orang-orang terdekat korban. Sedangkan kekerasan seksual yang terjadi di sekolah sekitar 11% dan 10% di hotel. Kondisi Indonesia belakangan makin menguatkan asumsi bahwa Indonesia memang benar-benar dalam kondisi darurat kekerasan seksual. Selain kekerasan seksual terhadap anak, jumlah pemerkosaan di negeri ini juga tinggi. Hasil survei Komnas Perempuan secara daring dari 25.213 responden, sekitar 6,5% atau 1.636 orang, mengatakan mereka pernah diperkosa. Ironisnya, dari jumlah itu, 93% mengatakan mereka tidak melaporkan kejahatan tersebut, karena takut akibatnya.[3]
 Kekerasan seksual tidak diragukan lagi sangat berdampak negatif bagi korban. Menurut studi, 79% korban kekerasan dan pelecehan seksual akan mengalami trauma yang mendalam, selain itu stres yang dialami korban dapat mengganggu fungsi dan perkembangan otaknya. Dampak negatif yang kedua ialah dampak fisik. Kekerasan dan pelecehan seksual pada anak merupakan faktor utama penularan Penyakit Menular Seksual (PMS). Selain itu, korban juga berpotensi mengalami luka internal dan pendarahan. Pada kasus yang parah, kerusakan organ internal dapat terjadi. Dalam beberapa kasus dapat menyebabkan kematian. Kemudian dampak negatif yang ketiga pada bidang sosial. Korban kekerasan dan pelecehan seksual sering dikucilkan dalam kehidupan sosial. Masyarakat sering salah kaprah, hal yang seharusnya dihindari karena korban pastinya butuh motivasi dan dukungan moral untuk bangkit lagi menjalani kehidupannya malah memperparah situasi.[4]
Kemanusiaan yang Luhur Sebagai Bagian Integral Manusia Indonesia
 Menurut Para Bapa Bangsa termasuk Soekarno, perikemanusiaan adalah hasil proses pembentukan manusia menjadi manusia atau hasil proses humanisasi. Proses itu hanya dapat berjalan jika setiap manusia mendapat pengakuan dari  manusia lain di sekelilingnya. Manusia hidup dan ada bersama orang lain, terbuka terhadap kehadiran orang tetapi sekaligus hadir sebagai pribadi yang utuh atau personal. Artinya manusia secara personal meliliki keunikkan yang membuatnya tidak tergantikan bahkan oleh kembaran identiknya sekalipun. Meski demikian, keunikan itu tidak hanya untuk ada pada dirinya atau membuat seorang pribadi menjadi eksklusif dan menjauh dari yang lain melainkan menjadi modal dan bahkan perekat dimensi kebersamaan yang menjadi ciri khas manusia itu sendiri juga. Dengan kata lain, setiap pribadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diminta untuk melakukan partisipasi aktif dengan caranya masing-masing sesuai dengan kemampuannya dan dirinya dilindungi negara sama seperti semua orang lainnya. Kesalingtergantungan manusia menurut prinsip keadilan dan keberadaban, bagaimanapun, sulit tercapai tanpa kepedulian. Masyarakat yang adil sulit tercapai kalau orang-orangnya tidak peduli satu sama lain. Kepedulian mendorong kesediaan aktif untuk terlibat dalam pengalaman orang lain, terutama yang mengalami ketidakadilan dan mencegah terjadinya ketidakadilan dan ketidakbiadaban dalam berperilaku terhadap sesama.[5]
Hidup bermasyarakat adalah hidup bersama dalam suatu dimensi geografis, dimensi hidup sosial dan dimensi hidup yang lainnya. Perlu disadari dengan baik bahwa kemanusian seorang manusia tidak terlepas dari konteks hidupnya. Setiap dimensi relitas kehidupan sehari-hari merupakan titik tolak tetapi sekaligus juga tempat muncul berbagai rintangan kehidupan sosial seorang manusia itu juga. Perikemanusiaan adalah undangan bagi manusia untuk menjadi semakin manusiawi berangkat dari situasi konkretnya di tengah-tengah dunia. Unsur-unsur sosial yang pokok dalam kehidupan beremasyarakat ialah norma-norma atau kaidah-kaidah sosial, lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok serta lapisan-lapisan sosial. Unsur unsur itu terjalin menjadi satu sama lain, dan keseluruhannya disebut struktur sosial.[6] Kemanusiaan Manusia juga merupakan suatu tanggung jawab sosial sekaligus demokrasi  yang cakupannya menjangkau umat manusia. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kepekaan sosial terhadap pengalaman orang lain dan menanggapinya secara adil dan beradab menjadi keharusan dan kenyataan hakiki manusia.Â
Di sisi lain, perikemanusiaan juga berisi sejarah perjuangan umat manusia untuk membebaskan diri dari berbagai kungkungan yang menjadikan situasinya tidak manusiawi. Kesadaran seperti ini tentu mendorong kita untuk memperjuangkan kebaikan semua manusia tanpa memperhitungkan ras, warna kulit, dan dari bangsa mana dia berasal.  Kita manusia yang mampu  saling belajar, saling menolong dan saling peduli terhadap kehidupan semua orang. Segala bentuk pengucilan dan perendahan martabat manusia tidak ditolerir dan harus dihapus. Martabat manusia mengungkap keluhuran manusia sebagai manusia. Keluhuran martabat manusia diterima berdasarkan fakta bahwa manusia adalah manusia. Martabat manusia secara esensi tidak dapat dilenyapkan, martabat bukan sesuatu yang bersifat empiris dan dapat dibuktikan secara ilmiah. Martabat manusia memiliki status a priori, suatu keyakinan dasar yang bertumpu ke pengandaian metafisis bahwa demikianlah hakikat manusia.[7]  Dengan demikian martabat tidak dapat disangkal atau direndahkan, dan tidak dapat dianggap tidak ada.
Bertopang ke Relasi antarmanusia, manusia sejatinya harus terlibat dengan manusia lain dalam hubungan yang adil dan beradab di tengah pengalaman bersama di dunia ini.
Kemanusiaan Manusia Itu Hakikat dan Luhur dalam Perspektif Katolik
Tidak bisa dipungkiri, agama khususnya gereja Katolik memainkan peranan dalam semangat kemanusiaan, persatuan, keadilan dan dalam kehidupan sosial politik Republik Indonesia.
"Nilai-nilai kemanusiaan yang luhur seperti yang ada di dalam Pancasila itu terdapat juga di dalam Gereja katolik. Andaikata tidak ada Pancasila, nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial itu juga sudah harus dijunjung tinggi dan diperjuangkan oleh Gereja katolik. Dalam terang iman Katolik Gereja menerima Pancasila. Dengan menerima Pancasila itu umat Katolik tidak merasa menerima tambahan beban, melainkan mendapat tambahan dukungan dan bantuan dari negara RI. Maka, Gereja Katolik sangat menghargai Pancasila bukan karena pertimbangan taktis, melainkan karena keyakinan akan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya, yang perlu dihayati dan diamalkan secara terbuka, dinamis dan kreatif dalam wawasan persatuan, kebersamaan dan kemanusiaan yang luhur bangsa kita."[8]
Pernyataan tegas dari Gereja Katolik ini menegaskan bahwa nilai-nilai dasar dari Pancasila ikut mewarnai kehidupan umat Gereja Katolik. Itulah sebabnya, Gereja sangat menerima dan mendukung nilai-nilai Pancasila yang terkandung di dalamnya itu sebagai pedoman bagi kehidupan setiap warga masyarakat.
Berkaitan dengan kemanusiaan seorang manusia, Gereja Katolik sejatinya memberi penghargaan dan pendasaran yang Kuat. Kemanusiaan menurut Gereja Katolik sudah dilukiskan sejak awal dalam kisah penciptaan. Melalui sabda-Nya, "Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa Allah."[9] Artinya, manusia memiliki kodrat dan martabatnya yang paling luhur di antara semua ciptaan. Manusia diciptakannya dengan akal budi dan segalanya sehingga manusia itu sendiri menjadi kaya akan kelengkapannya. Lantas, "adakah kebaikan dan keluhuran itu terpelihara hingga kini? Melihat kenyataan saat ini, khususnya kasus kekerasan seksual yang ada, pertanyaan ini sungguh memukul setiap pribadi manusia. Sebab yang diciptakan baik adanya menjadi kurang baik adanya sebagai manusia. Bahkan dalam tubuh Gereja sendiri ada kasus dalam dimensi seksualitas. Paus Fransiskus mengungkapkan, "Dengan rasa malu dan pertobatan, kami mengakui sebagai komunitas gerejawi bahwa kami tidak berada di tempat seharusnya, bahwa kami tidak bertindak tepat waktu, menyadari besarnya dan beratnya kerusakan yang terjadi pada begitu banyak kehidupan."[10] Ungkapan Paus ini lahir dari keprihatinan beliau terhadap pelbagai kasus pelecehan terhadap anak-anak yang terjadi dalam Gereja Katolik dan banyaknya korban pelecehan seksual terutama pada anak-anak. Paus mengizinkan kasus ini diberitakan kepada publik atau tidak lagi merahasiakan kasus pelecehan yang selama ini dirahasiakan oleh Gereja.
Kebebasan dan martabat juga dipakai Gereja Katolik sebagai dasar penghargaan terhadap kemanusiaan manusia. Kebebasan sejati merupakan tanda yang mulia gambar Allah dalam diri manusia. Dalam hal ini, Allah menyerahkan manusia kepada keputusannya sendiri. Hak melaksanakan kebebasan adalah hak semua orang karena kebebasan itu tidak terpisahkan dari martabatnya sebagai pribadi manusiawi. Oleh karena itu, hak ini harus selalu dihormati, khususnya di bidang moral dan religious, dan harus diakui dan dilindungi oleh otoritas sipil dalam batasan-batas kebaikan umum dan tatanan publik yang adil. Meski demikian, Gereja juga menyadari bahwa dalam realitas harian, orang kadang-kadang menyalahgunakan kebebasannya sebagai pemimpin dengan melakukan sesuatu dengan semau saya saja. Sering pula orang mendukung kebebasan dengan cara yang salah dan mengartikannya sebagai kesewenangan-wenangan untuk berbuat apapun sesuka hatinya. Oleh karena itu, Gereja Katolik menetapkan prinsipnya. Bagi gereja Katolik:
"Kebebasan adalah kemampuan yang diberikan Allah kepada manusia untuk bertindak atau tidak bertindak, untuk melakukan ini atau itu, dan dengan kemampuan yang demikian itu, dia bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Kebebasan adalah ciri khas tindakan yang benar-benar manusiawi. Semakin orang melakukan kebaikan, semakin bebaslah dia. Kebebasan mencapai kesempurnaannya jika dia terarah kepada Allah, kebaikan tertinggi dan kebahagian kita. Kebebasan juga berarti kemungkinan untuk memilih antara yang baik dan jahat. Memilih yang jahat merupakan penyalahgunaan kebebasan dan akan menggiring orang kepada perbudakan dosa."[11]Â
Martabat Manusia sangat jelas dasarnya dalam Gereja Katolik. Gereja Katolik menegaskan bahwa Martabat manusia berakar pada penciptaan menurut gambar dan rupa Allah. Manusia dengan jiwa yang spiritual dan tidak dapat mati, dengan akal budi dan kehendak bebas. Oleh karena itu, manusia diminta supaya bertindak menurut pilihannya yang sadar dan bebas artinya digerakkan dan didorong secara pribadi dari dalam, dan bukan karena ransangan hati yang buta. Keyakinan akan Yesus pun menopang argument martabat ini. Kehadiran Yesus diyakini membawa berkat bagi manusia, sebab dalam Dia kodrat manusia disambut dan di dalam diri manusia kodratnya diangkat mencapai martabat yang amat luhur.[12]
Kamanusiaan manusia bagi Gereja Katolik menjadi sebuah hakikat yang dengan sendirinya diterima, diakui, dihargai dan dihormati oleh setiap pribadi. Kemanusiaan itu mengindikasikan agar manusia bersikap bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain.
"Di lubuk hati nuraninya, manusia menemukan hukum yang tidak diterimanya dari dirinya sendiri, melainkan harus ditaatinya. Suara hati itu selalu menyerukan kepadanya untuk mencintai dan melaksanakaan apa yang baik, dan untuk menghindari apa yang jahat. Dalam hatinya, manusia menemukan hukum yang ditulis oleh Allah. Martabatnya ialah mematuhi hukum itu, dan menurut hukum itu pula dia akan diadili."[13]
Rasa Kemanusia dalam Gereja Menjawab Tantangan Kekerasan Seksual di Indonesia
Sangat jelas bahwa Gereja Katolik sangat menentang segala sikap yang merusak kemanusiaan termasuk kekerasan seksual. Kekerasan seksual bagaimanapun merusak kemanusiaan manusia itu sendiri yang didalamnya termasuk kebebasan dan martabat yang luhur sebagai manusia. Gereja Katolik sendiri sadar bahwa persoalan yang menyangkut dimensi seksualitas bukanlah perkara mudah. Gereja bahkan mengalami masalah yang sama dalam tubuhnya berupa kasus-kasus kekerasan seksual atau semacamnya. Meski demikian Gereja tetap memiliki pandangan yang prinsipil akan cara bersikap yang semestinya sembari menentang segala penyimpangan seksualitas yang terjadi. Pandangan Gereja ini pun bisa menjadi masukan dan pedoman untuk kehidupan Masyarakat Indonesia khususnya untuk paling tidak meminimalisir kasus kekerasan seksual yang terjadi.Â
Pendasaran atau gambaran sikap yang bisa dikembangkan dari Gereja bisa mulai dari Gambaran tentang pemimpin agama seperti apa dan bagaimana yang dikehendaki oleh Gereja. Gereja menghendaki seorang pemimpin yang bijak dalam bersikap, "...Hendaklah mereka menghindari apa saja yang bagi diri mereka sendiri menyebabkan atau memungkinkan timbulnya kerugian rohani, atau yang dapat membahayakan sesama karena contoh yang buruk."[14] Sikap seorang pemimpin mesti memberi pengaruh positiff bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain yang dipimpinnya. Misalnya dalam menggunakan media komunikasi sosial, hendaknya dipelihara ugahari yang semestinya dan dihindari segala sesuatu yang merugikan panggilannya sendiri serta berbahaya bagi kemurnian hati orang yang sudah dikuduskan.[15] Seseorang harus mempertimbangkan kata-kata dalam bertutur lewat media social. Ucapan berbau perendahan, kekerasan, dan pelecehan seksual secara verbal terhadap kelompok atau seorang individu mesti dihindari. Sikap bijak tentu tidak hanya diharapkan pada subyek yang bisa berpotensi melakukan kejahatan seksual melalui media social. Setiap orang mesti memperhatikan apa yang dibaca dan didengarnya.Â
Gereja Katolik juga memberi gambaran melalui para biarawan-biarawati yang dimilikinya. Ditegaskan oleh Gereja Katolik bahwa kerasulan semua biarawan pertama-tama terletak dalam kesaksian hidup mereka yang sudah dikuduskan yang harus mereka pelihara dengan doa dan tobat.[16] Para biarawan dan biarawati mesti mengaktualkan sikap netral, dalam artian penjunjungan tinggi terhadap hidup rohaniah tetapi bukan berarti merendahkan kehidupan badaniah. Contoh dari para biarawan dan biarawati sekiranya memberi model penghargaan terhadap seksualitas yang mumpuni. Seksualitas dianggap sebagai pemberian Tuhan yang luhur dan harus dihargai. Kekerasan seksual tentu sangat kontradiksi bahkan dianggap kejahatan yang luar biasa. Apapun alasan seorang pelaku tentu tidak bisa dibenarkan, bagaimanapun para biarawan bahkan menunjukkan contoh yang radikal untuk hal ini dan mampu melakukannya.Â
Sikap Gereja Katolik yang lain yang pantas diteladani lagi adalah metodenya yang memberi aturan bahwa setiap pribadi yang mempunyai kewajiban dan haknya sendiri dan yang bersifat eksklusif untuk mendidik mereka yang ditugaskan bagi pelayanan rohani.[17] Setiap pribadi yang dipercaya sebagai figur untuk pendampingan harus sadar dengan bahaya kekhilafan atau semacamnya. Ditegaskan oleh Gereja Katolik berkaitan dengan Pendidikan bahwa para mahasiswa hendaknya diberi pelajaran dengan teliti dalam hal-hal yang secara khusus berhubungan dengan pelayanan rohani, dalam bergaul dengan sesama manusia.[18] Pendidikan sangat relevan dan bahkan menjadi Langkah krusial dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual. Kesadaran pribadi besar kemungkinan bagkit dari pengetahuan yang dimilikinya dan hal itu sangat mungkin apabila pendidikannya sangat mendukung juga. Sebaliknya, peluang besar terjadinya kasus-kasus seksualitas berangkat dari ketidaktahuan. Ketidaktahuan ditambah dengan dorongan naluriah bisa menjadi sesuatu yang melahirkan perilaku yang tidak bertanggung jawab termasuk kekerasan seksual.
Pendidikan sekali lagi penting disoroti karena kadang-kadang pendidikan zaman sekarang hanya mengutamakan kemajuan intelektualnya saja. Pengembangan karakter dan perilaku yang baik dinomorduakan bahkan seringkali tidak diperhatikan. Dalam kenyataan harian misalnya ada orang yang menguasai dengan baik teori etika dan moralitas tetapi melakukan kekerasan seksual atau semacamnya. Jelas bahwa Pendidikan karakter yang akhir-akhir ini dicanangkan pemerintah Indonesia sangat urgen dan relevan. Kehidupan manusia sangat kompleks tetapi dengan moralitas dan karakter serta pengetahuan yang mumpuni akan memperlihatkan manusia yang unggul dan baik. Pendidikan ini tentu bukan hanya dilakukan dalam bidang formal seperti sekolah melainkan juga dalam keluarga atau lingkungan sosial lainnya. Dokumen konsili Vatikan kedua menegaskan, "Merupakan tugas orang tua dalam keluarga menyiapkan hati anak-anak mereka sejak kecil untuk mengenali cinta kasih Allah terhadap semua orang, serta mengajar mereka sedikit demi sedikit, terutama dengan teladan, untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan jasmani maupun rohani sesama.[19] Gereja Katolik sekali lagi menekankan bahwa pendidikan yang sejati harus meliputi pembentukkan pribadi manusia seutuhnya.Â
Dari sisi martabat seorang manusia, sangat jelas relevansinya bahwa manusia harus diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya bukan sebagai sarana semata. Gereja Katolik dengan tegas meminta, "Diantara semua orang beriman Kristiani, berkat kelahiran kembali mereka dalam Kristus ada kesamaan sejati dalam Martabat."[20] Segala bentuk perendahan martabat semacam kekerasan seksual sekali lagi tidak dapat dibenarkan. Martabat kita sama dan hal ini harus disadari semua orang, entah pria maupun wanita, jabatan apapun dalam realitas harian harus menyadari esensi ini. Secara tegas Gereja berkehendak, "Tak seorang pun boleh tanpa alasan yang wajar merusak nama baik yang dimiliki seseorang atau melanggar hak siapa pun atas perlindungan pribadinya.[21] Seorang manusia khususnya warga negara Indonesia mestinya memiliki kesadaran seperti ini. Sadar akan kehendak baik dalam dirinya sendiri dan kehendak baik yang ada pada diri Orang lain. Seseorang mesti sadar bahwa dirinya bebas dan orang lain pun memiliki kebebasan yang sama. Kebebasan seorang manusia hadir dan ada dalam dinamika bersama orang lain. Hukum Cinta Kasih dalam kepercayaan Gereja Katolik sangat relevan untuk hal ini, Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.
Penutup
Kemanusiaan manusia sebagai bagian integral dari manusia salah satunya diwujudkan dalam seksualitas yang dimilikinya. Kanyataan Indonesia yang miris karena banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi menjadi tantangan yang urgen dan sangat kontradiksi dengan asas sila kedua Pancasila. Gereja Katolik sebagai bagian dari negara sejatinya memiliki peran penting dalam kondisi seperti ini. Pandangan dalam Gereja Katolik tentang kemanusiaan seyogyanya memberi model dan pendukung dalam mengatasi atau mencegah kasus kemanusian semacam kekerasan seksual seperti yang sedang dihadapi negara pada saat ini.
 Seorang manusia mesti sadar akan penghargaan dan kesamaan sebagai makhluk yang luhur sehingga segala bentuk perendahan terhadap kemanusiaan seseorang tidak dapat dibenarkan. Segala sesuatunya mesti memperhatikan kebebasan dan martabat manusia yang luhur dan yang sejatinya berimplikasi positif apabila dipahami dengan baik sebagai warga negara. Siapapun mesti sadar akan bahaya laten terhadap perusakan kemanusiaan seorang pribadi dan berusaha mencegahnya. Segala usaha dimulai dari diri sendiri dalam kesadaran hukum cinta kasih dalam gereja dan asas kemanusiaan dalam Pancasila.
Catatan Kaki
[1] Pulih, "MENGENALI KEKERASAN SEKSUAL", diakses dari http://yayasanpulih.org/2017/06/mengenalikekerasan-seksual/.
[2] Atthalla Syalsabhila, Ronaldo C.P Turnip, Kasiano Vitalio, dan Kementerian Sosial Politik dan Kajian Strategis BEM USD, "Apa Kabar Penanganan Kekerasan Seksual di Indonesia?", https://usd.ac.id/mahasiswa/bem/f1l3/Kajian%20Kekerasan%20Seksual%20SPKS.pdf.
[3] Brilio Case, "DARURAT KEKERASAN SEKSUAL", 2020, diakses dari https://www.brilio.net/stories/kekerasan/.
[4] Brilio Case, "DARURAT".
[5] Yudi Latif, NEGARA PARIPURNA Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas PANCASILA", Hal. Â 250-257.
[6] P. J. Suwarno, Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Hal. 133.
[7] Fransiskus Sales Lega, "MARTABAT MANUSIA DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT MORAL IMMANUEL KANT", https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16557/2/T2_322015024_BAB%20II.pdf.
[8] Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik, Hal. 20.
[9] Bdk. Kej. 1:26
[10] Sekarwati Suci, "7 Kasus Pelecehan Seksual Terbesar Gereja Katolik", https://dunia.tempo.co/read/1128447/7-kasus-pelecehan-seksual-terbesar-gereja-katolik/full&view=ok
[11] DIOMA, Kompedium Katekismus Gereja Katolik, Hal. 132-133.
[12] Konferensi Waligereja Indonesia, Dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium Et Spess, Artikel 22, Hal. 533.
[13] Konferensi Waligereja Indonesia, Dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium Et Spess, Artikel 16, Hal. 526.
[14] Konferensi Waligereja Indonesia, Dokumen Konsili Vatikan II. Hal. 58.
[15] Konferensi Waligereja Indonesia, Kitab Hukum Kanonik, No.666, Hal. 199.
[16] Konferensi Waligereja Indonesia, Kitab Hukum Kanonik, No.673, Hal. 209
[17] Konferensi Waligereja Indonesia, Kitab Hukum Kanonik, No.232, Hal. 87.
[18] Konferensi Waligereja Indonesia, Kitab Hukum Kanonik, No.256, Bag. 1, Hal. 94.
[19] Konferensi Waligereja Indonesia, Dokumen Konsili Vatikan II. Hal. 386.
[20] Konferensi Waligereja Indonesia, Kitab Hukum Kanonik, No. 208, Hal. 81.
[21] Konferensi Waligereja Indonesia, Kitab Hukum Kanonik, No. 220, Hal 83.
Daftar Pustaka
Buku-Buku
 P. J. Suwarno. Pancasila Budaya Bangsa Indonesia. Kanisius: Yogyakarta. 1993.
 Yudi Latif. NEGARA PARIPURNA Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas PANCASILA" Kompas Gramedia: Jakarta. 2019.
Dokumen-Dokumen
Alkitab Deuterokanonika Katolik
DIOMA. Kompedium Katekismus Gereja Katolik. Dioma: Malang. 2011.
Konferensi Waligereja Indonesia. Iman Katolik. Obor: Jakarta. 1996.
Konferensi Waligereja Indonesia. Dokumen Konsili Vatikan II. Obor: Jakarta. 1991.
Konferensi Waligereja Indonesia. Kitab Hukum Kanonik. Grafika Mardi Yuana: Bogor. 2006.
Internet
Atthalla Syalsabhila, Ronaldo C.P Turnip, Kasiano Vitalio, dan Kementerian Sosial Politik dan Kajian Strategis BEM USD 2020. "Apa Kabar Penanganan Kekerasan Seksual di Indonesia?" 2020. Diakses dari
https://usd.ac.id/mahasiswa/bem/f1l3/Kajian%20Kekerasan%20Seksual%20SPKS.pdf. Diunduh pada tanggal 12 Desember 2020 pukul 19.43 WIB.
Brilio Case. "DARURAT KEKERASAN SEKSUAL". Diakses dari https://www.brilio.net/stories/kekerasan/. Diunduh pada tanggal 13 Desember 2020 pukul 18.20 WIB.
Fransiskus Sales Lega. "MARTABAT MANUSIA DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT MORAL IMMANUEL KANT". 2015. Diakses dari
https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16557/2/T2_322015024_BAB%20II.pdf. Diunduh pada tanggal 13 Desember 2020 pukul 18.53 WIB.
Pulih. "MENGENALI KEKERASAN SEKSUAL". Diakses dari
http://yayasanpulih.org/2017/06/mengenalikekerasan-seksual/. Diunduh pada tanggal 12 Desember 2020 pukul 19.25 WIB.
Suci Sekarwati. "7 Kasus Pelecehan Seksual Terbesar Gereja Katolik". 2018. Diakses dari
https://dunia.tempo.co/read/1128447/7-kasus-pelecehan-seksual-terbesar-gereja-katolik/full&view=ok. Diunduh pada Kamis, 17 Desember 2020, pukul 10.15 WIB.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H