Mohon tunggu...
Sepis Jandung
Sepis Jandung Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Aktif

Mahasiswa aktif Jurusan Filsafat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Meninjau Kekerasan Seksual di Indonesia dalam Kemanusiaan ala Katolik

22 April 2022   15:04 Diperbarui: 22 April 2022   15:07 1499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Kebebasan adalah kemampuan yang diberikan Allah kepada manusia untuk bertindak atau tidak bertindak, untuk melakukan ini atau itu, dan dengan kemampuan yang demikian itu, dia bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Kebebasan adalah ciri khas tindakan yang benar-benar manusiawi. Semakin orang melakukan kebaikan, semakin bebaslah dia. Kebebasan mencapai kesempurnaannya jika dia terarah kepada Allah, kebaikan tertinggi dan kebahagian kita. Kebebasan juga berarti kemungkinan untuk memilih antara yang baik dan jahat. Memilih yang jahat merupakan penyalahgunaan kebebasan dan akan menggiring orang kepada perbudakan dosa."[11] 

Martabat Manusia sangat jelas dasarnya dalam Gereja Katolik. Gereja Katolik menegaskan bahwa Martabat manusia berakar pada penciptaan menurut gambar dan rupa Allah. Manusia dengan jiwa yang spiritual dan tidak dapat mati, dengan akal budi dan kehendak bebas. Oleh karena itu, manusia diminta supaya bertindak menurut pilihannya yang sadar dan bebas artinya digerakkan dan didorong secara pribadi dari dalam, dan bukan karena ransangan hati yang buta. Keyakinan akan Yesus pun menopang argument martabat ini. Kehadiran Yesus diyakini membawa berkat bagi manusia, sebab dalam Dia kodrat manusia disambut dan di dalam diri manusia kodratnya diangkat mencapai martabat yang amat luhur.[12]

Kamanusiaan manusia bagi Gereja Katolik menjadi sebuah hakikat yang dengan sendirinya diterima, diakui, dihargai dan dihormati oleh setiap pribadi. Kemanusiaan itu mengindikasikan agar manusia bersikap bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain.

"Di lubuk hati nuraninya, manusia menemukan hukum yang tidak diterimanya dari dirinya sendiri, melainkan harus ditaatinya. Suara hati itu selalu menyerukan kepadanya untuk mencintai dan melaksanakaan apa yang baik, dan untuk menghindari apa yang jahat. Dalam hatinya, manusia menemukan hukum yang ditulis oleh Allah. Martabatnya ialah mematuhi hukum itu, dan menurut hukum itu pula dia akan diadili."[13]

Rasa Kemanusia dalam Gereja Menjawab Tantangan Kekerasan Seksual di Indonesia

Sangat jelas bahwa Gereja Katolik sangat menentang segala sikap yang merusak kemanusiaan termasuk kekerasan seksual. Kekerasan seksual bagaimanapun merusak kemanusiaan manusia itu sendiri yang didalamnya termasuk kebebasan dan martabat yang luhur sebagai manusia. Gereja Katolik sendiri sadar bahwa persoalan yang menyangkut dimensi seksualitas bukanlah perkara mudah. Gereja bahkan mengalami masalah yang sama dalam tubuhnya berupa kasus-kasus kekerasan seksual atau semacamnya. Meski demikian Gereja tetap memiliki pandangan yang prinsipil akan cara bersikap yang semestinya sembari menentang segala penyimpangan seksualitas yang terjadi. Pandangan Gereja ini pun bisa menjadi masukan dan pedoman untuk kehidupan Masyarakat Indonesia khususnya untuk paling tidak meminimalisir kasus kekerasan seksual yang terjadi. 

Pendasaran atau gambaran sikap yang bisa dikembangkan dari Gereja bisa mulai dari Gambaran tentang pemimpin agama seperti apa dan bagaimana yang dikehendaki oleh Gereja. Gereja menghendaki seorang pemimpin yang bijak dalam bersikap, "...Hendaklah mereka menghindari apa saja yang bagi diri mereka sendiri menyebabkan atau memungkinkan timbulnya kerugian rohani, atau yang dapat membahayakan sesama karena contoh yang buruk."[14] Sikap seorang pemimpin mesti memberi pengaruh positiff bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain yang dipimpinnya. Misalnya dalam menggunakan media komunikasi sosial, hendaknya dipelihara ugahari yang semestinya dan dihindari segala sesuatu yang merugikan panggilannya sendiri serta berbahaya bagi kemurnian hati orang yang sudah dikuduskan.[15] Seseorang harus mempertimbangkan kata-kata dalam bertutur lewat media social. Ucapan berbau perendahan, kekerasan, dan pelecehan seksual secara verbal terhadap kelompok atau seorang individu mesti dihindari. Sikap bijak tentu tidak hanya diharapkan pada subyek yang bisa berpotensi melakukan kejahatan seksual melalui media social. Setiap orang mesti memperhatikan apa yang dibaca dan didengarnya. 

Gereja Katolik juga memberi gambaran melalui para biarawan-biarawati yang dimilikinya. Ditegaskan oleh Gereja Katolik bahwa kerasulan semua biarawan pertama-tama terletak dalam kesaksian hidup mereka yang sudah dikuduskan yang harus mereka pelihara dengan doa dan tobat.[16] Para biarawan dan biarawati mesti mengaktualkan sikap netral, dalam artian penjunjungan tinggi terhadap hidup rohaniah tetapi bukan berarti merendahkan kehidupan badaniah. Contoh dari para biarawan dan biarawati sekiranya memberi model penghargaan terhadap seksualitas yang mumpuni. Seksualitas dianggap sebagai pemberian Tuhan yang luhur dan harus dihargai. Kekerasan seksual tentu sangat kontradiksi bahkan dianggap kejahatan yang luar biasa. Apapun alasan seorang pelaku tentu tidak bisa dibenarkan, bagaimanapun para biarawan bahkan menunjukkan contoh yang radikal untuk hal ini dan mampu melakukannya. 

Sikap Gereja Katolik yang lain yang pantas diteladani lagi adalah metodenya yang memberi aturan bahwa setiap pribadi yang mempunyai kewajiban dan haknya sendiri dan yang bersifat eksklusif untuk mendidik mereka yang ditugaskan bagi pelayanan rohani.[17] Setiap pribadi yang dipercaya sebagai figur untuk pendampingan harus sadar dengan bahaya kekhilafan atau semacamnya. Ditegaskan oleh Gereja Katolik berkaitan dengan Pendidikan bahwa para mahasiswa hendaknya diberi pelajaran dengan teliti dalam hal-hal yang secara khusus berhubungan dengan pelayanan rohani, dalam bergaul dengan sesama manusia.[18] Pendidikan sangat relevan dan bahkan menjadi Langkah krusial dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual. Kesadaran pribadi besar kemungkinan bagkit dari pengetahuan yang dimilikinya dan hal itu sangat mungkin apabila pendidikannya sangat mendukung juga. Sebaliknya, peluang besar terjadinya kasus-kasus seksualitas berangkat dari ketidaktahuan. Ketidaktahuan ditambah dengan dorongan naluriah bisa menjadi sesuatu yang melahirkan perilaku yang tidak bertanggung jawab termasuk kekerasan seksual.

Pendidikan sekali lagi penting disoroti karena kadang-kadang pendidikan zaman sekarang hanya mengutamakan kemajuan intelektualnya saja. Pengembangan karakter dan perilaku yang baik dinomorduakan bahkan seringkali tidak diperhatikan. Dalam kenyataan harian misalnya ada orang yang menguasai dengan baik teori etika dan moralitas tetapi melakukan kekerasan seksual atau semacamnya. Jelas bahwa Pendidikan karakter yang akhir-akhir ini dicanangkan pemerintah Indonesia sangat urgen dan relevan. Kehidupan manusia sangat kompleks tetapi dengan moralitas dan karakter serta pengetahuan yang mumpuni akan memperlihatkan manusia yang unggul dan baik. Pendidikan ini tentu bukan hanya dilakukan dalam bidang formal seperti sekolah melainkan juga dalam keluarga atau lingkungan sosial lainnya. Dokumen konsili Vatikan kedua menegaskan, "Merupakan tugas orang tua dalam keluarga menyiapkan hati anak-anak mereka sejak kecil untuk mengenali cinta kasih Allah terhadap semua orang, serta mengajar mereka sedikit demi sedikit, terutama dengan teladan, untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan jasmani maupun rohani sesama.[19] Gereja Katolik sekali lagi menekankan bahwa pendidikan yang sejati harus meliputi pembentukkan pribadi manusia seutuhnya. 

Dari sisi martabat seorang manusia, sangat jelas relevansinya bahwa manusia harus diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya bukan sebagai sarana semata. Gereja Katolik dengan tegas meminta, "Diantara semua orang beriman Kristiani, berkat kelahiran kembali mereka dalam Kristus ada kesamaan sejati dalam Martabat."[20] Segala bentuk perendahan martabat semacam kekerasan seksual sekali lagi tidak dapat dibenarkan. Martabat kita sama dan hal ini harus disadari semua orang, entah pria maupun wanita, jabatan apapun dalam realitas harian harus menyadari esensi ini. Secara tegas Gereja berkehendak, "Tak seorang pun boleh tanpa alasan yang wajar merusak nama baik yang dimiliki seseorang atau melanggar hak siapa pun atas perlindungan pribadinya.[21] Seorang manusia khususnya warga negara Indonesia mestinya memiliki kesadaran seperti ini. Sadar akan kehendak baik dalam dirinya sendiri dan kehendak baik yang ada pada diri Orang lain. Seseorang mesti sadar bahwa dirinya bebas dan orang lain pun memiliki kebebasan yang sama. Kebebasan seorang manusia hadir dan ada dalam dinamika bersama orang lain. Hukum Cinta Kasih dalam kepercayaan Gereja Katolik sangat relevan untuk hal ini, Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun