Mohon tunggu...
Sepis Jandung
Sepis Jandung Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Aktif

Mahasiswa aktif Jurusan Filsafat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Cara Manusia Memahami Menurut David Hume

20 April 2022   20:45 Diperbarui: 20 April 2022   20:52 1320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Cara Manusia Memahami Menurut David Hume 

Sebuah telaah atas buku An Inquiry Concerning Human Understanding dari David Hume

Biografi Singkat David Hume

David Hume lahir di Edinburgh, Skotlandia, pada 26 April 1711 sebagai anak kedua dari seorang tuan tanah di daerah utara Skotlandia. Ia diharapkan keluarganya kelak menjadi seorang ahli hukum, namun ketertarikan Hume hanya pada filsafat dan pengetahuan. David Hume unik di antara para filsuf karena menurut semua catatan, dia tampaknya adalah orang yang sangat menyenangkan dan mudah bergaul. 

Sejak muda ia meyakini bahwa ia akan menemukan cara berpikir baru, ia menyadari bahwa kerap kali cara berpikir dapat bertentangan dengan kehidupan sehari-hari yang lebih praktis. Saat masih berusia dua puluhan, dia menulis Risalah Hakikat Manusia yang monumental dan yang, mengejutkan dan mengecewakannya, hanya mendapat sedikit perhatian atas penerbitannya. 

Dia tidak pernah benar-benar memegang jabatan universitas, ditolak dari dua janji dengan tuduhan ateisme, dan mencari nafkah sebagai sastrawan, bertindak dengan berbagai cara sebagai sekretaris, tutor, pustakawan, dan sejarawan. Dia menghabiskan sebagian besar hidupnya di Prancis, di mana dia sangat populer di kalangan sastra. David Hume meninggal dunia sesudah menderita sakit pada 25 Agustus 1776.

Ketertarikan Hume pada filsafat meluas sepanjang hidupnya, dan dia menerbitkan banyak karya pendek yang mencoba untuk memperjelas atau memurnikan ide-ide yang diungkapkan dalam Risalah. 

Dia berjuang keras melawan metafisika dan dogmatisme agama justru karena mereka mengaburkan wacana yang beralasan, dan tulisannya sendiri adalah model kejelasan dan penalaran yang cermat. 

Hume sangat dipengaruhi oleh empirisme John Locke dan George Berkeley, dan juga bermacam penulis berbahasa Prancis seperti Pierre Bayle, dan bermacam figur dalam landasan intelektual berbahasa Inggris seperti Isaac Newton, Samuel Clarke, Francis Hutcheson, Adam Smith, dan Joseph Butler. 

Karya-karya David Hume didominasi oleh tema-tema politik, agama, moral, dan filsafat pengetahuan yang tersebar dalam buku-buku maupun surat-suratnya.

Latar Belakang Buku

Perlu dijelaskan sebelumnya bahwa Hume menulis beberapa buku, salah satunya adalah Treatise of Human Nature. Buku Treatise of Human Nature ini merupakan buku pertamanya sebagai usaha untuk memperkenalkan metode penalaran eksperimental pada subyek moral. Akan tetapi, buku pertamanya ini dianggap terlalu membingungkan dengan banyaknya generalisasi sisi psikologis manusia dan pertanyaan mengenai skeptisisme yang belum terselesaikan. 

Oleh karena itu, Hume merevisi tulisannya tersebut dalam buku yang berjudul An Inquiry Concerning Human Understanding. Isi buku ini hampir sama seperti Treatise, namun lebih "rendah hati" dalam menyampaikan skeptisisme. Ia memberikan batas rasio manusia dan mengkritik metafisika tradisional dan kepercayaan terhadap takhayul.

An Inquiry Concerning Human Understanding pertama kali diterbitkan pada tahun 1748. An Inquiry Concerning Human Understanding merupakan buku tentang epistemologi dan bukan tentang metafisika. 

Hume lebih prihatin tentang apa dan bagaimana kita tahu, dan sama sekali tidak membahas tentang apa yang sebenarnya terjadi atau isi yang diketahui. Hume adalah lawan kuat dari metafisika rasionalis, yang berusaha menjawab pertanyaan seperti apakah Tuhan itu ada atau tidak, apa sifat atau materi dan jiwa, atau apakah jiwa itu abadi. 

Pikiran, menurut Hume, bukanlah alat pelacak kebenaran, dan kita menyalahgunakannya jika kita pikir itu dapat membawa kita pada kesimpulan metafisik. Ilmu berpikir Hume lebih menggali dan menggambarkan bagaimana pikiran bekerja dan mengapa ia mencapai kesimpulan, tetapi tidak dapat membawa kita melampaui batas-batas akal kita sendiri.

Tesis utama Hume

David Hume adalah seorang filsuf yang mengikuti aliran empirisme. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan sejati diperoleh dari pengalaman. Hal ini tentu berlawanan dengan pendapat pemikir beraliran rasionalisme yang menyatakan bahwa pengetahuan bersumber dari rasio atau pikiran. Bagi seorang empiris seperti Hume, rasio hanya berperan sebagai pengolah data-data yang diperoleh dari pengalaman.

Latar pemikiran ini mengindikasikan bahwa David Hume ingin menjawab pertanyaan mendasar manusia, yaitu bagaimana cara manusia memperoleh pengetahuan? Sebagai pengikut aliran empirisme, Hume akan dengan tegas mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dari pengalaman inderawi. 

Dalam buku ini Hume mengkritik filsafat yang terlalu menggunakan penalaran, atau disebut metafisik. Hume berpendapat bahwa manusia harus lebih mengacu pada hal-hal yang bersifat saintifik, kritis, dan dapat ditangkap oleh kekuatan indera.

It is remarkable concerning the operations of the mind, that, though most intimately present to us, yet, whenever they become the object of reflection, they seem involved in obscurity.

Hume menyatakan bahwa untuk membedakan kebenaran, dibutuhkan persepsi, atau pengalaman inderawi. Hume membedakan persepsi menjadi dua, yaitu ide-ide (thought or ideas) dan kesan-kesan (impression). Kesan-kesan yang ia maksud adalah tangkapan indrawi yang nyata ketika kita sedang mendengar, melihat, merasakan cinta, benci, dan sebagainya. Ide, menurut Hume adalah persepsi hasil dari refleksi setelah kita mengalami hal-hal tadi. 

Contohnya adalah ketika tangan kita teriris ketika memotong cabai. Kemudian beberapa hari kemudian kita menceritakan kepada teman betapa sakitnya tangan ketika teriris saat memotong cabai. Pengalaman yang kita alami ketika terpotong tersebut adalah kesan, sementara rasa sakit yang kita ceritakan tadi adalah ide. Oleh karena itu, kesan lebih hidup daripada ide.

Untuk membuktikan dua argumen ini, Hume mengemukakan dua pendapatnya. Pertama, mengenai ide sederhana (simple ideas). Menurut Hume, apapun ide-ide yang kita miliki, kita akan selalu dapat membagi-baginya menjadi ide-ide sederhana. Pola deduktif ini ia letakan dalam idea Tuhan. Sifat-sifat Tuhan yang Maha Bijaksana, Maha Baik, dan sebagainya, adalah cerminan dari pikiran kita sendiri. Pikiran yang lebih sederhana ini kemudian ditambahkan tanpa batas dan diletakkan pada sosok Tuhan.

Pendapat kedua Hume adalah ketika ada manusia yang memiliki kekurangan atau cacat dalam indera manusia, ia tidak memiliki ide mengenai hal tersebut. Contohnya, orang buta tidak memiliki gagasan tentang warna, atau orang tuli yang tidak memiliki gagasan tentang suara. Hal ini membuktikan bahwa pengetahuan berasal dari tangkapan indera.

David Hume menyampaikan juga pemikirannya tentang bagaimana ide-ide yang kita miliki disatukan dari kesan-kesan yang kita terima menggunakan tiga prinsip. Prinsip pertama adalah kemiripan, lalu kedekatan, dan sebab atau akibat. 

Prinsip kemiripan mengarahkan kesan yang kita lihat pada benda aslinya. Contohnya ketika kita melihat lukisan tentang pohon, kita akan langsung dituntun pada pohon yang asli. Prinsip kedekatan dalam ruang menyatukan kesan dari objek yang kita lihat pada hal-hal di sekitarnya. 

Contohnya ketika melihat satu kamar dalam sebuah asrama, kesan kita mengarahkan bahwa kamar-kamar lain akan mirip dengan kamar yang kita lihat. 

Prinsip sebab atau akibat menyatukan kesan dari sesuatu yang kita lihat dan menghubungkannya dengan hal-hal lain yang mendahului, atau sesudahnya. Contohnya, ketika kita melihat teman yang terluka iris, kita bisa memiliki kesan akan pisau yang mengirisnya, atau membayangkan rasa sakit dari luka irisan tadi.

Skeptisisme

David Hume membedakan antara hubungan ide dan fakta. Hubungan ide sebagian besar adalah kebenaran matematis, jadi penolakan ide akan menghasilkan kontradiksi. Faktanya adalah bahwa kebenaran yang lebih umum yang kita pelajari itu dari pengalaman. 

Menyangkal fakta bukanlah kontradiktif. Lebih jauh Hume menandaskan bahwa meskipun kita mungkin mengetahui banyak hal tentang fakta dari pengalaman indrawi atau dari ingatan tetapi bukan menjadi sumber pengetahuan mutlak.  

Pemikiran ini lantas membuat Hume menjadi penganut skeptisisme yang adalah paham yang mengatakan bahwa kita tidak pernah dapat memperoleh pengetahuan yang pasti; pengetahuan kita hanya berupa kemungkinan-kemungkinan.

Pada umumnya kita memahami masalah fakta menurut sebab dan akibat, di mana kesan langsung akan membawa kita untuk menyimpulkan beberapa penyebab yang tidak teramati. 

Misalnya, saya tahu matahari akan terbit besok berdasarkan pengamatan masa lalu dan pemahaman saya tentang kosmologi, meskipun saya belum mengamati fakta ini secara langsung. David Hume menyarankan kita untuk tidak membenarkan kesimpulan kausal ini. 

Tidak ada kontradiksi dalam menyangkal hubungan kausal, jadi kita tidak dapat melakukannya melalui hubungan ide. Selain itu, kita tidak dapat membenarkan prediksi masa depan dari pengalaman masa lalu tanpa prinsip yang menyatakan bahwa masa depan akan selalu menyerupai masa lalu. Oleh karena itu, kita tidak memiliki pembenaran rasional untuk mempercayai sebab dan akibat.

Hume menyarankan kebiasaan sebagai dasar dan bukan penalaran yang memaksakan persepsi tentang hubungan yang diperlukan antar peristiwa. Ketika kita melihat dua peristiwa terus-menerus digabungkan, imajinasi kita menyimpulkan hubungan yang diperlukan di antara mereka bahkan jika itu tidak memiliki dasar rasional untuk melakukannya.

Apa yang kita lihat dalam pengalaman hanyalah rangkaian "setelah", dan bukan rangkaian "sebab-akibat".  Pengetahuan yang kita dapat dan bahkan kita terapkan untuk masa depan bukan dari relasi kausalitas tetapi dari kebiasaan. 

Inilah sebabnya mengapa kita perlu melihat proses berulang kali sebelum kita dapat mulai melihat dua peristiwa dalam proses sebagai terhubung secara kausal. Relasi kausalitas itu adalah hasil imajinasi kita berdasarkan kebiasaan yang selalu kita lihat di masa lalu mengenai dua peristiwa yang selalu terjadi berurutan.

Menurut Hume, tanpa kebiasaan, penalaran yang menyangkut masalah fakta tidak dapat melampaui ingatan dan pengalaman indera saat ini. Kita tidak dapat berspekulasi atau bahkan bertindak jika kebiasaan tidak menanamkan dalam diri kita kemampuan untuk melihat tindakan tertentu memiliki konsekuensi tertentu. Meskipun demikian, Hume menunjukkan, semua alasan dari pengalaman pada akhirnya kembali pada kesan sederhana.

Relevansi dan Kritik

Secara umum, skeptisisme menjadi bagian penting dari pencerahan serta mewakili iklim optimisme intelektual mengenai kapasitas akal manusia. Akal kita mampu mencari pembuktian yang lebih akurat tanpa mengandalkan dogma yang hanya diterima begitu saja.  

Skeptisisme berjuang keras melawan metafisika dan dogmatisme agama tertentu yang seringkali menggunakan dalil tidak beralasan atau tanpa argumentasi yang jelas dan penalaran yang cermat. 

Dogma atau penerimaan begitu saja seringkali membawa manusia pada sikap fanatik terhadap apa yang diyakininya dan sulit menerima kebenaran yang lain yang mungkin lebih baik. Penolakan kausalitas jelas sekali maksudnya, apabila kita melihat tidak ada hubungan yang diperlukan antara peristiwa-peristiwa, kita tidak perlu khawatir bahwa semua tindakan kita ditentukan sebelumnya secara kausal.

Efek paling signifikan dari skeptisisme yang diungkapkan dalam Inquiry adalah dampaknya terhadap pencarian akan pengetahuan. Orang berusaha untuk tidak menerima begitu saja suatu pemikiran tertentu tanpa pengkajian langsung pada kenyataan di lapangan. 

David Hume dengan skeptisismenya meminta manusia yang mampu berpikir untuk tidak mengambil kesimpulan mutlak khususnya dalam ilmu pengetahuan. David Hume mendorong manusia untuk tidak pasif melainkan aktif bertanya. 

Pemikiran seperti ini sangat penting bagi pelajar yang mencari ilmu atau bersekolah. Siswa tidak boleh menerima begitu saja sebuah teori tanpa memahami dengan baik apa dasar dari klaim yang diutarakan gurunya. 

Model pencarian seperti ini pun sangat berguna dalam ilmu saintifik. Ilmu saintifik menggunakan pengujian berkali-kali sebelum menyimpulkan suatu hipotesa tertentu. Implikasi lanjutannya ialah hasil pengujiannya lebih akurat. Ilmu-ilmu saintifik pun sangat maju dan sangat terbuka pada terobosan-terobosan baru yang ditemukan dikemudian hari.

Dalam kehidupan sosial agama, pemikiran David Hume sangat berguna pada perlawanan dogmatisme yang tidak bijak atau regulasi yang menuntut. 

Seorang manusia tidak harus tunduk begitu saja pada suatu ajaran tertentu yang mungkin didapat dari keturunan tertentu atau karena bergabung dalam satu kelompok tertentu. Bahkan dalam kehidupan politik, masyarakat tidak boleh terlena pada penggunaan dalil bahwa yang membuat regulasi adalah orang yang mumpuni dan ahli hukum yang baik. 

Tidak ada kepastian bahwa seseorang ahli hukum tertentu akan membuat hukum yang baik dan menguntungkan banyak pihak. Perlu bertanya dan kritis terhadap penyelewengan dengan argumen-argumen yang seolah-olah benar dan menguntungkan rakyat.

Meski demikian, penolakan prinsip kausalitas david Hume dikritik oleh Kant. Menurut Kant, prinsip kausalitas itu bukan ditemukan dalam pengalam melainkan secara terberikan ada pada rasio manusia. Kant menyebut prinsip kausal ini sebagai bagian dari beberapa kategori dalam epistemologinya. Dengan demikian, asumsi Hume bahwa tidak ada penyimpulan yang sah atas suatu pengkajian suatu fakta berdasarkan suatu prinsip tertentu tidak relevan dalam pemikiran Kant.

Kritik lain terhadap Hume ialah bahwa tidak ada pengetahuan yang dapat dipercaya penuh, karena semuanya serba kemungkinan. Bahkan tentang teorinya sendiri bahwa pengetahuan yang pasti tidak dapat digapai dengan demikian termasuk dalam kemungkinan itu juga. Teori Hume dengan demikian mengkontradiksi teorinya sendiri. Kalau memang tidak ada prinsip yang dipakai berarti prinsip yang dipakai Hume untuk mengatakan sesuatu pun tidak pasti.

Kesimpulan

David Hume memulai dengan membedakan antara kesan dan ide. Kita membangun semua ide dari kesan sederhana melalui tiga hukum asosiasi: kemiripan, kedekatan, dan sebab dan akibat. 

Pada umumnya kita memahami masalah fakta menurut sebab dan akibat, di mana kesan langsung akan membawa kita untuk menyimpulkan beberapa penyebab yang tidak teramati.

David Hume menyarankan kita supaya tidak membenarkan kesimpulan kausal ini. Tidak ada kontradiksi dalam menyangkal hubungan kausal, jadi kita tidak dapat melakukannya melalui hubungan ide. Selain itu, kita tidak dapat membenarkan prediksi masa depan dari pengalaman masa lalu tanpa prinsip yang menyatakan bahwa masa depan akan selalu menyerupai masa lalu. 

Prinsip ini juga dapat disangkal tanpa kontradiksi, dan tidak mungkin dibenarkan dalam pengalaman. Oleh karena itu, kita tidak memiliki pembenaran rasional untuk mempercayai sebab dan akibat. Hume menyarankan kebiasaan, dan bukan alasan, memaksakan persepsi tentang hubungan yang diperlukan antar peristiwa. Ketika kita melihat dua peristiwa terus-menerus digabungkan, imajinasi kita menyimpulkan hubungan yang diperlukan di antara mereka bahkan jika itu tidak memiliki dasar rasional untuk melakukannya.

Pemahaman kita tentang masalah fakta pada akhirnya didasarkan pada kemungkinan. Apabila pengalaman mengajarkan kita bahwa dua peristiwa cukup sering digabungkan, pikiran akan menyimpulkan hubungan sebab akibat yang kuat di antara keduanya. Hume menegaskan, semua istilah yang bermakna, harus dapat direduksi menjadi kesan sederhana dari mana istilah tersebut dibangun. 

Apabila tidak ada kesan sederhana tentang sebab dan akibat atau hubungan yang diperlukan, istilah-istilah ini mungkin tampak tidak berarti. Alih-alih mengutuk kau rasionalis sepenuhnya, Hume hanya mengurangi ruang lingkup mereka, menunjukkan bahwa tidak ada di dalamnya yang melampaui pengamatan hubungan konstan antara dua peristiwa. 

Jika kita melihat tidak ada hubungan yang diperlukan antara peristiwa-peristiwa, kita tidak perlu khawatir bahwa semua tindakan kita ditentukan sebelumnya secara kausal.

Sumber

Hume, David.  An enquiry concerning human understanding. Edited with an introduction and notes by Peter Millican. Oxford University Press. 2007.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun