“Tapi Isna mirip Belanda, ia lebih cocok sama orang-orang Belanda daripada aku,”
“Otakmu di dengkul? Apa kamu tidak tahu bahwa orang-orang Belanda itu bajingan semua, banyak perempuan kampung kita yang kena getah akibat para bajingan Eropa itu,” nada Teja mulai naik,”apa kamu juga tidak melihat bahwa banyak orang Belanda yang beramai-ramai mendengar suara nyanyian Isna di kamar mandi?”
“Ehm... kau tidak bercerita tentang itu,”
“Begini saja, aku yang melihat orang-orang Belanda banyak bersembunyi di balik pohon hanya untuk menanti kedatangan Isna. Mereka ingin menikmati nyanyian Isna, atau mungkin tidak hanya itu,”
“Lalu, kau sendiri juga menikmati, kan?”
“Tentu saja, tapi jangan samakan aku dengan orang-orang Belanda. Aku tidak ada niatan buruk terhadap Isna, hanya menikmati nyanyiannya. Bukan macam orang-orang Belanda yang cabul itu,”
Husin mengangguk, “Lalu, aku harus bagaimana?”
“Katakanlah pada Isna yang sebenarnya kau rasakan, jika sudah demikian kamu sudah lega dan tinggal menanti jawaban Isna. Jika Isna juga memiliki perasaan yang sama, barulah nanti kau bisa senang,”
Pekarangan Husin penuh dedaunan meranggas, maklumlah sekarang sedang musim kemarau. Di sana, Toha sedang mengasah celurit, ia sangat cekatan dalam hal persenjataan. Konsentrasinya terhenti setelah menyadari kehadiran Husin dan Teja dengan membawa sekarung singkong.
“Wah, banyaknya singkong kau bawa,” ujar Toha menyimpul senyum.
“Ini milik Teja, mau dititip di sini, boleh tidak pak?”