Randu, 14 Maret 1944
Pekarangan yang kini diduduki sebagai markas perang Belanda tidak bisa dipakai untuk bercocok tanam. Terpaksa Isna harus mencari ladang yang gembur untuk menanam singkong. Kebetulan ayah Husin, Toha, sangat dekat dengan Ratri sehingga memperbolehkan Isna menanam benih singkong di ladangnya. Saat itu, Husin sedang beristirahat di gubug yang berada di sudut ladang. Ia melihat Isna sedang menanam beberapa benih singkong.
“Hei kamu, sedang apa kau di sini?” hentak Husin.
“Punten kang, saya hendak menanam benih di sini,” jawab Isna sedikit takut.
“Kamu tidak tahu ladang ini milik siapa?”
“Milik pak Toha, kang,” jawab Isna,”Lalu akang pasti anaknya, kan? Saya sudah mendapat izin dari pak Toha supaya boleh menanam benih singkong di sini karena pekarangan milik ayah saya sudah tidak subur. Dipakai sama orang-orang Belanda itu,” jelas Isna.
Husin yang malu segera mengubah tingkah. Ia sadar tidak semestinya memperlakukan perempuan secara kasar, apalagi perempuan itu adalah Isna, seorang cantik dengan suara merdu.
Hari demi hari berlalu, Isna dan Husin sering bertemu di ladang yang sama. Mereka semakin akrab satu sama lain. Kedekatan itu membuat Husin menyimpan rasa suka dengan Isna. Namun, ia enggan mengungkapkan karena merasa bahwa Isna lebih pantas bahagia dengan laki-laki lain, seperti laki-laki Belanda.
“Sudah sore, waktunya saya pulang kang Husin,” kata Isna pamit.
“Eh, jangan panggil akang deh, panggil saja Husin, kita kan sebaya,”
Isna tersenyum lalu mengangguk sebelum akhirnya berlalu dari pandangan Husin. Merasa cemas dengan Isna, Husin diam-diam membuntuti Isna di perjalanan. Husin takut apabila Isna digoda oleh orang-orang Belanda yang berhidung belang. Sesekali Husin melihat Isna berpapasan dengan orang-orang bersenjata itu, namun tidak kena goda oleh mereka. Kadang Husin mengira bahwa semua orang Belanda itu brengsek, tapi sering ia lebih berargumen bahwa orang Belandalah yang pantas mendapatkan Isna.