[Episode Satu]
Kampung mungil di tepi sungai itu dinamai Randu. Kampung bekas jajahan Belanda itu kini dihuni sejumlah orang. Di sana tidak ada bangunan megah, maklum saja, bangsa Indonesia belum lama merdeka. Meskipun bangunan di kampung itu belum layak disebut rumah, tapi tetap menjadi istana bagi penghuninya. Masing-masing rumah dihuni seorang lelaki, dan mereka sudah beristri. Para suami bermatapencaharian sebagai petani padi, ada pula yang berdagang. Menjelang senja, biasa mereka beramai-ramai menyegarkan raga, mandi di sungai.
“Kata orang kota, mandi di kotakan lebih menyenangkan daripada mandi di sungai,” ujar Karno, lelaki paling muda di kampung Randu. Perawakannya gagah, senyumnya manis sekali.
“Kotakan? Apalah maksud kau ini?” jawab Kahan.
“Kamar mandi maksudnya mungkin. Biasalah, Karno pedagang, dia sudah berkeliling menjajakan rempah-rempah sampai ke kota. Banyak bangunan megah, ramai pengunjung tapi di sana tidak ada sungai,” sela Teja, tetua di kampung Randu.
“Nah itu maksud saya, mas Teja. Kamar mandi,” kata Karno menyimpulkan.
“Masalah mandi saja jadi masalah, kita sudah punya sungai, buat apa kita punya kamar mandi? Tidak ada masalah kita mandi di sini, bukan?” celetuk Kahan, “Toh istri kita juga sering mandi di sini, tidak ada orang mata keranjang di antara kita, bukan?”
Karno terdiam.
“Sudahlah, Karno. Lekaslah mandi, matahari hampir tenggelam, kasihan istri-istri kita menunggu di rumah,” saran Teja sambil menepuk bahu Karno, sementara Kahan akan mentas.
“Tapi mas Teja, mengapa kampung kita tidak dibangun kamar mandi saja? Aku ingin membuktikan seberapa menyenangkan mandi di kamar mandi, seperti yang orang-orang kota cakapkan,”
Senja berganti petang, ketiga suami itu kembali pulang. Menemui istri mereka yang sudah lama menunggu. Lastri, istri Karno melihat keletihan suaminya. Mata mereka saling bertemu, lesu di wajah Karno membuktikan bahwa ia bekerja keras pada hari ini. Perjalanan yang ia tempuh ke kota menguras banyak keringat. Sementara Lastri menyiapkan baju ganti, Karno terduduk di amben.
Randu, 11 Februari 1943
Kapal perang Belanda sudah tiba di pelabuhan. Pasukan bersenjata itu membabi buta para penduduk di kampung Randu. Saat itu, kampung Randu menjadi pemasok rempah-rempah paling banyak di seluruh wilayah Cikopo (Purwakarta) sehingga wajar saja jika Belanda ingin merebut kampung kecil itu guna keperluan perang dengan pasukan lawan. Meskipun para penduduk Randu sudah berusaha mempertahankan kampung mereka, tapi apa daya pasukan penjajah tidak terkalahkan. Ditambah lagi kepala kampung Randu, pak Gendon, berkhianat. Ia menerima iming-iminguang sehingga Belanda berhasil merebut kebijakan di kampung itu.
“Bangsat, kepala kampung kita memang benar-benar seorang bajingan!” sentak Thamrin, pimpinan pasukan kampung Randu.
“Seluruh pasukan kita sudah gugur, tinggal kita di sini yang masih tersisa,” ujar Husin cemas.
“Bagaimana anak-anak dan istrimu?” tanya Thamrin,”Bawalah mereka ke tempat yang aman,” sambungnya.
Penyerangan saat itu berujung dengan penyerahan kekuasaan oleh pak Gendon kepada Komandan Van Hendrik, pimpinan pasukan Belanda. Dengan demikian, kuasa atas kampung kini berpindah ke tangan komandan Van Hendrik, seorang Belanda yang terkenal keji. Ia tidak segan membunuh siapapun yang berurusan dengannya.
Kini kampung Randu dipegang oleh Belanda di bawah kekuasaan van Hendrik.
Teja bersembunyi di balik jendela, ia berjaga-jaga barangkali ada seorang Belanda datang untuk meminta uang atau rempah-rempah. Laras, ibunya, sedang menjemur padi di halaman belakang. Sedangkan Thamrin, ayahnya, mengasah celurit di teras rumah. Celurit merupakan satu-satunya senjata andalan bagi Thamrin, Laras serta Teja. Jika mereka keluar rumah, mereka pasti membawa celurit di balik baju untuk melindungi diri dari orang-orang Belanda. Bahkan, mau mandi pun pasti harus sangucelurit.
Di tengah kampung ada sebuah kamar mandi umum karena hampir semua rumah di kampung Randu tidak memiliki kamar mandi. Kalaupun ada, pasti itu milik orang-orang Belanda yang bermukim di sana. Apabila akan mandi, penduduk kampung Randu harus pergi ke sana atau ke sungai yang jaraknya sangat jauh dari kediaman.
“Pak, mengapa rumah kita tidak punya kamar mandi?” tanya Teja polos.
“Orang Belanda melarang, tak tahu apa sebabnya,” jawab Thamrin singkat. Ia kembali mengasah celurit, senjata andalan keluarga.
Teja hanya diam. Pemuda yang kini sudah berusia lima belas tahun terpaku pada halaman depan rumahnya yang begitu rindang dengan satu pohon mangga yang berbuah segar tapi ia tahu bahwa hasilnya akan diambil orang-orang Belanda.
Hari masih sore, Teja beranjak mengambil beberapa kain. Tidak lupa ia membekali diri dengan celurit lalu bergegas pergi untuk mandi. Kali ini ia tidak mandi di sungai, ia mencoba untuk mandi di kamar mandi umum yang ada di tengah kampung. Di sana tidak banyak rumah milik orang Belanda, jadi ia tidak begitu khawatir akan dicegat oleh orang-orang asing itu.
Tempat itu masih sepi, tidak sesuai dengan apa yang dipikirkan oleh Teja sebelumnya. Teja memandang sekeliling, berjaga-jaga dengan keadaan lalu bergegas masuk.
“Wah, ternyata ada dua bilik. Satu untuk perempuan, satu lagi untuk laki-laki,” kata Teja dalam hati.
Lima menit Teja membersihkan raga di kamar mandi. Suasana sepi, tak ada seorang pun selain dirinya. Teja tidak takut, ia hanya cemas barangkali celuritnya akan dipakai oleh ayahnya untuk pergi memanen padi. Tak lama setelah Teja mengenakan pakaiannya kembali, ia mendengarkan suara pintu tertutup. Teja menduga bahwa ada seorang perempuan yang masuk di bilik sebelah.
Perempuan itu namanya Isna, gadis manis anak seorang janda di kampung Randu. Kata orang-orang, ibunya pernah diperkosa oleh tentara Belanda sehingga wajahnya mirip dengan para penjajah kampung Randu itu. Umurnya setara dengan Teja, masih gadis, banyak orang suka dengan kecantikan sekaligus kebuleannya.
Isna sedang bersih-bersih rumah sambil bersenandung. Suaranya bagus, mengalahi kicau-kicau burung pagi hari.
“Suaramu sungguh merdu, kamu belajar dari siapa?” tanya Ratri, ibunya.
“Ah ibu bisa saja, suara Isna biasa saja kok,” jawab Isna mengelak,”Kan saya anak ibu, jadi mungkin ini warisan keturunan,” sambungnya.
Ratri terdiam, ia tidak ingin Isna mengetahui semua yang sebenarnya terjadi pada dirinya dahulu. Ratri tidak mau Isna tahu bahwa dirinya adalah hasil dari hubungan gelapnya dengan orang Belanda, orang-orang keji yang tidak punya otak. Selama ini ia berbohong bahwa suaminya adalah orang Sunda yang kini telah tiada.
Hari menuju senja, saatnya bagi Isna untuk mandi. Sama seperti penduduk yang lain, Isna tidak lupa untuk membekali diri dengan celurit buatan ibunya. Isna selalu bersenandung setiap beraktivitas, teristimewa saat mandi, suaranya membuat nyaman telinga para pendengarnya. Kebetulan Teja juga baru saja seleasi mandi, awalnya Teja takut karena mengira Isna adalah salah satu orang Belanda tapi ia segera sadar dan menduga bahwa Isna adalah orang yang kemarin masuk di bilik sebelah selagi Teja selesai mandi.
“Mau mandi pula?” tanya Teja membuka percakapan.
Isna mengangguk, ia masih canggung dengan orang yang pertama kali ia temui.
“Aku Teja, anak pak Thamrin,”
“Isna,” jawabnya singkat. Isna tidak berani menatap mata Teja sehingga ia berusaha untuk mengalihkan pandangan ke bawah, melihat dedaunan kering di atas tanah yang begitu tandus.
Percakapan mereka berakhir ketika Isna berjalan cepat untuk segera masuk ke bilik. Tidak sepatah kata keluar dari mulutnya, tak satupun. Teja masih terpaku di tempat yang sama, saat ia hendak melangkahkan kaki, senandung yang berasal dari bilik Isna membuatnya menunda kepergian. Teja tertarik untuk mendengarkan nyanyian Isna, senandung nyanyian lokal yang membawanya pada kenyamanan hati.
~to be continued...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H