Mohon tunggu...
Raditya Andreas
Raditya Andreas Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Jangan Bernyanyi di Kamar Mandi

22 Maret 2017   10:57 Diperbarui: 23 Maret 2017   01:00 1215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

            Teja hanya diam. Pemuda yang kini sudah berusia lima belas tahun terpaku pada halaman depan rumahnya yang begitu rindang dengan satu pohon mangga yang berbuah segar tapi ia tahu bahwa hasilnya akan diambil orang-orang Belanda.

            Hari masih sore, Teja beranjak mengambil beberapa kain. Tidak lupa ia membekali diri dengan celurit lalu bergegas pergi untuk mandi. Kali ini ia tidak mandi di sungai, ia mencoba untuk mandi di kamar mandi umum yang ada di tengah kampung. Di sana tidak banyak rumah milik orang Belanda, jadi ia tidak begitu khawatir akan dicegat oleh orang-orang asing itu.

            Tempat itu masih sepi, tidak sesuai dengan apa yang dipikirkan oleh Teja sebelumnya. Teja memandang sekeliling, berjaga-jaga dengan keadaan lalu bergegas masuk.

            “Wah, ternyata ada dua bilik. Satu untuk perempuan, satu lagi untuk laki-laki,” kata Teja dalam hati.

            Lima menit Teja membersihkan raga di kamar mandi. Suasana sepi, tak ada seorang pun selain dirinya. Teja tidak takut, ia hanya cemas barangkali celuritnya akan dipakai oleh ayahnya untuk pergi memanen padi. Tak lama setelah Teja mengenakan pakaiannya kembali, ia mendengarkan suara pintu tertutup. Teja menduga bahwa ada seorang perempuan yang masuk di bilik sebelah.

           

            Perempuan itu namanya Isna, gadis manis anak seorang janda di kampung Randu. Kata orang-orang, ibunya pernah diperkosa oleh tentara Belanda sehingga wajahnya mirip dengan para penjajah kampung Randu itu. Umurnya setara dengan Teja, masih gadis, banyak orang suka dengan kecantikan sekaligus kebuleannya.

            Isna sedang bersih-bersih rumah sambil bersenandung. Suaranya bagus, mengalahi kicau-kicau burung pagi hari.

            “Suaramu sungguh merdu, kamu belajar dari siapa?” tanya Ratri, ibunya.

            “Ah ibu bisa saja, suara Isna biasa saja kok,” jawab Isna mengelak,”Kan saya anak ibu, jadi mungkin ini warisan keturunan,” sambungnya.

            Ratri terdiam, ia tidak ingin Isna mengetahui semua yang sebenarnya terjadi pada dirinya dahulu. Ratri tidak mau Isna tahu bahwa dirinya adalah hasil dari hubungan gelapnya dengan orang Belanda, orang-orang keji yang tidak punya otak. Selama ini ia berbohong bahwa suaminya adalah orang Sunda yang kini telah tiada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun