Hari menuju senja, saatnya bagi Isna untuk mandi. Sama seperti penduduk yang lain, Isna tidak lupa untuk membekali diri dengan celurit buatan ibunya. Isna selalu bersenandung setiap beraktivitas, teristimewa saat mandi, suaranya membuat nyaman telinga para pendengarnya. Kebetulan Teja juga baru saja seleasi mandi, awalnya Teja takut karena mengira Isna adalah salah satu orang Belanda tapi ia segera sadar dan menduga bahwa Isna adalah orang yang kemarin masuk di bilik sebelah selagi Teja selesai mandi.
“Mau mandi pula?” tanya Teja membuka percakapan.
Isna mengangguk, ia masih canggung dengan orang yang pertama kali ia temui.
“Aku Teja, anak pak Thamrin,”
“Isna,” jawabnya singkat. Isna tidak berani menatap mata Teja sehingga ia berusaha untuk mengalihkan pandangan ke bawah, melihat dedaunan kering di atas tanah yang begitu tandus.
Percakapan mereka berakhir ketika Isna berjalan cepat untuk segera masuk ke bilik. Tidak sepatah kata keluar dari mulutnya, tak satupun. Teja masih terpaku di tempat yang sama, saat ia hendak melangkahkan kaki, senandung yang berasal dari bilik Isna membuatnya menunda kepergian. Teja tertarik untuk mendengarkan nyanyian Isna, senandung nyanyian lokal yang membawanya pada kenyamanan hati.
~to be continued...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H