Empati dan toleransi berkaitan dengan diri manusia, pengalaman dan kesadaran manusia. Keduanya tidak bisa diukur oleh ilmu sains, ekonomi, maupun ilmu sosial. Sulit untuk mengungkap dan mengidentifikasi kedua hal tersebut dengan pendekatan sains modern.Â
Oleh karena itu, Soedjatmoko (1986) merekomendasikan ilmu humaniora sebagai pendekatan yang digunakan dalam mempelajari, mengungkap dan mengidentifikasi keduanya dan hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan lainnya. Mengapa? Bagi Soedjatmoko (1986), humaniora membantu kita dalam memahami pengalaman dan memberikan cara kepada kita untuk memahami aktivitas dan tujuan komunitas kita sendiri dan orang lain.Â
Kesadaran tentang kesamaan pengalaman dan aspirasi manusia lahir proses proyeksi imajinasi kita sendiri ke dalam pengalaman orang lain. Dengan kata lain bahwa humaniora memberikan suatu gambaran tentang diri manusia melalui karya sastra maupun budaya.
Lalu, apa kaitannya humaniora dan pembangunan?
Humaniora membantu dalam memahami budaya dan manusia itu sendiri. Humaniora, termasuk di dalamnya: sejarah, filsafat, seni, sastra, membantu kita dalam memahami seluk beluk diri manusia dan budaya.Â
Budaya lahir dari adanya keinginan untuk membuat sesuatu yang didasarkan pada pengalaman dan pengetahuan, yang dipadukan dengan kemampuan daya cipta.
Soedjatmoko, dalam tulisannya yang berjudul "Daya Cipta sebagai Unsur Mutlak dalam Pembangunan: Konsepsi dan Institusionalisasi", menyatakan bahwa daya cipta merupakan unsur mutlak dalam pembangunan dimana pengetahuan, sejarah, tekad untuk maju, menjadi bagian daripadanya.Â
Hal ini tentunya berkorelasi dengan bagaimana manusia menciptakan sesuatu yang akhirnya menjadi budayanya, yang berimplikasi pada beragamnya budaya di dunia, termasuk di Indonesia.
Pemikiran Soedjatmoko dan Keberagaman Indonesia Saat IniÂ
Gesekan sosial yang berujung pada konflik sosial dengan alasan perbedaan baik SARA maupun budaya, masih menjadi pekerjaan rumah bagi para pembuat kebijakan.Â
Memang, dalam satu dekade terakhir, konflik sosial yang terjadi karena isu SARA atau budaya, tidak sampai menimbulkan kerusuhan seperti konflik yang terjadi di era tahun 1990-an maupun 2000-an awal. Namun tetap, gesekan sosial kerap terjadi, terutama dengan adanya media sosial yang memberikan ruang bagi para "netizen" untuk merespon berbagai peristiwa tanpa adanya penerapan norma yang berlaku di masyarakat.