Dalam budaya terdapat isu agama dan suku, sehingga tidak jarang ada gesekan sosial yang terjadi karena adanya perbedaan cara pandang terhadap suatu ritual budaya.Â
Peristiwa penendangan seseorang terhadap sesajen di Gunung Semeru (Prihatini, 2022) yang terjadi pada Januari 2022, misalnya. Peristiwa tersebut sempat ramai dan memunculkan berbagai reaksi. Lagi-lagi, isu agama yang menjadi "dalang" peristiwa tersebut.Â
Contoh lain, kasus pernyataan Arteria Dahlan, anggota DPR RI, terkait dengan penggunaan bahasa Sunda (CNN Indonesia, 2022), yang terjadi pada Januari 2022, juga menuai kontroversi. Berbagai kelompok yang mengatasnamakan masyarakat Sunda atau penutur bahasa daerah, melakukan berbagai demonstrasi, mengecam tindakan Arteria Dahlan tersebut.
Dua kasus yang disebutkan sebelumnya merupakan yang tersorot oleh media dan menimbulkan reaksi yang negatif dari berbagai kalangan masyarakat. Dua kasus tersebut juga memperlihatkan bahwa isu SARA, dalam bentuk apapun, masih menjadi momok bagi bangsa Indonesia. Terlebih dengan adanya media sosial di era digital saat ini.
Keberagaman dalam Kacamata SoedjatmokoÂ
Keberagaman, menurut Soedjatmoko (1986), haruslah dianggap sebagai sumber daya Indonesia dalam menghadapi tantangan perubahan dunia yang begitu cepat, bukan dianggap sebagai hambatan bagi pembangunan. Bagaimana caranya agar keberagaman ini dianggap sebagai sumber daya Indonesia?Â
Bangsa Indonesia harus mengakui seluruh budaya bangsa kita sebagai warisan kolektif bagi semua masyarakat Indonesia, bukan hanya warisan per daerah atau per suku. Warisan kolektif merupakan poin yang ingin disampaikan oleh Soedjatmoko (1986). Warisan kolektif bermakna bahwa apa yang diwariskan merupakan milik bersama (kolektif) bukan milik perorangan atau golongan.
Pluralisme merupakan pendekatan yang dapat digunakan dalam membangun persepsi keberagaman budaya sebagai warisan kolektif. Melalui pendekatan tersebut, perbedaan dianggap sebagai sebuah keniscayaan. Budaya nasional dibentuk dari berbagai budaya daerah sehingga sudah seharusnya budaya daerah dipertahankan dan dilestarikan.Â
Budaya nasional ada bukan untuk mengikis budaya daerah karena budaya daerah merupakan bagian dari budaya nasional itu sendiri. Hal yang penting dari pluralisme yaitu manifestasi dari nilai-nilai bersama dan kesediaan untuk hidup bersama dan mengambil tempat dan peran di dalam komunitas tersebut. Lalu, bagaimana kita melihat hal tersebut?
Dalam memahami dan menerima perbedaan, manusia harus memiliki empati dan toleransi. Kedua hal tersebut lahir dari kesadaran tentang kesamaan pengalaman dan aspirasi manusia.Â
Soedjatmoko (1986:2) mengartikan empati sebagai kekuatan untuk sepenuhnya mengidentifikasi dengan dan dengan demikian memahami makhluk lain dan toleransi sebagai pengakuan akan keabsahan perbedaan. Empati dan toleransi menjadi kunci dalam memahami perbedaan.