Mohon tunggu...
Seny Soniaty
Seny Soniaty Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Budaya dan Pembangunan Masyarakat

Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyelami Keberagaman Indonesia, Sebuah Refleksi Pemikiran Soedjatmoko

25 Juli 2022   22:49 Diperbarui: 25 Juli 2022   23:00 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Indonesia merupakan negara dengan tingkat keberagaman yang tinggi. Keberagaman ini ada yang bersifat "kodrati", ada juga yang merupakan "bentukan". Keberagaman yang bersifat "kodrati" merujuk pada sesuatu yang sifatnya pemberian Tuhan sejak lahir, misalnya warna kulit, tinggi badan, bentuk badan. 

Adapun keberagaman yang bersifat "bentukan", merujuk pada sesuatu yang sifatnya buatan atau sesuatu yang lahir sebagai akibat adanya relasi dan interaksi antara manusia dan non-manusia dimana di dalamnya terdapat unsur keinginan atau kehendak dari manusia untuk melakukan atau membuat atau menciptakan sesuatu. 

Keberagaman bersifat "bentukan" misalnya budaya. Tiap masyarakat, bangsa, atau suku, memiliki budayanya masing-masing yang kemungkinan besar berbeda dengan yang lain.

Keberagaman di Indonesia selalu menjadi isu yang menarik untuk dibicarakan. Bagaimana tidak? Keberagaman ini selalu saja dianggap sebagai sumber konflik, di satu sisi, dan sebagai sesuatu yang selalu diagung-agungkan, di sisi lain. Dua hal kontradiktif yang sama-sama dipelihara hingga saat ini. 

Tidak mengherankan jika konflik sosial yang bersifat SARA masih sering terjadi di Indonesia dan penggaungan tentang nilai-nilai persatuan Indonesia juga gencar dilakukan. Mengapa isu keberagaman ini dianggap sebagai sumber konflik sekaligus menjadi kekuatan persatuan Indonesia?

Indonesia merupakan negara yang terbentuk dari berbagai budaya yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Indonesia bukanlah negara bangsa yang tunggal dengan budaya yang tunggal pula. 

Semboyan "Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangwra" secara tersirat dan tersurat telah menunjukkan kondisi dari bangsa Indonesia yang beragam. Semboyan tersebut menunjukan bahwa adanya kesadaran tentang keberagaman yang merupakan suatu keniscayaan dalam hidup manusia.

Isu suku, agama, ras dan antar golongn (SARA) merupakan isu yang sangat sensitif di Indonesia. Berapa banyak gesekan sosial yang bahkan sampai pada konflik sosial terjadi karena isu SARA ini? Setiap tahunnya, selalu ada kasus terkait dengan SARA. 

Konflik sosial karena SARA khususnya isu agama dan suku atau etnis, terutama sejak Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2014, semakin mengemuka. Tidak lengkap sepertinya, jika isu SARA ini tidak diangkat ketika menjelang pemilihan umum, terutama pemilihan umum presiden. Seolah-olah Indonesia hanya soal SARA.

Tidak hanya isu SARA, Indonesia saat ini juga sepertinya mengalami dilema. Pemerintah, terutama pemerintah pusat, sangat mendorong adanya pemajuan kebudayaan di tiap daerah dengan tujuan untuk melestarikan budaya lokal Indonesia. 

Hal itu mendorong berbagai komunitas budaya atau komunitas adat bermunculan memperlihatkan diri mereka. Budaya bagi masyarakat Indonesia atau Nusantara bukan sekadar pertunjukan, tapi nilai-nilai yang berasal dari ajaran tertentu. Budaya dibangun bukan hanya dari daya cipta tapi juga dari kepercayaan terhadap Tuhan. 

Dalam budaya terdapat isu agama dan suku, sehingga tidak jarang ada gesekan sosial yang terjadi karena adanya perbedaan cara pandang terhadap suatu ritual budaya. 

Peristiwa penendangan seseorang terhadap sesajen di Gunung Semeru (Prihatini, 2022) yang terjadi pada Januari 2022, misalnya. Peristiwa tersebut sempat ramai dan memunculkan berbagai reaksi. Lagi-lagi, isu agama yang menjadi "dalang" peristiwa tersebut. 

Contoh lain, kasus pernyataan Arteria Dahlan, anggota DPR RI, terkait dengan penggunaan bahasa Sunda (CNN Indonesia, 2022), yang terjadi pada Januari 2022, juga menuai kontroversi. Berbagai kelompok yang mengatasnamakan masyarakat Sunda atau penutur bahasa daerah, melakukan berbagai demonstrasi, mengecam tindakan Arteria Dahlan tersebut.

Dua kasus yang disebutkan sebelumnya merupakan yang tersorot oleh media dan menimbulkan reaksi yang negatif dari berbagai kalangan masyarakat. Dua kasus tersebut juga memperlihatkan bahwa isu SARA, dalam bentuk apapun, masih menjadi momok bagi bangsa Indonesia. Terlebih dengan adanya media sosial di era digital saat ini.

Keberagaman dalam Kacamata Soedjatmoko 

Keberagaman, menurut Soedjatmoko (1986), haruslah dianggap sebagai sumber daya Indonesia dalam menghadapi tantangan perubahan dunia yang begitu cepat, bukan dianggap sebagai hambatan bagi pembangunan. Bagaimana caranya agar keberagaman ini dianggap sebagai sumber daya Indonesia? 

Bangsa Indonesia harus mengakui seluruh budaya bangsa kita sebagai warisan kolektif bagi semua masyarakat Indonesia, bukan hanya warisan per daerah atau per suku. Warisan kolektif merupakan poin yang ingin disampaikan oleh Soedjatmoko (1986). Warisan kolektif bermakna bahwa apa yang diwariskan merupakan milik bersama (kolektif) bukan milik perorangan atau golongan.

Pluralisme merupakan pendekatan yang dapat digunakan dalam membangun persepsi keberagaman budaya sebagai warisan kolektif. Melalui pendekatan tersebut, perbedaan dianggap sebagai sebuah keniscayaan. Budaya nasional dibentuk dari berbagai budaya daerah sehingga sudah seharusnya budaya daerah dipertahankan dan dilestarikan. 

Budaya nasional ada bukan untuk mengikis budaya daerah karena budaya daerah merupakan bagian dari budaya nasional itu sendiri. Hal yang penting dari pluralisme yaitu manifestasi dari nilai-nilai bersama dan kesediaan untuk hidup bersama dan mengambil tempat dan peran di dalam komunitas tersebut. Lalu, bagaimana kita melihat hal tersebut?

Dalam memahami dan menerima perbedaan, manusia harus memiliki empati dan toleransi. Kedua hal tersebut lahir dari kesadaran tentang kesamaan pengalaman dan aspirasi manusia. 

Soedjatmoko (1986:2) mengartikan empati sebagai kekuatan untuk sepenuhnya mengidentifikasi dengan dan dengan demikian memahami makhluk lain dan toleransi sebagai pengakuan akan keabsahan perbedaan. Empati dan toleransi menjadi kunci dalam memahami perbedaan.

Empati dan toleransi berkaitan dengan diri manusia, pengalaman dan kesadaran manusia. Keduanya tidak bisa diukur oleh ilmu sains, ekonomi, maupun ilmu sosial. Sulit untuk mengungkap dan mengidentifikasi kedua hal tersebut dengan pendekatan sains modern. 

Oleh karena itu, Soedjatmoko (1986) merekomendasikan ilmu humaniora sebagai pendekatan yang digunakan dalam mempelajari, mengungkap dan mengidentifikasi keduanya dan hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan lainnya. Mengapa? Bagi Soedjatmoko (1986), humaniora membantu kita dalam memahami pengalaman dan memberikan cara kepada kita untuk memahami aktivitas dan tujuan komunitas kita sendiri dan orang lain. 

Kesadaran tentang kesamaan pengalaman dan aspirasi manusia lahir proses proyeksi imajinasi kita sendiri ke dalam pengalaman orang lain. Dengan kata lain bahwa humaniora memberikan suatu gambaran tentang diri manusia melalui karya sastra maupun budaya.

Lalu, apa kaitannya humaniora dan pembangunan?

Humaniora membantu dalam memahami budaya dan manusia itu sendiri. Humaniora, termasuk di dalamnya: sejarah, filsafat, seni, sastra, membantu kita dalam memahami seluk beluk diri manusia dan budaya. 

Budaya lahir dari adanya keinginan untuk membuat sesuatu yang didasarkan pada pengalaman dan pengetahuan, yang dipadukan dengan kemampuan daya cipta.

Soedjatmoko, dalam tulisannya yang berjudul "Daya Cipta sebagai Unsur Mutlak dalam Pembangunan: Konsepsi dan Institusionalisasi", menyatakan bahwa daya cipta merupakan unsur mutlak dalam pembangunan dimana pengetahuan, sejarah, tekad untuk maju, menjadi bagian daripadanya. 

Hal ini tentunya berkorelasi dengan bagaimana manusia menciptakan sesuatu yang akhirnya menjadi budayanya, yang berimplikasi pada beragamnya budaya di dunia, termasuk di Indonesia.

Pemikiran Soedjatmoko dan Keberagaman Indonesia Saat Ini 

Gesekan sosial yang berujung pada konflik sosial dengan alasan perbedaan baik SARA maupun budaya, masih menjadi pekerjaan rumah bagi para pembuat kebijakan. 

Memang, dalam satu dekade terakhir, konflik sosial yang terjadi karena isu SARA atau budaya, tidak sampai menimbulkan kerusuhan seperti konflik yang terjadi di era tahun 1990-an maupun 2000-an awal. Namun tetap, gesekan sosial kerap terjadi, terutama dengan adanya media sosial yang memberikan ruang bagi para "netizen" untuk merespon berbagai peristiwa tanpa adanya penerapan norma yang berlaku di masyarakat.

Kasus penendangan sesajen di Gunung Semeru dan ucapan Arteria Dahlan terkait penggunaan bahasa daerah, menjadi cerminan bagaimana budaya daerah dan budaya nasional dipandang oleh masyarakat Indonesia. Empati, toleransi, dan kesadaran akan warisan kolektif budaya sepertinya belum sepenuhnya dimiliki dan dihayati oleh masyarakat Indonesia. 

Kasus Arteria Dahlan memperlihatan bagaimana bahasa daerah masih dianggap bukan bagian dari budaya nasional. Pun, dengan kasus penendangan sesajen di Gunung Semeru. Sangat terlihat bahwa orang tersebut tidak memiliki empati, toleransi dan kesadaran akan warisan kolektif. Dia tidak menyadari bahwa masyarakat di sekitar Gunung Semeru menganut agama lain dan memiliki budaya yang berbeda dengan budayanya.

Dari kedua kasus tersebut, kita dapat memperhatikan bahwa sepertinya bangsa Indonesia kekurangan rasa empati dan toleransi, serta belum terbentuknya kesadaran akan warisan kolektif budaya yang menjadi sumber daya Indonesia. Apa yang menyebabkan hal tersebut terjadi pada masyarakat Indonesia saat ini? Nampaknya, saat ini bangsa Indonesia lupa akan sejarah dan jati dirinya. 

Fakta sejarah menyatakan Indonesia terbentuk dari berbagai suku bangsa, agama, dan budaya. Jika pada saat pembentukan bangsa Indonesia dulu tidak ada yang menentang perbedaan dan menerima perbedaan sebagai keniscayaan sehingga toleransi menjadi yang terdepan, mengapa saat ini perbedaan menjadi bumerang bagi bangsa Indonesia?

Tidak dapat dipungkiri bahwa cepatnya perubahan yang terjadi di dunia membawa bangsa Indonesia pada perubahan sosial. Gencarnya nilai-nilai luar yang masuk, mengikis nilai-nilai kebangsaan yang ada. Bangsa Indonesia kurang sigap menghadapi berbagai perubahan yang terjadi di dunia. Sehingga yang terjadi adalah bangsa Indonesia saat ini, terutama generasi milenial, Z dan Y, menjadi pengikut budaya luar.

Keberagaman budaya di Indonesia merupakan keberagaman bersifat "bentukan". Kenyataan bahwa terjadinya perubahan sosial yang berimbas pada pergeseran budaya, membuat kita sebagai bangsa Indonesia harus menyusun ulang tentang kebudayaan nasional. 

Dinamika perubahan sosial harus diimbangi juga dengan dinamika strategi untuk mempertahankan budaya tersebut. Nilai-nilai budaya sudah selayaknya tidak berubah, meski bentuk luarnya berubah. 

Rasa empati dan toleransi harus terus dibangun di masyarakat dari generasi tertua sampai termuda. Pembentukan rasa memilliki atas budaya daerah dan budaya nasional juga perlu dilakukan. 

Bukan hanya oleh pemerintah tapi juga oleh masyarakat itu sendiri. Kesadaran akan warisan kolektif budaya akan terbentuk ketika masyarakat memiliki rasa memiliki akan budayanya. 

Perasaan memiliki ini akan terbentuk ketika masyarakat mengenal diri dan budayanya. Untuk mengenali diri dan budayanya, masyarakat harus memiliki rasa empati yang tinggi yang berimplikasi pada rasa toleransi yang tinggi. 

Oleh karena itu, kiranya proses pembentuk dan pemeliharaan rasa empati, toleransi dan kesadaran akan warisan kolektif budaya, harus dilakukan secara simultan, berkelanjutan dan penuh strategi.

Referensi: 

CNN Indonesia. (2022, Januari 27). Massa Aliansi Sunda Demo di DPR, Desak Arteria Dahlan Dipecat. Retrieved from https://www.cnnindonesia.com/: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220127114441-20-751932/massa-aliansi-sunda-demo-di-dpr-desak-arteria-dahlan-dipecat

Kristina. (2021, September 6). Sejarah Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang Pertama Kali Diungkapkan Mpu Tantular. Retrieved from detik.com: https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5711982/sejarah-semboyan-bhinneka-tunggal-ika-yang-pertama-kali-diungkapkan-mpu-tantular

Prihatini, Z. (2022, Januari 16). Viral Pria Tendang Sesajen di Gunung Semeru, Dosen Filsafat: Sesaji adalah Tradisi. Retrieved from Kompas.com: https://www.kompas.com/sains/read/2022/01/16/163000723/viral-pria-tendang-sesajen-di-gunung-semeru-dosen-filsafat--sesaji-adalah?page=all

Republika. (2022, Februari 3). In Picture: Ruwatan untuk Arteria Dahlan di Monumen Perjuangan Bandung. Retrieved from Republika.co.id: https://www.republika.co.id/berita/r6q3d8314/ruwatan-untuk-arteria-dahlan-di-monumen-perjuangan-bandung

Soedjatmoko. (1968). Daya Cipta sebagai Unsur Mutlak dalam Pembangunan. Seminar MAJELIS ILMU PENGETAHUAN INDONESIA. Bogor.

Soedjatmoko. (1986). The Humanities and Development. The Fourth National Science Congress of the Indonesian Council of Sciences. Jakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun