Memang dalam sosialisasi yang saya lakukan, target minim yang ingin saya capai adalah sampah yang ada terpisah antara anorganik dengan organik. Jika itu sudah tertib dilakukan, salah satu masalah sudah selesai. Tapi memang benar bahwa mengubah prilaku itu tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat.
Hari pertama membuka layanan Bank Sampah, hanya 8 orang yang mendaftar. Angka yang sangat sedikit jika melihat skala Bank Sampah yang mencakup 1 RW ini. Meski para pengurus RW tampak tidak begitu gembira dengan hasil ini, Saya pribadi tetap bersyukur pada bukaan perdana Bank Sampah, masih ada warga yang mau menjadi nasabah.
"Saya malah seneng pak, hari pertama ini cuman ada sedikit,"Kata saya kepada Pak RW."Coba kalau hari pertama dah banyak, gempor saya sendirian melayani mereka, hehehe."
Di hari-hari berikutnya, proses sosialisasi tetap saya lakukan. Modelnya dengan dalih jalan sore untuk kesehatan. Setiap ketemu dengan bapak-bapak atau emak-emak, saya berhenti untuk sekedar gobrol dengan mereka, sembari sesekali menyisipkan pesan untuk memilah sampah dan menjadi nasabah Bank Sampah.
Kadang ada juga warga yang suka iseng setiap bertemu dengan saya, menyerukan kepada yang lain untuk berhati-hati setiap saya lewat.
 "Awas ada Pak Rozi. Kardus, ember sampah plastik bakalan lenyap kalau ga dijagain," Canda mereka.
Waktu pun berlalu dan warga mulai berdatangan untuk menabung di Bank Sampah. Dari hanya 8 orang di hari pertama, kini sudah ada 40 nasabah, didominasi oleh emak-emak, yang rutin menabung setiap dua minggu sekali.
Sampah-sampah mereka bahkan tidak hanya terpilah dari organik, namun juga terpilah hingga detail jenis sampah anorganiknya. Beberapa dari mereka bahkan sudah menikmati uang hasil dari tabungan sampah mereka.
Semenjak Bank Sampah berdiri di lingkungan kami, emak-emak sudah mulai 'rebutan' sampah anorganik di lingkungan mereka. Ada dari mereka yang sigap 'menyelamatkan' sampah plastik di setiap acara yang digelar di lingkungannya.
 "Pak Roji, hajatan Pak Hermansyah kemarin, ibu-ibu pada ngincer gelas plastik," Lapor salah satu emak sembari tertawa.
"Saya juga udah ngincer tuh gelas plastik, eh kok pas udah mau pulang, udah kagak ada lagi," curhat emak lainnya. "Padahal mahal euyy, sekilo bisa Rp. 6000."