Alkisah di sebuah negeri nun jauh, pemilihan para pemimpin disayembarakan dengan cara beradu banyak berbohong.
Semakin banyak seseorang mengucap kebohongan dan dipercaya, semakin tinggi kemungkinan orang itu dilantik menjadi pemimpin.
Di negeri itu, koalisi penguasa yang dipimpin oleh Raja You Know Who (YKW) adalah pemegang tunggal kebenaran. Semua yang dikatakan penguasa haruslah benar, setidaknya mendekati kebenaran.
Jika kata penguasa dedaunan warnanya biru, rakyat tidak boleh marah. Apabila penguasa bikin pengumuman bahwa sebenarnya matahari terbit dari selatan, dari bawah pohon, dari podium istana, dari balik kantor hansip, atau cilukba di perempatan-perempatan, semua harus siap-siap mengubah agenda nonton sunset.
Kalau kata penguasa uang kuliah naik itu bagian dari paradigma pendidikan tersier, sebaiknya rakyat tidak usah mikir macam-macam.
Kalau kata penguasa syarat daftar ketua RW adalah berusia tepat seperti yang tertera di KTP anak raja, syarat daftar wakil camat adalah pernah menjabat jadi anak raja, rakyat jangan banyak cing cong.
Semua penyesuaian-penyesuaian aturan itu gampang saja disahkan di Mahkamah Kerajaan atau Mahkamah Anak-Anak, secepat membuat pengalihan isu kasus artis di negeri-negeri lain. Hukum dan aturan di negeri itu kan memang dibuat untuk mengatur kelancaran rejeki penguasa.
Meskipun demo tidak dilarang, tapi sebaiknya jangan sering-sering. Nanti bisa-bisa dituduh tidak mendukung visi Negeri Emas dua ribu empat lima.
Bukankah haha-hihi, menari, dan berjoget lebih nasionalis daripada sibuk-sibuk ngidealis?
Di negeri emas dua ribu empat lima, kernet dan kasir harus mau gajinya dipotong untuk ikut iuran beli rumah khayalan. Nama programnya: Tabungan Perumahan Raja. Semua adalah bagian dari niat baik penguasa untuk rakyatnya.
Semua itu didukung dengan pasukan anonim yang bergerak terstruktur, sistematis, masif menyuarakan "prestasi" kebohongan penguasa.
Semakin hari, approval rating sang penguasa naik, namanya dielu-elukan, sekalian dibuat paguyuban pendukung lengkap dengan jargon-jargon untuk mengarak pemimpin itu sambil jingkrak-jingkrak.
"Tiga periode!"
"Tiga periode!"
Begitu pekik mereka berulang-ulang.
Di negeri itu, Orwell, Machiavelli, dan Leviathan-nya Hobbes harus belajar rendah hati.
Nun jauh disana, siapa-siapa yang agak sadar, lalu melakukan kritik dan mengingatkan untuk kembali pada falsafah bangsa serta konstitusi, biasanya akan dicap sebagai barisan sakit hati. Mereka, yang dinamai laskar 16 persen, terus menerus dibully oleh para pendukung Raja You Know Who. Dianggap sebagai kelompok yang tidak bisa move on dan berpotensi mengganggu kemesraan joged-an penguasa dengan rakyatnya.
Para pimpinan kelompok orang-orang berisik ini, potensi kesalahannya dieksplorasi dengan riset mendalam oleh para aparat istana: dulu pernah ngomong apa, kira-kira terlibat di kasus apa, keluarganya siapa saja, kalau perlu sampai rekam jejak pernah sendawa dimana atau nggak sengaja nginjak kaki siapa. Semuanya diperiksa dengan rinci.
Ketika waktunya tepat, seminggu sekali mereka akan dipanggil untuk diperiksa di kantor keamanan terdekat untuk dimintai keterangan seterang-terangnya.
Tidak kapok dipanggil sekali, panggil lagi lewat kantor keamanan lain.
Tentu saja ini bagian dari penertiban pikiran yang dilakukan oleh koalisi Raja You Know Who (YKW).
Bukankah kebenaran hanyalah milik penguasa?
Tetapi dalam maraton penertiban itu, saat awan terasa mendung menampakkan sisi-sisi gelapnya, angin kencang tiba-tiba muncul.
Suara-suara ratusan, ribuan, jutaan orang mengkristal menjadi satu. Terbit matahari di dada mereka, api menyala-nyala nan tak kunjung padam.
Gong, kulintang, angklung, sasando, dan gendang bersatu dengan riuh bunyi kentongan.
"Jalan kebudayaan adalah jalan terakhir." Seorang cerdik cendikia di antara mereka membisik.
Berduyun-duyunlah kekuatan semesta rakyat menyatu padu. Semua telunjuk mengarah pada Raja. Panji-panji baru dinaikkan, tertulis di atasnya dengan tinta merah: "Pada Akhirnya, Kebenaran Yang Sesungguhnya Akan Menang!"
Sebelum tangan-tangan mulai mengepal, aku terbangun. Nafasku terengah-engah.
Detak jantungku berdebar-debar, mata melotot. Aku mencoba mengusap muka, memastikan kesadaranku sudah kembali ke raga.
Seusai memastikan sekali lagi, aku menata nafas sebelum mengelus dada tanda lega.
Syukurlah, di negeriku Indonesia, para pemimpin negeri adalah mereka yang arif bijaksana. Negerinya gemah ripah loh jinawi, rakyatnya tidak takut berpendapat, sejarah para pendiri bangsa dilestarikan, kedaulatan rakyat dihargai, dan konstitusi ditempatkan sebagaimana mestinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H