Tetapi dalam maraton penertiban itu, saat awan terasa mendung menampakkan sisi-sisi gelapnya, angin kencang tiba-tiba muncul.
Suara-suara ratusan, ribuan, jutaan orang mengkristal menjadi satu. Terbit matahari di dada mereka, api menyala-nyala nan tak kunjung padam.
Gong, kulintang, angklung, sasando, dan gendang bersatu dengan riuh bunyi kentongan.
"Jalan kebudayaan adalah jalan terakhir." Seorang cerdik cendikia di antara mereka membisik.
Berduyun-duyunlah kekuatan semesta rakyat menyatu padu. Semua telunjuk mengarah pada Raja. Panji-panji baru dinaikkan, tertulis di atasnya dengan tinta merah: "Pada Akhirnya, Kebenaran Yang Sesungguhnya Akan Menang!"
Sebelum tangan-tangan mulai mengepal, aku terbangun. Nafasku terengah-engah.
Detak jantungku berdebar-debar, mata melotot. Aku mencoba mengusap muka, memastikan kesadaranku sudah kembali ke raga.
Seusai memastikan sekali lagi, aku menata nafas sebelum mengelus dada tanda lega.
Syukurlah, di negeriku Indonesia, para pemimpin negeri adalah mereka yang arif bijaksana. Negerinya gemah ripah loh jinawi, rakyatnya tidak takut berpendapat, sejarah para pendiri bangsa dilestarikan, kedaulatan rakyat dihargai, dan konstitusi ditempatkan sebagaimana mestinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H