*Jadi kau sakit hati?
Aku tidak akan menamainya sakit hati.
*Kau kecewa.
Benarkah? Segala jurusku sia-sia.
*Jurus untuk?
Menyembunyikannya.
*Cakrawala tak akan pernah benar-benar menyembunyikannya.
*Kau kecewa?
Tampak seperti itu?
*Kau hanya tak mau mengakui.
*Kau sakit hati?
Belum begitu jelaskah?
*bahkan tak kau akui
Aku tidak sanggup mengatakannya sakit hati. KehendakNya lebih bermakna hikmah.
*kau sakit hati?
Kau mengulangi pertanyaan itu kembali.
........
Baiklah aku jelaskan. Aku tidak sanggup mengatakan ya sakit hati.Â
Hari itu pagi sudah bersiap menggantung di atas sana.
Malam terdesak. Berkemas dan siap pergi.
Matahari kembali merajai. Berpendar-pendar menyembulkan sinarnya.Â
Pagi bersenang apalagi lengkap dengan sorot cerahnya.
Sejurus dengan pagi, bahkan beberapa memujinya.
Mengelu-elu kan bahwa dewi fortuna pada pihaknya.
Cerahnya yang semakin menjadi-jadi.
Aku semakin yakin.
Waktu berputar tanpa memedulikan siapa yang akan bersenang atau bersedih nanti.
Waktu dan azzam itu sama. Konsisten.
Siang melanjutkan pagi dengan terik.
Beberapa bahkan semakin berlomba menyelesaikan yang harus selesai.
Aku semakin yakin.
Awan sedang menari, bermandi teriknya.
Aku telah percaya, kemudian semakin bersiap untuk menghias penghujung hari mereka.
Sudah berapa kali tawa ku lepas, menyambut pertanda itu.
Awan semakin menghilang. Langit bersih.
Angin dengan mode sepoi berjalan melaksanakan tugasnya.
Aku kemudian berdiri, dengan segenap hati yang menggebu.
Tak bisa kubayangkan, mereka mengelu-elukan tangkapanku pada sinar matahari.
Tak bisa kubayangkan, bahagianya memuji warnaku sebelum gelap datang.
Angin tiba-tiba terburu-buru mengarah ke sana.
Kutanya mengapa, tapi saking terburunya ia hanya kuasa menengok ku saja.
Kutanya lagi mengapa pada yang lain.
Beberapa yang dibelakangnya menjawab sepatah kata, kemudian suaranya menghilang.
Ku benar-benar tak menangkap alasannya.
Langit yang tadi berbinar-binar wajahnya tersorot sinar memalingkan muka takut untuk kutagih janjinya.
Langit yang tadi membuat ku semangat untuk hadir, tiba-tiba menundukkan kepala.
Bukankah kau tadi ikut memilin doa bersama ku? Untuk kemudian membuat penghujung mereka menjadi indah? Bukan itu kau?
Langit semakin membenamkan kepala.
Awan yang tadi menari-nari semakin ribut berjejal kesana terhempas angin.
Segerombolan awan lain menggantinya dengan muka yang berbeda.
Seperti mengatakan kau tak akan menghias hari-hari mereka.
Aku semakin tak karuan.
Tidak, kali ini aku tidak berani untuk menanyakan alasan lagi.
Aku pasrah bersembunyi di balik cakrawala.
Aku ikhlas bersembunyi di balik lengkung langit.
...
Kutunggu hari berikutnya kembali.
Kuyakin waktu akan membuktikan, bahwa aku ada.
Kuyakin waktu yang azzam tadi tetap tegas menjalankan tugasnya hingga berputar tepat pada saat ada yang mengatakan,
"Kurindu senja"
...
Maka jika ada yg bertanya apa kau sakit hati?
Aku akan menjawab. Jika dikembalikan bahwa itu kehendakNya. Aku benar-benar tidak sanggup menamainya sakit hati. Karena jika aku mengatakan aku sakit hati maka sama halnya aku menyebut bahwa mereka pembuat sakit hati. Aku tak punya hati untuk menyebutnya seperti itu.
Sederhana saja, Aku memang tidak ditakdirkan menghias penghujung hari mereka, sehingga mudah saja bagi Sang Kuasa untuk tidak membuatku ada.
Mungkin disaat aku tiba nanti semua orang akan menengadahkan kepala serentak, mengelu-elukan keberadaanku yang lama tak muncul.
Terkesima akan warna ku dan mengatakan harinya telah komplit berakhir dengan indahnya warnaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H