Di persimpangan jalan sunyi, di mana cinta terukir di batu,
Aku berdiri teguh, menanti janji yang kian kabur.
Luka menganga di hati, diukir oleh pengkhianatan,
Namun setiaku tak goyah, bagai gunung yang menjulang tinggi.
Janji setia yang terucap di bawah sinar rembulan,
Kini terasa hampa, tergantikan oleh dusta dan kepalsuan.
Air mata membasahi pipi, membakar jiwa yang terluka,
Namun setiaku tak pudar, bagai mentari yang selalu terbit.
Kenangan indah bersamamu, bagai pisau bermata dua,
Menorehkan luka di hati, namun juga membangkitkan rasa cinta.
Setiaku tak tergoyahkan oleh badai yang menerjang,
Meski kau telah pergi, meninggalkan luka yang memanjang.
Aku takkan menyerah, pada janji yang telah terpatri,
Meski kau telah mendua, hatiku tetap memilihmu di sini.
Setiaku abadi, bagai samudra yang tak terjamah,
Menantimu kembali, di ujung luka yang tak pernah terobati.
Puisi ini menceritakan tentang kesetiaan seorang individu yang diuji dengan pengkhianatan dan luka. Meskipun terluka dan dikecewakan, individu ini tetap teguh pada janjinya, menunjukkan kekuatan cinta dan kesetiaan yang tak tergoyahkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H