Rintik hujan menari di atas aspal basah,
Membawa aroma tanah dan kenangan yang terikat.
Aku berdiri di sini, di bawah langit kelabu,
Bersamamu, dibalut selimut air yang meredam pilu.
Tanganmu menggenggam erat tanganku,
Menyentuh jiwa yang terluka, merajut rasa yang terbuang.
Hujan turun tanpa henti, bagai simfoni alam yang menyanyikan melodi duka,
Menemani luka yang menganga, diiringi tarian air mata.
Matamu menatapku dengan penuh tanya,
Mencari jawaban di balik kabut yang menyapa.
Bibirmu terkatup rapat, menyimpan rahasia yang tak terkira,
Menyisakan jejak tanya yang menggerogoti jiwa.
Hujan terus turun, membasahi rambut dan wajah,
Membawa rasa dingin yang menusuk hingga ke tulang.
Namun, di dalam genggamanmu, aku merasakan kehangatan,
Seolah ada secercah harapan di tengah kegelapan.
Kita terdiam dalam bisu, diiringi gemuruh hujan yang merdu,
Mencoba memahami luka yang terukir di kalbu.
Hujan menjadi saksi bisu pertemuan dua hati yang terluka,
Mencari jawaban di bawah langit kelabu yang tak terduga.
Di antara tarian air hujan yang tak terkira,
Aku dan dia, dua jiwa yang tersesat,
Mencari makna di balik duka yang menyapa,
Berharap menemukan kedamaian di bawah langit kelabu yang mereda.
Puisi ini menceritakan tentang dua orang yang bertemu di tengah hujan. Mereka berdua sama-sama terluka dan mencari jawaban atas pertanyaan yang menghantui mereka. Hujan menjadi saksi bisu pertemuan mereka, dan mereka berharap dapat menemukan kedamaian di tengah situasi yang sulit
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H