Kamar kecil itu tampak begitu sempit dan pengap. Sebuah televisi berukuran 21 inci yang digantung di dinding menjadi satu-satunya sumber cahaya di ruangan tersebut.
Di hadapan televisi itu, seorang ibu dan anak laki-lakinya duduk berdampingan, memperhatikan debat capres ke-3 yang sedang berlangsung.
"Ibu, aku ingin jadi presiden," kata anak laki-laki itu, dengan mata yang berbinar-binar.
Ibu itu tersenyum. "Ya, Nak, aku tahu. Kamu selalu bilang ingin jadi presiden."
"Aku ingin membuat Indonesia menjadi negara yang lebih baik," kata anak laki-laki itu. "Aku ingin semua orang bisa hidup bahagia dan sejahtera."
Ibu itu mengangguk. "Itu cita-cita yang mulia, Nak. Tapi, menjadi presiden itu tidak mudah. Kamu harus belajar banyak hal, dan kamu harus siap menghadapi tantangan yang berat."
Anak laki-laki itu mengangguk lagi. "Aku tahu, Bu. Aku akan belajar dengan giat, dan aku akan berusaha keras untuk mewujudkan cita-citaku."
Ibu itu mengusap kepala anaknya dengan lembut. "Aku bangga padamu, Nak. Aku yakin kamu bisa mewujudkan cita-citamu."
Anak laki-laki itu tersenyum. Ia merasa sangat bahagia mendengar kata-kata ibunya.
Debat capres ke-3 berlangsung dengan sengit. Para calon presiden saling melontarkan serangan dan kritik. Namun, anak laki-laki itu tidak terlalu memperhatikan perdebatan tersebut. Ia lebih fokus pada cita-citanya untuk menjadi presiden.