Mohon tunggu...
Dwi Indrawan
Dwi Indrawan Mohon Tunggu... PNS -

Seorang pendosa yang sedang belajar bertobat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Merawat dan Mengelola Keragaman

29 September 2017   10:50 Diperbarui: 29 September 2017   14:57 2056
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedangkan kasus keragaman agama mencuatkan permasalahan intoleransi diantara umat interberagama dan antarberagama.  Konflik beragama dalam spektrum sejarah telah melahirkan peristiwa  Piagam Jakarta 1945, represivitas kekuasaan Orde Baru pada gerakan Islam fundamental dan pengakuan lebih besar dari kalangan Muslim. Hingga ruang sensitivitas masalah penistaan agama.

Pada keragaman sukubangsa terlihat pada kebangkitan komunitas adat di Indonesia yang menuntut pengakuan hak adat dalam perspektif politik negara. Tuntutan seperti hak ulayat dan pemulihan hak komunitas adat dan tradisi. Konflik adat yang mengemuka dan menjadi sorotan utama adalah berkaitan kewilayahan adat yang bertumbuk dengan korporasi ekonomi yang mengeksploitasi wilayah adat yang dipersengketakan.

Dari ketiga keragaman yang ada di Indonesia, keragaman agama menjadi masalah serius. Ruang nalar agama ternegasikan dalam proses intoleransi sosial. Berbagai bentuk terkait dengan hal ini diantaranya tuduhan penodaan agama, diskriminasi dan ujaran kebencian (hate speech). Kondisi inilah menjadi pangkal muara dari hilangnya nalar sejarah kebudayaan penyebaran agama di Indonesia.

Sejarah mencatat bagaimana pola perpaduan dan harmonisasi  agama dapat dilakukan pada masa Sanjayawangsa dan Syaelendrawangsa melalui pembangunan candi Prambanan. Demikian pula kehidupan beragama pada masa era Tribubhwana Tunggadewi . Demikian halnya pada masa penyebaran Islam soal sinkretisme kebudayaan Hindu-Budhisme pada bidang arsitektur yang masih mengadopsi nilai-nilai klasik.

Begitu  mudah masyarakat rentan dalam hal ketahanan berkebudayaan pada dimensi kini.. Termasuk hingga masalah bagaimana sebaiknya mengatur ulang kembali makna keberagaman masyarakat Indonesia. Dewasa ini mengemuka ketegangan berkenaan antara "kesatuan" (unity) dengan "keragaman" (diversity). Apakah memang diperlukan tafsir ulang soal kebhinekaan ?

 Melihat kondisi soal makna keberagaman, bagaimana kita menyikapi dalam domain ruang pendidikan.Tampaknya ada gagasan untuk mengeksplorasi nilai-nilai civic reason.Pandangan ini dilontarkan oleh pemikir  John Rwals dan Abdullahi An Naim. Keduanya meniscayai soal keberagaman senantiasa dan bersifat permanen.  Dalam hal mengatasi keberagaman tersebut tetap diperlukan ruang konsensus. Adanya ruang konsensus itu memastikan peran negara sebagai fasilitator dalam menciptakan politically reasonable  sebagai gagasan yang diterima dalam ruang nalar publik.

Selama ini harus diakui negara tunduk pada opini kelompok dalam menciptakan opini publik sebagai pertimbangan keputusan politik. Tidak mengherankan cara-cara ekstra parlementer untuk menekan keputusan yang dianggap tidak berpihak kepada kelompok tertentu.

Pendek kata negeri ini telah melalui dinamika perjalanan kesejarahan yang mestinya dipertimbangkan sebagai pengilon dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.  menegaskan bahwa keragaman mempertimbangkan ruang privat dan ruang publik. Negara mesti harus mengatasi semua kelompok dalam mewujudkan apa yang disebut sebagai pluralisme kewargaan.  Istilah menunjuk  pada pengertian  makna bagaimana masyarakat yang terdiri dari kelompok identitas yang berbeda  dapat hidup bersama. 

Indonesia telah memiliki dasar Pancasila dan simbol Bhinneka Tunggal Ika yang mestinya kita elaborasi  Pada proses ini tentu diperlukan pembelajaran kreatif dan rasa hayat bagaimana pendidikan menjadi taman persemaian keberagaman melalui dialog dan mengapresiasinya bukan sebagai pembedaan tapi penguatan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

DAFTAR PUSTAKA

1. Amartya Sen,  Kekerasan dan Identitas, Jakarta : Marjin Kiri, 2016.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun