Etnisitas, Pluralisme Kewargaan dan Politik Identitas
A. Pengantar
Sulit untuk tidak mengatakan bahwa  keragaman (pluralisme) menjadi bagian dari pondasi nalar berwarga dan bernegara di Indonesia. Artinya keragaman menyangkut bahasa, agama, etnisitas,  tradisi dan sebagainya, merupakan fakta sosial yang tidak bisa diingkari dalam bingkai kehidupan masyarakat Indonesia. Dengan pengertian lain, tonggak keragaman telah mewarnai dalam narasi kesejarahan Indonesia. Permasalahannya adalah bagaimana mengelola keragaman tersebut sebagai pengejawentahan nalar kehidupan sosial dus nalar berbangsa dengan melihat dinamika kesejarahan di negeri ini. Pada sisi lain keragaman mencuatkan beberapa permasalahan.
Proses menjadi Indonesia dan bagian dari ruang keindonesiaan yang dibangun dari keragaman tidaklah mudah.  Sebagai civic culture Indonesia, selalu terdapat proses dialektika yang mewujud dari proses kontestasi serta konflik. Ada beberapa titik tolak momentum historis yang dijadikan sebagai pijakan ketika bangsa ini merancang nalar bernegara sebagai pijakan guiding principles kewargaan Indonesia. Pertama,  momentum ketika Perhimpunan Indonesia mendeklarasikan Manifesto Politik  konsepsi Indonesia menggantikan Netherlands East Indies dan bagian dari koloni Belanda. Perhimpunan Indonesia menegaskan makna "Indonesia" sebagai entitas politik yang menengahi batas-batas etnis, kesukuan, ras dan  keyakinan. Indonesia yang dicomot dari ruang etnologi menjadi deklarasi politik yang mempengaruhi pergerakan kebangsaan.
Kedua, momentum Sumpah Pemuda 1928. Pelaksanaan Kongres Pemuda II tersebut menghasilkan documenta historis berharga soal terbangunnya komitmen kaum muda pada keyakinan soal keberagaman yang dibangun atas pondamen unity in diversity. Â Penyatuan itu ada konsepsi sebagai satu kesatuan wilayah, satu bangsa, satu bahasa. Pernyataan tersebut menggambarkan bagaimana komunitas politik berbangsa telah ditancapkan. Kaum muda telah menyadari sekat-sekat yang terbangun dalam konsep unity in diversity.
Ketiga, peristiwa Polemik Kebudayaan tahun 1931. Tak ada yang menyangka bahwa konsepsi politik kebudayaan Indonesia telah didesain pada peristiwa Polemik Kebudayaan. Bermula dari tulisan Sutan Takdir Alisyahbana (STA) di Pujangga Baru tahun 1935, ia menyodorkan klaim soal lahirnya zaman Indonesia Baru yang bukan dari kontinuitas kebudayaan sebelumnya seperti kebudayaan Jawa, Melayu, Minang dll.  Sebaliknya STA  menandaskan pentingnya kiblat kebudayaan Barat dan rasionalisasi berpikir masyarakat Indonesia  di tengah pandangan mistikisme dan irasionalitas berpikir.
Berkaca dari momentum historis diatas, bahwa jalan membentuk nation Indonesia telah dipancangkan dari pertimbangan keragaman masyarakat Indonesia. Entitas yang menyatukan telah didesain dengan melampaui bayang-bayang  atas nama kesukuan, agama, ras dan nilai-nilai kelokalan.
Sulit untuk tidak mengatakan bahwa keragaman (pluralisme) menjadi bagian dari pondasi nalar kebudayaan Indonesia. Artinya keragaman menyangkut bahasa, agama, etnisitas, merupakan fakta sosial yang tidak bisa diingkari dalam bingkai kehidupan masyarakat Indonesia. Permasalahannya adalah bagaimana mengelola keragaman tersebut sebagai pengejawentahan nalar berbangsa dus nalar berkebudayaan dengan melihat dinamika kesejarahan di negeri ini.
Proses demokratisasi dan keran liberalisasi berpolitik yang telah dibuka semenjak reformasi 1998 tidak diikuti oleh kematangan warganya dalam mensikapi ranah perbedaan. Ada beberapa problem akut yang disebabkan tumpulnya nalar berbangsa.  Setidaknya terdapat beberapa akar masalah hingga sekarang. Ide dasar dalam tulisan ini dengan merujuk perspektif historis ini adalah meletakkan konsep keragaman serta relasi dengan negara dalam meletakkan kehadiran dalam mengelola keragaman khususnya berkait mentalitas masyarakat yaitu  pluralisme kewargaan di tengah menguatnya politik identitas.
B. Memetakan Keragaman dan Politik Identitas
Ada  beberapa istilahan mengenai keragaman. Diantaranya multikulturalisme, pluralisme atau komunitarianisme. Tentang konseptual / definisi keragaman terdapat pendapat beberapa ahli. Antropolog Heddy Sri Ahimsa mendefinisikan keragaman identik dengan pluralisme sebagai fakta kemajemukan budaya (Zainal Abidin Bagir dkk, 2016 : 29). Pluralisme, tulis Ahimsa mencerminkan mozaik yang mengandung segregasi budaya.
Sementara pemikir Bhikku Parekh (2000) Â menyebut keragaman sebagai cultural pluralism serta menggolongkan jenis multikulturalisme seperti akomodatif, isolasionis, universalis. Sedangkan antropolog Parsudi Suparlan merujuk pluralisme (plural society). Diana Eck mengungkapkan bahwa dalam keragaman terdapat unsur seperti engagement with diversityserta segregasi dalam kelompok sosial.
Yang menarik dalam keragaman terdapat unsur yang membangun pondasi sebagai konsekuensi relasi antarkelompok sosial ke dalam label politik identitas. Melalui politik identitas membuka peluang analisis identitas-identitas. Seperti ditulis oleh Amartya Sen (2016), identitas tidaklah tunggal. Seseorang bisa dilekatkan ke dalam berbagai identitas seperti kesukuan (etnisitas), agama (relegius), orientasi seksual, profesi, domisili, peminatan hobi, pilihan politik, komitmen sosial, selera makan, selera musik. Pada politik identitas kerap dipahami sebagai ilusi yang membuat posisi dirinya terberi dan menentukan segalanya. Sebagai contoh menjadi Muslim di Indonesia akan berpengaruh dalam kehidupan sosial jika dibandingkan dengan menjadi Muslim di Mynmar.
Identitas bisa menciptakan sisi positif dan negatif. Â Ruang kebhinekaan yang menjadi slogan bangsa Indonesia merupakan sisi positif yang mengakomodir berbagai macam keragaman identitas. Namun di sisi lain identitas berpotensi mencuatkan konflik antarkelompok sosial seperti konflik etnis, konflik relegius / agama hingga kombinasi konflik etnorelegius adalah contohnya. Mencuatnya konflik sosial / konflik horizontal seperti konflik etnik dipicu oleh represi kelompok yang termarjinalkan hingga menguatkan soliditas identitas yang termarjinalkan secara ekonomi, politik, sosial dan kultural.
Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan dengan masalah politik identitas secara negatif. Keragaman agama, keragaman etnis menjadi pemantik yang kerap menjadi daya ledak konflik horizontal. Sensivitas, sekaligus pelabelan agama sebagai identitas sampai detik ini menjadi pembicaraan. Agama yang tadinya ruang teologis berubah dalam domain ruang publik yang menyeret persoalan politik.
Melekatnya politik identitas dalam kehidupan sosial baik berbangsa dan bernegara menurut Amartya Sen (2016 : 33) mengharuskan seseorang mengambil dua tindakan yang berbeda yakni : (1) memutuskan apa identitas kita yang relevan dan (2) menimbang derajat kepentingan relatif diantara identitas yang berbeda-beda tersebut.
C. Relasi Negara dan Pendekatan Pluralisme Kewargaan
Para pendiri bangsa , telah memikirkan konfigurasi Indonesia ke depan dalam mengatasi  nilai keragaman ini.  Dengan kata lain pluralis polity telah diakomodir dalam hukum-hukum negara.  Konsitusi dasar, UUD 1945 Republik  Indonesia telah menjamin sejumlah pelaksanaan hak sipil warga dan perlindungan hak asasi manusia. Selain itu terdapat langkah maju dengan dibuatnya  sejumlah regulasi  yang memungkinkan terakomodirnya hak-hak sosial warga dari diskriminasi sosial. Sebagai comtohnya adalah UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.Â
Regulasi tersebut memungkinkan kelompok agama lokal memperoleh pengakuan sosial.  Selain terdapat beberapa produk regulasi yang menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, seperti UU Nomor  11 Tahun 2005 Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,  UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik , UU Nomor  19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Internasional mengenai  Hak-hak Penyandang Disabilitas dan UU Nomor 6 Tahun 2012 tentang .Pengesahan Konvensi Internasional  mengenai Perlindungan Hak-hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya.
Sikap keberagaman menjadi sisi yang menarik dari lahirnya entitas kebangsaan Indonesia. Sebagaimana diungkapkan antropolog John Bowen (2005 : 152-170) keragaman di Indonesia mencakup keragaman wilayah / regional, keragaman agama dan keragaman suku bangsa. Ketiga keragaman tersebut memberikan kontribusi positif dan negatif dalam perjalanan bangsa.
Keragaman wilayah mencuatkan isu separatisme dan etno politik yang mewarnai sejarah Indonesia tahun 1950-an hingga kekinian yang terkait dengan implementasi daerah otonomi khusus atau wilayah keistimewaan. Ancaman pergolakan daerah dan tuntutan redistribusi sosial ekonomi merupakan tema-tema yang tercetus dalam keragaman wilayah / regional.
Sedangkan kasus keragaman agama mencuatkan permasalahan intoleransi diantara umat interberagama dan antarberagama.  Konflik beragama dalam spektrum sejarah telah melahirkan peristiwa  Piagam Jakarta 1945, represivitas kekuasaan Orde Baru pada gerakan Islam fundamental dan pengakuan lebih besar dari kalangan Muslim. Hingga ruang sensitivitas masalah penistaan agama.
Pada keragaman sukubangsa terlihat pada kebangkitan komunitas adat di Indonesia yang menuntut pengakuan hak adat dalam perspektif politik negara. Tuntutan seperti hak ulayat dan pemulihan hak komunitas adat dan tradisi. Konflik adat yang mengemuka dan menjadi sorotan utama adalah berkaitan kewilayahan adat yang bertumbuk dengan korporasi ekonomi yang mengeksploitasi wilayah adat yang dipersengketakan.
Dari ketiga keragaman yang ada di Indonesia, keragaman agama menjadi masalah serius. Ruang nalar agama ternegasikan dalam proses intoleransi sosial. Berbagai bentuk terkait dengan hal ini diantaranya tuduhan penodaan agama, diskriminasi dan ujaran kebencian (hate speech). Kondisi inilah menjadi pangkal muara dari hilangnya nalar sejarah kebudayaan penyebaran agama di Indonesia.
Sejarah mencatat bagaimana pola perpaduan dan harmonisasi  agama dapat dilakukan pada masa Sanjayawangsa dan Syaelendrawangsa melalui pembangunan candi Prambanan. Demikian pula kehidupan beragama pada masa era Tribubhwana Tunggadewi . Demikian halnya pada masa penyebaran Islam soal sinkretisme kebudayaan Hindu-Budhisme pada bidang arsitektur yang masih mengadopsi nilai-nilai klasik.
Begitu  mudah masyarakat rentan dalam hal ketahanan berkebudayaan pada dimensi kini.. Termasuk hingga masalah bagaimana sebaiknya mengatur ulang kembali makna keberagaman masyarakat Indonesia. Dewasa ini mengemuka ketegangan berkenaan antara "kesatuan" (unity) dengan "keragaman" (diversity). Apakah memang diperlukan tafsir ulang soal kebhinekaan ?
 Melihat kondisi soal makna keberagaman, bagaimana kita menyikapi dalam domain ruang pendidikan.Tampaknya ada gagasan untuk mengeksplorasi nilai-nilai civic reason.Pandangan ini dilontarkan oleh pemikir  John Rwals dan Abdullahi An Naim. Keduanya meniscayai soal keberagaman senantiasa dan bersifat permanen.  Dalam hal mengatasi keberagaman tersebut tetap diperlukan ruang konsensus. Adanya ruang konsensus itu memastikan peran negara sebagai fasilitator dalam menciptakan politically reasonable sebagai gagasan yang diterima dalam ruang nalar publik.
Selama ini harus diakui negara tunduk pada opini kelompok dalam menciptakan opini publik sebagai pertimbangan keputusan politik. Tidak mengherankan cara-cara ekstra parlementer untuk menekan keputusan yang dianggap tidak berpihak kepada kelompok tertentu.
Pendek kata negeri ini telah melalui dinamika perjalanan kesejarahan yang mestinya dipertimbangkan sebagai pengilon dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.  menegaskan bahwa keragaman mempertimbangkan ruang privat dan ruang publik. Negara mesti harus mengatasi semua kelompok dalam mewujudkan apa yang disebut sebagai pluralisme kewargaan.  Istilah menunjuk  pada pengertian  makna bagaimana masyarakat yang terdiri dari kelompok identitas yang berbeda  dapat hidup bersama.Â
Indonesia telah memiliki dasar Pancasila dan simbol Bhinneka Tunggal Ika yang mestinya kita elaborasi  Pada proses ini tentu diperlukan pembelajaran kreatif dan rasa hayat bagaimana pendidikan menjadi taman persemaian keberagaman melalui dialog dan mengapresiasinya bukan sebagai pembedaan tapi penguatan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
DAFTAR PUSTAKA
1. Amartya Sen, Â Kekerasan dan Identitas, Jakarta : Marjin Kiri, 2016.
2. Bikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism, 2000
3. Stefan Hammer, Religious Pluralism and Religious Freedom, Yogyakarta : CRCS UGM, 2016.
4. Zainal Abidin Bagir (et.al), Pluralisme Kewargaan : Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia,Yogyakarta : CRCS UGM, 2016.
5. Zainal Abidin Bagir (et.al), Mengelola Keragaman dan Kebebasan Beragama,Yogyakarta : CRCS UGM, 2016.
https://t.co/vYTyZt9rxU— Dwi Indrawan (@r4r4pdlb11) September 29, 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H