Mohon tunggu...
Semy Havid
Semy Havid Mohon Tunggu... Lainnya - Freelance Writer

Veteran Jurnalis Mencari Hidup Seutuhnya. Senang Menulis, bermain Musik dan Bersepeda. Percaya dengan motto: Words Create World.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mata Najwa Sesatkan Opini Publik dan Tumpulkan Nilai Kemanusiaan

8 April 2020   13:00 Diperbarui: 8 April 2020   20:11 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menyoal Pembebasan Bersyarat Napi

Gagasan pembebasan bersyarat sejumlah Narapidana (Napi) Umum, yang disampaikan  Menteri Hukum dan HAM Prof. Yasonna Laoly, terkait merebaknya pandemi wabah COVID-19, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI, belum lama ini, telah mengundang perhatian publik dan berbagai reaksi pro-kontra serta polemik di masyarakat.  

Pemicu polemik adalah munculnya misleading atau lebih tepatnya penyesatan opini publik, akibat dari kesalahan berpikir (logical fallacy) beberapa media massa di tanah air dalam merespon gagasan Menkumham.

Sebut saja, presenter kondang Najwa Shihab dalam reportasenya yang disiarkan sebuah televisi nasional, kemudian juga diunggah ke channel Youtube yang ditonton ribuan viewer. Terkesan bahwa Napi Koruptor, Narkoba dan Terorisme, yang disebutnya sebagai kejahatan dengan kategori luarbiasa (Extra Ordinary Crime), akan memperoleh pembebasan yang sama. Presenter kondang ini pun menampilkan tayangan tentang satu dua tahanan (Nazarudin, mantan Bendahara Partai Demokrat dan Setya Novanto, mantan Ketua DPR) sebagai representasi tahanan Koruptor, yang menghuni lapas Sukamiskin dengan fasilitas mewah.

Selain itu, tayangan-tayangan media kurang disertai dengan pemahaman tentang  hakikat sebenarnya dari tujuan pembinaan sebuah Lembaga Pemasyarakatan. Sehingga terkesan menggiring opini publik pada kebencian yang mendendam yang  menumpulkan  nilai  kemanusiaan.

Bersyukur, seorang Jurnalis senior  Karni Ilyas, penggagas acara Indonesia Lawyer's Club (ILC) sempat menayangkan  topik ini di TV One, Selasa (27/04), tadi malam. Tayangan ILC memang agak berbeda dengan reportase biasa. Karni tampil dengan memenuhi asas  the cover of two both side dan memberi kesempatan yang cukup kepada Yasonna Laoly untuk menjelaskan pandangan Pemerintah, selain dari pihak di seberangnya, seperti LSM. Dan para pengamat dari kalangan ahli hukum.

Mengapa gagasan pembebasan bersyarat bagi para Napi di tengah merebaknya pandemi Covid-19 ini,  menjadi penting dan perlu segera dipertimbangkan? 

Over Capacity Problem Serius   

Sebagaimana diketahui, hampir semua Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan (Rutan) di Indonesia saat ini mengalami Over Capacity. Pada saat ini terjadi over capacity 2 sampai 3 kali lipat dari kapasitas sehingga kondisinya berada dalam kategori extreme over capacity. 

Sementara, upaya untuk membangun Lapas dan Rutan yang baru, selain memerlukan waktu dan biaya yang mahal, juga belum bisa menjawab masalah over capacity. Merebaknya wabah pandemi COVID 19, memiliki dampak yang meluas di Indonesia hanya dalam hitungan bulan, minggu dan bahkan hitungan hari, korban semakin banyak berjatuhan. Disamping itu, fakta bahwa laju napi yang masuk Lapas jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ketersediaan ruang atau kamar yang ada.

Masalah over capacity merupakan masalah serius dan tidak bisa dianggap enteng karena menimbulkan dampak negatif yang dahsyat. Di antaranya, pertama kondisi sanitasi di Lapas  menjadi buruk, sehingga menimbulkan  tekanan psikologis dan memicu datangnya berbagai penyakit kronis seperti penyakit disfungsi degeneratif dan penyakit kronis (kulit, paru, hipertensi, diabetes, dan lainnya).

Banyaknya napi yang menderita penyakit dapat  mengakibatkan endemik dan pandemik di dalam Lapas, sehingga kalau tidak tertangani bisa mengakibatkan kematian massal yang terencana (genoside). Kalau hal ini terjadi, apa kata dunia jika Negara dikecam karena  telah melakukan pelanggaran HAM berat?

Kedua, over capacity juga telah dan akan  menimbulkan kriminalitas baru dalam Lapas berupa perkelahian sesama warga binaan dan tindakan lainnya yang seolah-olah Lapas berubah fungsi menjadi  universitas kejahatan (academy of  crime). Jika hal ini terjadi  maka tujuan pemasyarakatan untuk membina narapidana agar siap kembali hidup normal di tengah masyarakat menjadi gagal total.

Ketiga, pemborosan anggaran karena narapidana membutuhkan biaya yang besar, yaitu sekitar 2-3 triliun rupiah per-tahun, yaitu untuk makanan (Rp.15.000/orang/hari); kesehatan (Rp.1000/orang/hari), biaya umum (Rp.30.000/orang/hari) dan biaya perlengkapan seperti pakaian dan lainnya (Rp.50.000/orang/tahun).

 Keempat, kondisi Lapas yang over capacity akan sangat rentan terhadap penyebaran dan penularan Covid-19 yang telah ditetapkan sebagai bencana nasional non alam sehingga jika salah ada salah seorang saja narapida yang ditemukan postitif covid-19, maka kemungkinan besar semua narapida akan tertular.

Sebagai upaya penyelamatan narapidana dari penularan Covid-19, Kementerian Hukum dan HAM telah menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 tahun 2020 dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-19.PK/01.04.04 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 untuk membebaskan sekitar 30.000 napi dewasa dan anak.

Dalam peraturan ini, narapidana khusus kasus korupsi dan narkotika tidak bisa ikut dibebaskan karena terganjal PP 99 tahun 2012 sehingga Menkumham mengusulkan untuk merevisi PP 99 Tahun 2012 dengan kriteria sangat ketat.

Kriteria sangat ketat yang dimaksud Menkumham adalah pertama, pemberian asimilasi  bagi napi narkotika dengan masa pidana 5-10 tahun dan telah menjalani 2/3 masa pidananya yang jumlahnya diperkirakan 15.422 orang. Kedua, adalah pemberian asimilasi kepada napi korupsi yang berusia di atas 60 tahun dan telah menjalani 2/3 masa pidana yang  jumlahnya 300 orang, ketiga pemberian asimilasi terhadap napi tindak pidana khusus (tipidsus) yang dinyatakan sakit kronis oleh dokter pemerintah dan telah menjalani 2/3 masa pidana yang jumlahnya 1.457 orang. Dan keempat,   yaitu pemberian asimilasi terhadap napi asing yang berjumlah sebanyak 53 orang.

Pembebasan Bersyarat Juga Dilakukan di AS 

Pembebasan narapidana dalam rangka mengatasi pandemik covid-19 telah juga dilakukan oleh beberapa negara. Contohnya Jaksa Agung Amerika Serikat, Bill Bar, telah menginstruksikan sejumlah penjara federal di negara itu untuk membebaskan sejumlah napi lansia yang diperkirakan jumlahnya sekitar 2.000 orang, dengan tujuan untuk mengurangi dampak pandemik Covid-19 karena napi lansia sangat berisiko terinfeksi Covid-19.

Dengan pembebasan tersebut, Bill Bar ingin memastikan bahwa penjara tidak akan menjadi cawan petri atau wadah pengembangbiakan bagi Covid-19. Perlu diketahui bahwa yang dimaksud napi lansia adalah napi yang usianya 60 ke atas.

Selain Amerika Serikat, negara-negara yang membebaskan napi dengan alasan pandemik  Covid-19, di antaranya adalah Iran dengan membebaskan sekitar 85.000 napi, Ethiopia membebaskan sekitar 4.000 napi dan Afghanistan membebaskan sekitar 10 ribu napi.

Wacana Menkumham yang berkaitan dengan napi koruptor, mendapat penolakan yang sangat keras dari orang-orang yang menamakan dirinya penggiat antikorupsi. Namun disayangkan, argumentasi penolakan tersebut menggunakan argumentasi yang sesat (logical fallacy). Disebutkan bahwa jika Koruptor dibebaskan, maka mereka bisa melakukan korupsi lagi (?)

Apakah mereka lupa bahwa tindak pidana korupsi hanya bisa dilakukan jika mempunyai kewenangan. Sedangkan koruptor sudah tidak mempunyai kewenangan atau kekuasaan, lalu mungkinkah  dia akan melakukan korupsi lagi? Disebutkan pula, bahwa pembebasan napi korupsi tidak akan menimbulkan efek jera kepada orang-orang yang berniat untuk korupsi. Namun, argumentasi ini pun terbantahkan dengan fakta bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) kita masih tinggi yaitu 40 di tahun 2019.

Tentangan yang paling keras terhadap wacana Menkumham tersebut datang dari Presenter sekaligus News Anchor Najwa Shihab. Namun yang sangat disayangkan pula bahwa argumentasi yang dikemukakannya juga menggunakan logika yang sesat.

Pertama, Najwa melakukan hesty generalization yang menganggap semua koruptur mendapat perlakukan istiwewa hanya berdasarkan pada satu atau dua kasus koruptor yang high profile,  yang mendekam di Sukamiskin. Padahal, kita tahu jumlah napi koruptor ada sekitar 4.500 orang, yang tersebar di seluruh Indonesia dengan kondisi yang memprihatinkan. 

Kedua, presenter kondang ini menampilkan  argumentasi buatan (strawman) atau mengada-ada. Seolah-olah Menkumham akan membebaskan semua napi koruptor. Padahal  Menkumham hanya mengusulkan memberi asimilasi terhadap napi koruptur yang usianya 60 tahun ke atas dan telah menjalani   2/3 masa pidananya, yang  jumlahnya hanya 300 orang dari 4500 napi koruptor seluruhnya atau hanya sekitar 6,5 %.

Pembebasan bersyarat itu juga selayaknya diberikan kepada Napi  yang memiliki riwayat penyakit Kronis (penyakit menahun yang tergantung kepada obat-obatan untuk mempertahankan hidupnya).  Sebab mereka tergolong berisiko tingg, yang mengancam jiwa  jika terkena Covid 19. Siapa yang akan bertanggungjawab jika hal terburuk itu terjadi? Maka, tidak patut kiranya rasa kebencian menutupi nurani kemanusiaan.

Diskriminasi PP 99/2012

Sebenarnya dengan adanya PP 99 tahun 2012, napi koruptor mendapatkan perlakuan yang  diskriminatif dan tidak adil karena pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat tidak diberlakukan pada narapidana pidana umum (pidum) berat seperti tindak pidana pembunuhan berencana, pemerkosaan, pencabulan anak, dan prampokan dengan kekerasan dan sebagainya.  Padahal bentuk kejahatan tersebut sangat berbahaya bagi masyarakat.    

Sebagai bukti bahwa pemberlakukan terhadap napi koruptor sangat diskrimatif dan tidak adil dapat dilihat dari perbadingan masa pidana yang harus dijalani oleh napi koruptor dan napi umum (Pidum) tersebut.

Karena mendapat remisi, napi Pidum tersebut yang divonis 5 tahun hanya menjalani masa pidana  sekitar 2 tahun dan 9 bulan; vonis 10 tahun hanya menjalani masa pidana hanya sekitar 5 tahun dan 7 bulan; vonis 15 tahun hanya menjalani 8 tahun dan 8 bulan; dan vonis 20 tahun hanya menjalani masa pidana hanya sekitar 12 tahun.

Bandingkan dengan napi koruptor yang harus menjalani masa pidananya sesuai dengan vonis yang dijatuhkan. Artinya, jika napi koruptor dijatuhi 15 tahun maka dia harus mendekam di penjara selama 15 tahun juga. Oleh karena itu, benar kata Menkumham bahwa mereka yang menolak atau menentang usulannya memiliki rasa kemanusiaan yang tumpul dan penuh dengan rasa kebencian.  

Sudah saatnya kita membangun diskusi publik yang mencerahkan yang jauh dari provokatif, imajinatif, partisan, parsial dan menyudutkan perorangan atau kelompok. Berbeda pendapat atas sesuatu perkara boleh-boleh saja, adalah hal yang lazim di sebuah negara demokrasi. Tetapi tentunya dengan dasar argumentasi yang sehat.  

Media mainstream, jangan pernah menggunakan logika yang keliru atau bahkan menyesatkan dalam reportase atau tayangannya, sebab media massa yang disebut-sebut sebagai pemegang kekuasaan keempat (the fourth estate) setelah lembaga Eksekutif, Yudikatif dan Legislatif, tentunya akan menimbulkan dampak yang berbahaya di masyarakat. Pers adalah cermin masyarakat.  Jika Persnya bodoh, maka kita akan tahu sendiri, bayangan seperti apa yang muncul di masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun