Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pribadi dan Tubuh

4 Januari 2019   07:10 Diperbarui: 6 Februari 2019   23:08 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kamu kenal gak, si Mona cewek pendek gendut mahasiswa FTI UKSW angkatan 2018?", demikian seseorang bertanya pada temannya. "Oh, yang ramah dan pintar itu ya?"

Percakapan antar teman di atas nampak sederhana saja. Namun, bila diselami akan ketahuan bahwa dibalik pengungkapan itu terdapat klaim metafisik yang berharga. Penanya mengandaikan Mona sebagai tubuhnya, sementara respons sang teman mengarah kepada pribadinya. 

Apakah Mona dengan penanda "pendek gendut" merupakan sebuah pengada (subyek), sementara "ramah dan cerdas" merupakan pengada lainnya? Kalau demikian, siapakah Mona pada hakekatnya?

Seorang pencuri mungkin akan berargumen menghindari hukuman penjara karena secara teknis "yang mencuri adalah tangannya," bukan "diri"nya (baca: pribadi-nya). Seorang perempuan yang hamil secara tidak diharapkan akan dengan gampangnya menggugurkan kandungan, atau sebaliknya memeliharanya dengan kasih, meskipun misalnya, dokter memvonis janin di kandungannya berpotensi lahir sebagai anak tidak normal, pengidap virus berbahaya, cacat fisik parmanen atau cacat mental total, dan sebagainya. 

Orang lainnya lagi mungkin akan menjalani seluruh hidupnya dengan hanya "menjual tubuhnya," dan "mengabaikan pribadi/jiwanya," atau sebaliknya "mengelola pribadi/jiwanya" sementara membiarkan "tubuhnya terlantar atau tersiksa."

Kedua contoh di atas sepintas sepele lantaran dialami dalam keseharian kita, namun klaim-klaim ontologis dibaliknya berpotensi memberikan implikasi luas di bidang moral-etis, hukum dan sosial. 

Keduanya berkaitan dengan subyek metafisika tentang Pribadi dan Tubuh, mecakup pertanyaan-pertanyaan seperti, Apakah Pribadi dan Tubuh sama, atau berbeda, atau bahkan bertentangan? Apakah aku adalah tubuh, atau aku adalah pribadi, atau kedua-duanya? Kalau Pribadi dan Tubuh berbeda, bagaimana relasi antara keduanya? Pada akhirnya, pertanyaan-pertanyaan tersebut mengarah kepada satu hal, "Bagaimana aku mengada?"

Minat saya mempelajari topik ini telah berlangsung lama namun makin intensif semenjak beberapa tahun terkhir ini. Perhatian sesungguhnya adalah pencarian "diri sejati" atau "siapa manusia sesungguhnya?" Sebagai seorang trainer  Pengembangan Sumberdaya Manusia, tantangan untuk mengungkap "kesejatian manusia" dan terutama potensi-potensi uniknya menjadi perhatian utama. 

Manusia sejati tetaplah sebuah misteri, dan memahami Pribadi dan Tubuh bagi saya merupakan bagian dari pengungkapan sebagian kecil misteri itu. Dengan ungkapan lain, memahami hakekat Pribadi dan Tubuh serta hubungan antara keduanya akan membantu kita memahami hakekat ada-nya manusia itu sendiri: sebuah ada yang menyadari adanya.

Pandangan Dualisme dan Dualitas

Pandangan dualisme mempertentangkan Pribadi dan Tubuh, yang banyak dikenal misalnya melalui apa yang sering dianggap sebagai ajaran dualisme Platon tentang tubuh-jiwa, dimana "tubuh adalah penjara atau bahkan kuburan bagi jiwa." 

Dualisme tubuh-jiwa ini mendominasi pemikiran filsafat barat, yang kemudian dipertegas lagi oleh Descartes dalam era filsafat barat modern. Dalam dualisme, Tubuh dikaitkan dengan "yang sensibel" dan Jiwa adalah "yang intelligible."

Pandangan dualisme melihat jiwa dan tubuh sebagai dua realitas yang terpisah. Jiwa sifatnya abadi, imortal, dan bergerak sendiri. Sementara, tubuh sifatnya sensible, mortal, dan digerakkan oleh jiwa. Tubuh hanyalah "kendaraan" bagi jiwa. 

Lebih dari itu, tubuh dipandang mengandung negativitas karena diasosiasikan dengan hal duniawi, penjara, kuburan, fana, dan bersifat materi. Sebaliknya, jiwa bersifat serba positif yaitu suci, murni, abadi, rohani, dan sebagainya.

Pandangan ini nampaknya dianut juga oleh, antara lain ajaran agama Kristen. Ajaran dalam injil, misalnya antara lain, "carilah dahulu kerajaan sorga.....," atau "bukan saja dari roti manusia boleh hidup...", atau anjuran lainnya untuk tidak mementingkan kepentingan badaniah melainkan yang sorgawi. Ini akhirnya melahirkan berbagai aliran kepercayaan dalam agama-agama yang lebih radikal yaitu mengajarkan siksa fisik dan mengabaikan (bahkan cenderung antipati terhadap) kehidupan material sebagai barang fana.

Berbeda dengan dualisme yang memperhadapkan Pribadi (jiwa) dan Tubuh secara vis a vis (frontal), pandangan dualitas mengakui adanya perbedaan antara Pribadi dan Tubuh, namun keduanya dilihat sebagai satu kesatuan. Ketika membahas "Status Tubuh dalam Filsafat Platon" A.Setya Wibowo, manjelaskan: "tubuh adalah tanda bagi jiwa dan sebagai tanda. Tubuh bersifat netral. Tubuh memberi petunjuk tentang "siapakah jiwa" di dalamnya". Setya Wibowo menjelaskan makna soma (kuburan) dalam gagasan Platon dimaksudkan bahwa "lewat tubuhlah jiwa memberi tanda pada apapun yang ia tandai". 

Dengan itu, Setya Wibowo menegaskan dua hal. Pertama, soma yang dimaksud oleh Platon tidak semata-mata "kuburan" (yang umumnya dikonotasikan secara negatif, tempat bangkai manusia) melainkan juga "tanda". Penegasan kedua, bahwa tubuh dan jiwa atau persona adalah dualitas, bukan dualisme. Dualitas artinya saling bersanding, saling melengkapi. Berbeda dengan dualisme yang mengandung makna saling bertentangan. Dengan demikian tubuh dan jiwa menunjuk pada satu pengada (subyek). Pengada yang mengada (menyatakan diri / mewujudkan diri) lewat tubuh.

Lalu, Bagaimana?

Dualisme tubuh-jiwa dicoba didamaikan oleh Maurice Merleau-Ponty. Secara tegas Merleau-Ponty mengatakan bahwa kita adalah tubuh. Pandangan ini mengatasi dualisme jiwa-badan. Kesadaran, bagi Merleau-Ponty adalah suatu kesatuan utuh antara tubuh yang menyadari, dan kesadaran yang menubuh. Itulah yang maksudkan dengan tubuh-subyek. 

Kesatuan jiwa-badan ini disatukan lewat konsep persepsi, yang dimaknai sebagai suatu intensi dari seluruh ada kita, yaitu suatu cara mengada yang terletak dalam dunia pra-obyektif yang disebut tre-au-monde (berada dalam dunia). Menurut F.Budi Hardiman, dengan memahami persepsi sebagai intensi dari seluruh cara mengada kita di dunia ini, tubuh manusia dapat dipahami sebagai tubuh-subyek dan bukan badan.

Pandangan M.Sastraprateja,SJ., juga menggambarkan kemenyatuan Tubuh dan Peribadi/Jiwa. Menurutnya, setiap manusia riil ada sebagai "pengada bertubuh" dan menjadi nyata bahwa tubuh "diresapi" kemanusiaan. Makna "manusiawi" tubuh datang dari fakta bahwa tubuh adalah tubuh persona manusia, bersatu dalam persona. 

Jiwa (pribadi) dan tubuh menunjuk pada manusia secara utuh. Tubuh mengungkapkan manusia sebagai organisme hidup yang mewujudkan eksistensinya tak lepas dari kenyataan organiknya dan memberikannya makna manusiawi. Tubuh dan jiwa dengan demikian tidak dapat dipisahkan karena menjelaskan kemengadaan manusia. 

Itulah sebabnya tubuh juga memiliki fungsi fundamental, antara lain sebagai kancah ekspresif manusia, tempat utama dimana kemungkinan manusia mengambil bentuk dan menjadi konkrit. Persona hanya bisa mewujudkan dirinya melalui berbagai tindakan yang terkait dengan dunia badani dan material. 

Fungsi fundamental lainnya yaitu dalam hubungan dengan manusia lain, tubuh manusia adalah "kehadiran" (presentia), bukan sekedar ada. Binatang dan benda ada atau tidak ada, tetapi manusia hadir atau tidak hadir. Hadir mengandaikan "adanya tubuh dan jiwa secara bersama-sama dalam kemenyatuan." Tanpa tubuh, manusia (pribadi) menjadi tidak terlihat, dan tanpa jiwa dia hanya ada, bukan hadir.

Dengan demikian, maka Mona adalah tubuhnya, juga pribadinya. Mona, seperti halnya setiap orang, adalah persepsi yang menubuh. Si "cerdas dan ramah" yang menubuh, itulah Mona. Tetapi apakah itu cukup menjelaskan Mona? 

Belum! Keunikan-keunikan tubuh maupun pribadi Mona akan mempertegas tubuh-subyek Mona, yang membedakannya dari orang lain. Mona adalah tubuhnya, sama seperti aku adalah tubuhku. Tubuh yang subyek. Maka, jelas juga bahwa bukan "tangan yang mencuri" melainkan "aku yang mencuri." "Aku" dalam perngertian, tubuh-subyek aku yang mencuri.

Lalu, bagaimana dengan aborsi? Penjelasan Merleau-Ponty masih meninggalkan pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Sebuah (seorang?) janin apakah sudah termasuk "persepsi yang menubuh" atau "pra persepsi yang sedang menubuh," atau lainnya? Pernyataan seperti "aku hamil," apakah berarti "aku" berbeda dengan "yang ku hamilkan" atau "yang kuhamilkan" masih bagian dari "tubuh-subyek aku"? 

Dengan ungkapan lain lagi, apakah aku adalah sebuah pengada (Being, Dasein) sementara "yang ku hamilkan" adalah pengada lainnya (Being atau being)? Jawaban yang tegas adalah, aku dan yang kuhamilkan adalah satu. Kehamilan ku menyatu dengan aku, bagian dari persepsi aku yang bertubuhkan aku. Sebab, bukan "perut yang hamil" melainkan "aku".

Catatan: tulisan ini sudah di-publish di Indonesia-Menalar.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun