Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pribadi dan Tubuh

4 Januari 2019   07:10 Diperbarui: 6 Februari 2019   23:08 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dualisme tubuh-jiwa ini mendominasi pemikiran filsafat barat, yang kemudian dipertegas lagi oleh Descartes dalam era filsafat barat modern. Dalam dualisme, Tubuh dikaitkan dengan "yang sensibel" dan Jiwa adalah "yang intelligible."

Pandangan dualisme melihat jiwa dan tubuh sebagai dua realitas yang terpisah. Jiwa sifatnya abadi, imortal, dan bergerak sendiri. Sementara, tubuh sifatnya sensible, mortal, dan digerakkan oleh jiwa. Tubuh hanyalah "kendaraan" bagi jiwa. 

Lebih dari itu, tubuh dipandang mengandung negativitas karena diasosiasikan dengan hal duniawi, penjara, kuburan, fana, dan bersifat materi. Sebaliknya, jiwa bersifat serba positif yaitu suci, murni, abadi, rohani, dan sebagainya.

Pandangan ini nampaknya dianut juga oleh, antara lain ajaran agama Kristen. Ajaran dalam injil, misalnya antara lain, "carilah dahulu kerajaan sorga.....," atau "bukan saja dari roti manusia boleh hidup...", atau anjuran lainnya untuk tidak mementingkan kepentingan badaniah melainkan yang sorgawi. Ini akhirnya melahirkan berbagai aliran kepercayaan dalam agama-agama yang lebih radikal yaitu mengajarkan siksa fisik dan mengabaikan (bahkan cenderung antipati terhadap) kehidupan material sebagai barang fana.

Berbeda dengan dualisme yang memperhadapkan Pribadi (jiwa) dan Tubuh secara vis a vis (frontal), pandangan dualitas mengakui adanya perbedaan antara Pribadi dan Tubuh, namun keduanya dilihat sebagai satu kesatuan. Ketika membahas "Status Tubuh dalam Filsafat Platon" A.Setya Wibowo, manjelaskan: "tubuh adalah tanda bagi jiwa dan sebagai tanda. Tubuh bersifat netral. Tubuh memberi petunjuk tentang "siapakah jiwa" di dalamnya". Setya Wibowo menjelaskan makna soma (kuburan) dalam gagasan Platon dimaksudkan bahwa "lewat tubuhlah jiwa memberi tanda pada apapun yang ia tandai". 

Dengan itu, Setya Wibowo menegaskan dua hal. Pertama, soma yang dimaksud oleh Platon tidak semata-mata "kuburan" (yang umumnya dikonotasikan secara negatif, tempat bangkai manusia) melainkan juga "tanda". Penegasan kedua, bahwa tubuh dan jiwa atau persona adalah dualitas, bukan dualisme. Dualitas artinya saling bersanding, saling melengkapi. Berbeda dengan dualisme yang mengandung makna saling bertentangan. Dengan demikian tubuh dan jiwa menunjuk pada satu pengada (subyek). Pengada yang mengada (menyatakan diri / mewujudkan diri) lewat tubuh.

Lalu, Bagaimana?

Dualisme tubuh-jiwa dicoba didamaikan oleh Maurice Merleau-Ponty. Secara tegas Merleau-Ponty mengatakan bahwa kita adalah tubuh. Pandangan ini mengatasi dualisme jiwa-badan. Kesadaran, bagi Merleau-Ponty adalah suatu kesatuan utuh antara tubuh yang menyadari, dan kesadaran yang menubuh. Itulah yang maksudkan dengan tubuh-subyek. 

Kesatuan jiwa-badan ini disatukan lewat konsep persepsi, yang dimaknai sebagai suatu intensi dari seluruh ada kita, yaitu suatu cara mengada yang terletak dalam dunia pra-obyektif yang disebut tre-au-monde (berada dalam dunia). Menurut F.Budi Hardiman, dengan memahami persepsi sebagai intensi dari seluruh cara mengada kita di dunia ini, tubuh manusia dapat dipahami sebagai tubuh-subyek dan bukan badan.

Pandangan M.Sastraprateja,SJ., juga menggambarkan kemenyatuan Tubuh dan Peribadi/Jiwa. Menurutnya, setiap manusia riil ada sebagai "pengada bertubuh" dan menjadi nyata bahwa tubuh "diresapi" kemanusiaan. Makna "manusiawi" tubuh datang dari fakta bahwa tubuh adalah tubuh persona manusia, bersatu dalam persona. 

Jiwa (pribadi) dan tubuh menunjuk pada manusia secara utuh. Tubuh mengungkapkan manusia sebagai organisme hidup yang mewujudkan eksistensinya tak lepas dari kenyataan organiknya dan memberikannya makna manusiawi. Tubuh dan jiwa dengan demikian tidak dapat dipisahkan karena menjelaskan kemengadaan manusia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun