Kreasi Batik dengan teknik tulis (canting) maupun celup dan cetak sudah lazim. Pewarna alam pun. Tetapi, bila daun-daunan dijadikan motif, sekaligus pewarna kainnya, ini baru tak lazim. Di sini ada inovasi anti mainstream, dengan tiga kelebihan sekaligus. Pertama, terbuka untuk selalu melahirkan motif baru berdasarkan jenis dedaunan atau bunga yang mudah didapatkan di lingkungan sekitar. Dengan demikian motif kreasi berbasis kolaborasi alam ini menjadi lebih murah karena mudah didapatkan. Kedua; menghasilkan produk ramah lingkungan. Ketiga; pelaku bisnis akan terus belajar terutama berkaitan dengan jenis daun dan bunga yang bisa memberi warna. Itulah batik bernuansa ecoprint.
Dengan mengusung isu lingkungan, produk ini tergolong futuristik dan menarik untuk digeluti. Mengapa? Pembuat kain berinteraksi akrab dengan lingkungan, terdorong untuk mempelajari jenis dedaunan dan nama tanaman yang digunakannya, serta gradasi dan keunikan warna yang berikannya. Untuk berinovasi dan terus menciptakan corak yang unik produsen tertantang untuk aktif mengobservasi lingkungan dan bereksperimen dengan berbagai tanaman dan dedaunan. Bukan tidak mungkin, bila Anda pencinta tanaman tertentu, bunga tertentu, dapatlah menjadi pilihan motif yang dibuat secara personal. Artinya, produk ini berpotensi mengakomodir selera dan keunikan personal konsumen.
Berbasis ‘eco’, produk ini jelas mengusung konsep sustainability design, dimana yang diutamakan adalah kepentingan kepuasann konsumen agar bisa awet di pasar (dalam jangka panjang), juga faktor ekologi dan sosial dalam semua proses dan tahapan sehingga benar-benar ramah langkungan dan “ramah manusia.” Mulai dari desain, pembuatan produknya, bahan-bahan yang digunakan, hingga pemasarannya terjamin serba ‘eco.’ Sebagai produk tekstil, dapat dikaitkan dengan Eco fashion yang lagi ngetren saat ini. Alasannya, karena sepenuhnya menggunakan bahan baku organik nir kimia, limbah, dan menerapkan konsep fairness.
Itulah yang ditawarkan oleh Cenik Jegek Art (CJ Art), yang beralamat di Jl.Kota Baru II/150 Salatiga. Di rumah kontrakan yang juga menjadi workshop dan galeri koleksi produknya itu, berbagai jenis seperti baju, rok, hem, sprei, sarung bantal, kain, selendang, dan sebagainya dapat dinikmati. Semuanya bernuansa ‘eco.” Sejumlah baju dan rok digantung di gantungan yang terbuat dari bahan bambu dan rotan. Kreasinya apik nan artistik. Selain toko offline, CJ Art juga memiliki toko online yaitu di www.cjolshop.wordpress.com.
CJ Art tergolong UKM berbasis home handmade(industri rumah tangga). Didirikan oleh suami istri Kikis Istianta dan Ketut Endah tahun 2010 mengawali dengan lukis kaos, sepatu, kain dan jeans. Kemudian berkembang ke tas etnik, perlahan masuk ke batik tulis, lalu sibori (shibori), dan akhirnya juga ecoprint.
Bila Anda tertarik untuk melatih komunitas, mas Kikis dan mbak Endah dengan senang hati bersedia memfasilitasi. Kepada saya dan istri yang datang ke wokrshop mereka di rumah kontrakannya itu, tidak tanggung-tanggung bertiga sama putri kesayangan mereka, Agape, menunjukkan kepada kami cara membuatnya. Padahal, waktu itu sudah malam sekitar pukul 19-an. Hari minggu pula. Selembar kain yang sudah dimorden (direndam) siap diwarnai. Nampaknya mudah dan siapa pun, asalkan berminat tentu bisa mempraktekkannya. Tertarik? Berikut gambarannya.
Proses Pembuatan Ecoptrint
Bahan yang dibutuhkan: cuka, daun atau bunga, cuka, air karat (air rendaman besi atau paku karatan), tawas, dan tentu saja kain. Juga sebuah palu kayu yang akan dipakai ‘meremukkan’ daun sehingga warna dan motifnya menempel dan diserap kain. Kalau Anda punya kain atau baju lama yang ingin diberi motif baru, kenapa tidak mencoba? Itu akan bagus.
Pertama-tama kain direbus selama kurang lebih 60 menit. Setelah itu direndam dengan air dingin, lalu ditiriskan hingga kering atau lembab. Kain yang sudah kering itu direndam lagi dengan air cuka. Tujuannya agar meningkatkan keasaman kain sehingga penyerapan warna lebih kuat. Proses ini yang disebut dengan morden.
Kain yang sudah dimorden dibasahi lagi dengan cuka, lalu dibentangkan di atas lantai atau papan yang permukaannya rata bersih. Daun (atau bunga) yang telah dipilih sebagai warna dan motif terlebih dahulu dibasuh dengan air karat, lalu di susun di atas kain. Penyusunan mengikuti selera dan ‘rasa seni’ Anda. Jadi, tidak ada standar. Personal banget, kan?
Kemudian, bagian sebelah kain dilipat menutupi daunan yang telah disusun itu. Langkah selanjutnya adalah ‘memaku’ warna dan motif daunan di kain, yaitu dengan menggunakan palu untuk meremukkan daun-daun itu. Setelah yakin semua motif dan warna yang diharapkan sudah maksimal, proses selanjutnya adalah melipat dan menggulung kain sehingga panjanngnya antara 20-30 SM, sesuai ketebalan kainnya. Perlu diingat, bahwa hasil akhir dari warna tidak selalu bisa diprediksi karena tergantung jenis kain yang digunakan. Daun jati misalnya, pada jenis kain sutra bisa menghasilkan warna yang berbeda daripada digunakan pada kain katun atau wol. Ini sebuah tantangan menarik. Anda seperti menunggu kelahiran bayi Anda di era tanpa USG, menebak-nebak apakah pria atau wanita.
Bagaimana harga dan pemasarannya? Inilah yang menjadi salah satu kendala serius. Untuk kain sutra misalnya, ukuran 2 meter dipatok di harga Rp.800.000, kalau katun seharga berkisar Rp.350.000-400.000. Dengan harga jual yang tidak tergolong murah itu pasarnya menjadi terbatas karena hanya bisa menyasar kelas menengah dan atas. Atau, setidaknya orang-orang yang memiliki kesadaran tinggi pada isu lingkungan. Selama ini bersama komunitas Ecoprint-nya di Jogja yang meliputi 8 UKM hanya mengandalkan pameran dan penjualan online. Untuk menggunakan even pameran, biaya operasionalnya tentu mahal. Menyewa 1 stan saja, dengan luas rata-rata 2 x 3 berkisar di biaya antara Rp.3-5 juta / hari. Sungguh tak murah!
Sejumlah workshop telah dilakukan dengan maksud menularkan ilmu ini kepada masyarakat. Namun, masih sepi peminat. Beberapa komunitas pernah dibina, misalnya di Bandungan, Ngampin. Karanglo, dan Ngalen. Namun, nampaknya yang masih aktif tinggal Karanglo. Minimnya peminat kemungkinan disebabkan karena pasar yang terbatas itu. Apalagi dengan harga yang tergolong mahal, dibandingkan dengan kain motif batik pabrikan yang mudah didapatkan dengan harga jauh lebih murah, tentu tidak mudah bersaing dari segi harga. Meski, secara kualitas produk ecoprint tentu lebih unggul sebab selain memilih sendiri kualitas kainnya, juga warna dan motifnya yang unik (tidak umum).
Ada beberapa keunggulan lain yaitu, produk sangat ramah lingkungan, kesempatan mengembangkan pengetahuan (dibidang tanaman), kebebasan mengkreasi warna dan motif, berpotensi menjadi sangat personal. Juga, limbah daun dan limbah besi (karat) bisa digunakan. Di era sadar lingkungan ini, menurut saya produk ecoprint menjadi sangat menarik dan futuristik. Menggunakan produk ini, kita bukan saja telah berpartisipasi aktif dalam mendukung pelestarian alam dari bahaya kerusakan akibat pesatnya berbagai industri kimia yang telah merambah hingga ke desa-desa, tetapi juga kita menjadi diri sendiri karena memilih motif sesuai selera personal kita. Bahkan, kalau mau Anda bisa membuatnya sendiri sehingga menghasilkan produk yang ‘gue banget.’
Pemodalan tidak ada kendala. Mengawali dengan lukis kaos dan sepatu di tahun 2010, pada tahun 2011 CJ Art mendapat pinjaman modal dari Mandiri Mikro. Kemudian, tahun 2016 ketika mengembangkan ke ecoprint mendapatkan pinjaman modal fasilitas Mitra Jateng. Artinya, untuk melakukan usaha ini berbagai sumber modal tersedia dan mudah diakses.
Harapan ke depannya CJ Art bisa bekerjasama dengan para designer. Lewat “polesan” designer, produk-produk ecoprint diharapkan lebih dikenal luas ke kalangan menengah dan atas. Pasar luar negeri juga tentu berpeluang digarap. Tetapi, nampaknya karena tantangan pasar yang masih terbatas, diperlukan ‘perlindungan pemerintah’ lewat regulasi agar tidak memberatkan dari segi biaya pengiriman.
Terobosan lain yang perlu dipikirkan pemerintah adalah menyediakan even-even pameran dengan biaya murah. Misalnya, yang dilakukan oleh kementrian terkait seperti perdagangan, industri kreatif, bahkan bisa juga pariwisata. Mungkin sebaiknya tidak dipatok biaya per stan/hari, melainkan prosentasi dari penjualan di pameran. Cara ini rasanya lebih fair dan ramah terhadap usaha-usaha kreatif berbasis rumah tangga seperti yang dijalankan oleh mas Kikis dan mbak Endah dan UKM lainnya. Ketika pemodalan tidak lagi masalah, kini pemasarannya yang membutuhkan uluran tangan pemerintah.
Selesai bertanya-tanya dan diperlihatkan cara pembuatannya, saya dan istri pun hendak pamit. Eh, ternyata saya dihadiahi sebuah hem, dengan motif daun jati. Bayangkan, sudah kerepotan karena diganggu di jam istirahat, berbagi ilmu berharga, kini diberi hadiah pula. Sungguh baik orang-orang ini. Saya dan istri hanya bisa mendoakan agar usaha mas Kikis, mbak Endah dan Agape berjalan lancar dan berkembang pesat.
Rasanya ingin juga mengikuti jejak CJ Art, bagaimana dengan Anda? Bagi yang tertarik, silahkan mengunjungi workshopnya, baik yang offline maupun online. Di toko onlinenya itu alamat kontak sudah tertera.
Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H