Pertama-tama kain direbus selama kurang lebih 60 menit. Setelah itu direndam dengan air dingin, lalu ditiriskan hingga kering atau lembab. Kain yang sudah kering itu direndam lagi dengan air cuka. Tujuannya agar meningkatkan keasaman kain sehingga penyerapan warna lebih kuat. Proses ini yang disebut dengan morden.
Kain yang sudah dimorden dibasahi lagi dengan cuka, lalu dibentangkan di atas lantai atau papan yang permukaannya rata bersih. Daun (atau bunga) yang telah dipilih sebagai warna dan motif terlebih dahulu dibasuh dengan air karat, lalu di susun di atas kain. Penyusunan mengikuti selera dan ‘rasa seni’ Anda. Jadi, tidak ada standar. Personal banget, kan?
Kemudian, bagian sebelah kain dilipat menutupi daunan yang telah disusun itu. Langkah selanjutnya adalah ‘memaku’ warna dan motif daunan di kain, yaitu dengan menggunakan palu untuk meremukkan daun-daun itu. Setelah yakin semua motif dan warna yang diharapkan sudah maksimal, proses selanjutnya adalah melipat dan menggulung kain sehingga panjanngnya antara 20-30 SM, sesuai ketebalan kainnya.  Perlu diingat, bahwa hasil akhir dari warna tidak selalu bisa diprediksi karena tergantung jenis kain yang digunakan. Daun jati misalnya, pada jenis kain sutra bisa menghasilkan warna yang berbeda daripada digunakan pada kain katun atau wol. Ini sebuah tantangan menarik. Anda seperti menunggu kelahiran bayi Anda di era tanpa USG, menebak-nebak apakah pria atau wanita.
Bagaimana harga dan pemasarannya? Inilah yang menjadi salah satu kendala serius. Untuk kain sutra misalnya, ukuran 2 meter dipatok di harga Rp.800.000, kalau katun seharga berkisar Rp.350.000-400.000. Dengan harga jual yang  tidak tergolong murah itu pasarnya menjadi terbatas karena hanya bisa menyasar kelas menengah dan atas. Atau, setidaknya orang-orang yang memiliki kesadaran tinggi pada isu lingkungan. Selama ini bersama komunitas Ecoprint-nya di Jogja yang meliputi 8 UKM hanya mengandalkan pameran dan penjualan online. Untuk menggunakan even pameran, biaya operasionalnya tentu mahal. Menyewa 1 stan saja, dengan luas rata-rata 2 x 3 berkisar di biaya antara Rp.3-5 juta / hari.  Sungguh tak murah!
Sejumlah workshop telah dilakukan dengan maksud menularkan ilmu ini kepada masyarakat. Namun, masih sepi peminat. Beberapa komunitas pernah dibina, misalnya  di Bandungan, Ngampin. Karanglo, dan Ngalen. Namun, nampaknya yang masih aktif tinggal Karanglo. Minimnya peminat kemungkinan disebabkan karena pasar yang terbatas itu. Apalagi dengan harga yang tergolong mahal, dibandingkan dengan kain motif batik pabrikan yang mudah didapatkan dengan harga jauh lebih murah, tentu tidak mudah bersaing dari segi harga. Meski, secara kualitas produk ecoprint tentu lebih unggul sebab selain memilih sendiri kualitas kainnya, juga warna dan motifnya yang unik (tidak umum).
Ada beberapa keunggulan lain yaitu, produk sangat ramah lingkungan, kesempatan mengembangkan pengetahuan (dibidang tanaman), kebebasan mengkreasi warna dan motif, berpotensi menjadi sangat personal. Juga, limbah daun dan limbah besi (karat) bisa digunakan. Di era sadar lingkungan ini, menurut saya produk ecoprint menjadi sangat menarik dan futuristik. Menggunakan produk ini, kita bukan saja telah berpartisipasi aktif dalam mendukung pelestarian alam dari bahaya kerusakan akibat pesatnya berbagai industri kimia yang telah merambah hingga ke desa-desa, tetapi juga kita menjadi diri sendiri karena memilih motif sesuai selera personal kita.  Bahkan, kalau mau Anda bisa membuatnya sendiri sehingga menghasilkan produk yang ‘gue banget.’
Pemodalan tidak ada kendala. Mengawali dengan lukis kaos dan sepatu di tahun 2010, pada tahun 2011 CJ Art mendapat pinjaman modal dari Mandiri Mikro. Kemudian, tahun 2016 ketika mengembangkan ke ecoprint mendapatkan pinjaman modal fasilitas Mitra Jateng. Artinya, untuk melakukan usaha ini berbagai sumber modal tersedia dan mudah diakses. Â