Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Presiden Joko Widodo dan Demokrasi Kebablasan Kita (1)

23 Februari 2017   15:15 Diperbarui: 23 Februari 2017   15:29 2285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi menyatakan praktik politik ekstrim sekarang ini lantaran demokrasi kita kebablasan (REUTERS)

Di sejumlah kasus, polisi (aparat negara) terlihat memfasilitasi gerakan-gerakan sipil yang mengusung pendekatan kekerasan mengitimidasi massa. Apa yang dikatakan dan diinginkan mayoritas diklaim sebagai kebenaran. Dan, dengan tekanan massa dibelakangnya, kebenaran-kebenaran primodial itu dipaksakan ke ruang publik bahkan ke ruang politik. Seolah-olah kebenaran dan keadilan adalah yang ditentukan oleh kelompok mayoritas.

Konsepsi mayoritas seharusnya hanya boleh beroperasi di DPR sebagai institusi yang merepresentasi rakyat (pemilih). Jadi, lebih berkaitan dengan penguasaan kursi partai politik di lembaga legislatif. Bukan melekat pada massa, apalagi  yang dipaksakan hanya pada kesamaan identitas agama saja. Karenanya, membawa-bawa “mayoritas” keluar dari ruang politik, dan memaksakannya di ruang publik jelas sebuah kebablasan. 

Mengikat semangat komunal-primordial dalam gerbong bernama mayoritas dapat dibaca sebagai pengabaian terhadap kecerdasan individu. Sebuah pertanda bahwa individu belum bisa berpikir mandiri karenanya menyerahkan keputusan terkait hak dan kewajiban politiknya kepada komunitas. Tepatnya kepada para elit yang mengkonsolidasi massa.

Pun terlihat ada kecenderungan memanfaatkan demokrasi untuk menciptakan pemerintahan yang tidak demokratis lewat sistem yang bernuansa agama. Belajar dari abad pertengahan, dan apa yang terjadi di Timur Tengah, pemerintahan yang dikendalikan agama mengabaikan, bahkan menentang demokrasi. Sebab, dalam pandangan sejumlah penganut radikalisme agama (baik Islam, Kristen, Hindu dan sebagainya), demokrasi dinegatifkan begitu saja sebagai sekularisme. Parahnya lagi, sekularisme dipahamkan sebagai “anti agama.” 

Seperti virus kekerasan, teror dan pemaksaan kehendak primordial yang menyebar cepat lewat ikon-ikon globalisasi, liberalisme dan demokrasi tetapi kemudian merusaknya, demikian pula terjadi di level negara bangsa. Para agen-agen ideologi kekerasan menggunakan instrumen-intrumen demokratis yang cacat itu untuk memaksakan kehendak dan berusaha menguasai pemerintahan. Lalu, mengganti sistem demokrasi dengan doktrin keagamaan yang berpusat pada kewibawaan ulama. Ini bentuk kebablasan lainnya.

Salah satu faktor yang kerap dilupakan adalah bahwa penerapan demokrasi mempersyaratkan kematangan intelektual warga negara. Hanya warga yang bisa berpikir rasional yang mampu membuat pilihan-pilihan politik secara cerdas. Bila prasyarat ini tidak terpenuhi, akan muncul para penyesat yang memanipulasi kepentingan massa. Dalam penggunaan hak memilih pemimpin misalnya, massa disesatkan untuk memilih dengan alasan yang tidak valid. Sebagai contoh, memilih di pilkada, seharusnya tidak ada kaitan dengan prasyarat kesamaan agama, kesantunan, pandai orasi, lemah lembut, dan sebagainya. 

Kriteria utama yang lebih dibutuhkan pada seorang kandidat kepala daerah seharusnya adalah kinerja, rekam jejak, kualitas pelayanan publiknya, loyalitas pada konstitusi,  integritas dan kejujurannya. Mengapa? Sebab kualitas-kualitas seperti itulah yang terkait langsung dengan tugas-tugas utama dan peran kepala daerah. Kualitas-kualitas itu merupakan unit kompetensi inti bagi kepala daerah. Tanpa memiliki kualitas tersebut seseorang tidak kompeten menjadi kepala daerah. Sementara, kesamaan identitas eksterior seperti agama, suku, kesantunan, loyalitas, kalau memang diperlukan, hanyalah sebagai kriteria sekunder.  

Selain prasyarat kematangan intelektual, demokrasi kita yang dikenal sebagai demokrasi Pancasila memiliki kekhasan lain, yaitu unsur musyawarah dan mufakat.  Artinya, “suara mayoritas” yang dihasilkan lewat mekanisme voting versi demokrasi Barat bukanlah ciri utama demokrasi kita.  Musyawarah-mufakatlah nyawa dari demokrasi kita, yang  didalamnya menekankan sikap arif-bijaksana. 

Jadi bukan sekadar kecerdasan intelektual. Atas pertimbangan inilah usul seorang I Gusti Ketut Pudjo, wakil dari Bali dalam persidangan BPUPKI agar kata “Allah” dalam draf Mukadimah UUD’45 diganti dengan “Tuhan,” diterima oleh semua peserta sidang.  Alasanya, karena konsep Allah kurang dikenal dalam budaya Hindu, sementara konsep Tuhan lebih dekat. Ini pertanda para founding parents kita saja memiliki kematangan intelektual yang mumpuni, melainkan terutama memiliki kearifan dan kebijaksanaan yang memprioritaskan musayawarah-mufakat. 

Mengamati kondisi politik kita saat ini, nampaknya berbagai syarat minimal yang dituntut oleh demokrasi seperti dijelaskan di atas belum terpenuhi. Masyarakat, bahkan para elit tidak dapat bermusyawarah dengan baik. Debat-debat publik berlangsung tanpa arah dan cenderung sangat sofistik. Saling melukai dan membantai. Sebagai akibatnya, demokrasi menjadi liar dan sesat arah. Tidak lagi dikendalikan oleh konstitusi dan hukum melainkan oleh massa yang kerap keblinger. Maka, negara terancam jatuh dalam tirani.

Cara terampuh adalah penataan hukum. Pertama; pastikan semua produk hukum memiliki rujukan langsung ke Pancasila dan UUD’45 sebagai konstitusi negara. Tidak boleh ada aturan yang bertentangan dengan kedua sumber utama itu: Pancasila sebagai landasan filosofis dan UUD’45 sebagai landasan konstitusional. Sistem hirarkhi hukum harus ketat diberlakukan. Dengan demikian, setiap produk hukum, mulai dari level nasional hingga daerah-daerah harus merujuk ke hirarki hukum di atasnya. Kedua; penegakan hukum. Tidak boleh ada toleransi terhadap pelanggar hukum. Juga, penegakkan hukum tanpa pandang bulu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun