Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Presiden Joko Widodo dan Demokrasi Kebablasan Kita (1)

23 Februari 2017   15:15 Diperbarui: 23 Februari 2017   15:29 2285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi menyatakan praktik politik ekstrim sekarang ini lantaran demokrasi kita kebablasan (REUTERS)

Berpidato di acara pelantikan Pengurus Partai Hanura periode 2017-2022 di SICC Bogor (22/2/2017), presiden Joko Widodo (Jokowi)  mengatakan bahwa demokrasi kita sudah kebablasan. Menurutnya, praktek demokrasi kita dewasa ini membuka peluang terjadinya artikulasi politik yang menyimpang dari Pancasila, seperti liberalisme, radikalisme, fundamentalisme, dan sebagainya. Selanjutnya, politisasi SARA, saling fitnah, saling memaki dan sejenisnya disebut  sebagai contoh penyimpangan praktek demokrasi kita (harian Kompas 23/2/2017).)

Apa yang dikhawatirkan oleh Presiden Jokowi sesungguhnya juga telah menjadi kekhawatiran banyak orang. Itulah sebabnya muncul berbagai tuntutan untuk mensosialisasikan Pancasila, membubarkan ormas radikal, menindak penyebar berita hoax, penegakan hukum, dan sebagainya.

Jauh di awal kelahirannya di Yunani demokrasi telah dipersoalkan. Platon misalnya, menentang sistem ini. Merujuk kasus yang dialami sang guru, yaitu Socrates yang divonis hukuman mati lewat voting anggota polis, Platon mendeteksi virus berbahaya di rahim kandungan demokrasi.

Bila dewan polis (kini DPR/lembaga legistlatif) terdiri dari orang-orang yang sebagian besarnya “jahat” maka keputusan-keputusan politik yang dihasilkan kencedrung jahat. Lewat voting  280 suara menyetujui hukuman mati bagi Socrates sementara 220 menentangnya. Orang yang dianggap paling bijak dan membawa pencerahan bagi masyarakat Athena justru dieksekusi mati di atas altar kebenaran dan keadilan versi mayoritas.

Meski demikian  demokrasi tetaplah bentuk pemerintahan yang lestari sebagai model rujukan hingga abad serba digital kini. Bahkan dapat dikatakan sebagai sistem pemerintahan terbaik, terbukti meski berusia lebih dari 2500 tahun masih tetap relevan dan diadopsi sebagian besar negara modern.

Indonesia salahsatunya. Dalam muqadimah konstitusi kita dengan tegas tercantum di alinea keempat: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat....” Dengan demikian secara formal kita telah mempraktekkan sistem demokrasi sejak awal pembentukan pemerintahan.  

Bila dilacak jauh lagi ke belakang, akan mudah ditemukan dalam praktek kepemimpinan lokal di berbagai kebudayaan Nusantara, betapa kentalnya  unsur demokrasi mewarnai pengambilan keputusan adat. Artinya, sebagai konsep sistem demokrasi memang berasal dari Yunani, lalu dikembangkan oleh negara-negara Eropa dan Amerika. Lewat penjajahan dan pergaulan internasional, demokrasi mendapatkan jalan masuk ke negara-negara yang baru merdeka di kemudian hari. Namun secara substansi demokrasi telah lama dipraktekkan oleh nenek moyang kita.

Sayangnya, dalam perkembangan praktek berdemokrasi kita jauh lebih dalam merujuk roh demokrasi Barat daripada demokrasi khas negara kita. Itulah sebabnya menjadi kebablasan, seperti ditengarai Presiden Jokowi. Betapa  tidak?

Atas nama demokrasi orang mau berbuat seenaknya. Seolah-olah demokrasi sepenuhnya adalah kebebasan: bebas teriak-teriak, bebas memaki orang, bebas memfitnah, bebas berdemonstrasi menuntut apa saja yang menjadi keinginan, bebas memaksa aparat menangkap orang yang tak disukai, dan sebagainya. Pokoknya, demokrasi sama dengan bebas. Kalau ditegur, dilarang, dan diatur-tertibkan dianggap hak politiknya dikekang. Lalu dikaitkan dengan pelanggaran hak azasi manusia, pelecehan, penistaan, diskriminasi dan sebagainya. Demokrasi dalam kondisi seperti ini telah kehilangan nalar, juga kehilangan kompas.

Demokrasi juga kerap dipahami sebagai “milik mayoritas.” Banyak kali klaim mayoritas digunakan untuk memaksakan tuntutan agar diberi hak istimewa. Konsep mayoritas yang digunakan juga ‘hanya terkait identitas keagamaan,” dan bukan  identitas lainya, seperti jenis kelamin (jender), etnis, kesamaan hobi, kelas sosial, dan sebagainya.  Cara berpikir demikian banyak menyesatkan. Dengan logika sesat ini, para pengusung memaksakan tuntutan agar mereka didengar dan diikuti. Pemimpin (baik kepala daerah maupun kepala negara) harus dari kalangan mereka. Bila kandidat yang mereka usung tidak terpilih lantas dianggap ada kecurangan dan skenario global untuk menghancurkan mereka.

Dengan mengatasnamakan demokrasi, para penganut ideologi kekerasan berusaha menggalang massa untuk memperkuat klaim mayoritas. Berbagai upaya diskusi publik dan musyawarah diabaikan. Perbedaan dilihat sebagai musuh yang dihadapi dengan berbagai cara, termasuk pengarahan massa, fatwa agama, dan sejenisnya.

Di sejumlah kasus, polisi (aparat negara) terlihat memfasilitasi gerakan-gerakan sipil yang mengusung pendekatan kekerasan mengitimidasi massa. Apa yang dikatakan dan diinginkan mayoritas diklaim sebagai kebenaran. Dan, dengan tekanan massa dibelakangnya, kebenaran-kebenaran primodial itu dipaksakan ke ruang publik bahkan ke ruang politik. Seolah-olah kebenaran dan keadilan adalah yang ditentukan oleh kelompok mayoritas.

Konsepsi mayoritas seharusnya hanya boleh beroperasi di DPR sebagai institusi yang merepresentasi rakyat (pemilih). Jadi, lebih berkaitan dengan penguasaan kursi partai politik di lembaga legislatif. Bukan melekat pada massa, apalagi  yang dipaksakan hanya pada kesamaan identitas agama saja. Karenanya, membawa-bawa “mayoritas” keluar dari ruang politik, dan memaksakannya di ruang publik jelas sebuah kebablasan. 

Mengikat semangat komunal-primordial dalam gerbong bernama mayoritas dapat dibaca sebagai pengabaian terhadap kecerdasan individu. Sebuah pertanda bahwa individu belum bisa berpikir mandiri karenanya menyerahkan keputusan terkait hak dan kewajiban politiknya kepada komunitas. Tepatnya kepada para elit yang mengkonsolidasi massa.

Pun terlihat ada kecenderungan memanfaatkan demokrasi untuk menciptakan pemerintahan yang tidak demokratis lewat sistem yang bernuansa agama. Belajar dari abad pertengahan, dan apa yang terjadi di Timur Tengah, pemerintahan yang dikendalikan agama mengabaikan, bahkan menentang demokrasi. Sebab, dalam pandangan sejumlah penganut radikalisme agama (baik Islam, Kristen, Hindu dan sebagainya), demokrasi dinegatifkan begitu saja sebagai sekularisme. Parahnya lagi, sekularisme dipahamkan sebagai “anti agama.” 

Seperti virus kekerasan, teror dan pemaksaan kehendak primordial yang menyebar cepat lewat ikon-ikon globalisasi, liberalisme dan demokrasi tetapi kemudian merusaknya, demikian pula terjadi di level negara bangsa. Para agen-agen ideologi kekerasan menggunakan instrumen-intrumen demokratis yang cacat itu untuk memaksakan kehendak dan berusaha menguasai pemerintahan. Lalu, mengganti sistem demokrasi dengan doktrin keagamaan yang berpusat pada kewibawaan ulama. Ini bentuk kebablasan lainnya.

Salah satu faktor yang kerap dilupakan adalah bahwa penerapan demokrasi mempersyaratkan kematangan intelektual warga negara. Hanya warga yang bisa berpikir rasional yang mampu membuat pilihan-pilihan politik secara cerdas. Bila prasyarat ini tidak terpenuhi, akan muncul para penyesat yang memanipulasi kepentingan massa. Dalam penggunaan hak memilih pemimpin misalnya, massa disesatkan untuk memilih dengan alasan yang tidak valid. Sebagai contoh, memilih di pilkada, seharusnya tidak ada kaitan dengan prasyarat kesamaan agama, kesantunan, pandai orasi, lemah lembut, dan sebagainya. 

Kriteria utama yang lebih dibutuhkan pada seorang kandidat kepala daerah seharusnya adalah kinerja, rekam jejak, kualitas pelayanan publiknya, loyalitas pada konstitusi,  integritas dan kejujurannya. Mengapa? Sebab kualitas-kualitas seperti itulah yang terkait langsung dengan tugas-tugas utama dan peran kepala daerah. Kualitas-kualitas itu merupakan unit kompetensi inti bagi kepala daerah. Tanpa memiliki kualitas tersebut seseorang tidak kompeten menjadi kepala daerah. Sementara, kesamaan identitas eksterior seperti agama, suku, kesantunan, loyalitas, kalau memang diperlukan, hanyalah sebagai kriteria sekunder.  

Selain prasyarat kematangan intelektual, demokrasi kita yang dikenal sebagai demokrasi Pancasila memiliki kekhasan lain, yaitu unsur musyawarah dan mufakat.  Artinya, “suara mayoritas” yang dihasilkan lewat mekanisme voting versi demokrasi Barat bukanlah ciri utama demokrasi kita.  Musyawarah-mufakatlah nyawa dari demokrasi kita, yang  didalamnya menekankan sikap arif-bijaksana. 

Jadi bukan sekadar kecerdasan intelektual. Atas pertimbangan inilah usul seorang I Gusti Ketut Pudjo, wakil dari Bali dalam persidangan BPUPKI agar kata “Allah” dalam draf Mukadimah UUD’45 diganti dengan “Tuhan,” diterima oleh semua peserta sidang.  Alasanya, karena konsep Allah kurang dikenal dalam budaya Hindu, sementara konsep Tuhan lebih dekat. Ini pertanda para founding parents kita saja memiliki kematangan intelektual yang mumpuni, melainkan terutama memiliki kearifan dan kebijaksanaan yang memprioritaskan musayawarah-mufakat. 

Mengamati kondisi politik kita saat ini, nampaknya berbagai syarat minimal yang dituntut oleh demokrasi seperti dijelaskan di atas belum terpenuhi. Masyarakat, bahkan para elit tidak dapat bermusyawarah dengan baik. Debat-debat publik berlangsung tanpa arah dan cenderung sangat sofistik. Saling melukai dan membantai. Sebagai akibatnya, demokrasi menjadi liar dan sesat arah. Tidak lagi dikendalikan oleh konstitusi dan hukum melainkan oleh massa yang kerap keblinger. Maka, negara terancam jatuh dalam tirani.

Cara terampuh adalah penataan hukum. Pertama; pastikan semua produk hukum memiliki rujukan langsung ke Pancasila dan UUD’45 sebagai konstitusi negara. Tidak boleh ada aturan yang bertentangan dengan kedua sumber utama itu: Pancasila sebagai landasan filosofis dan UUD’45 sebagai landasan konstitusional. Sistem hirarkhi hukum harus ketat diberlakukan. Dengan demikian, setiap produk hukum, mulai dari level nasional hingga daerah-daerah harus merujuk ke hirarki hukum di atasnya. Kedua; penegakan hukum. Tidak boleh ada toleransi terhadap pelanggar hukum. Juga, penegakkan hukum tanpa pandang bulu. 

Penegakan hukum tidak boleh didasarkan atas tekanan dan intimidasi, melainkan atas dasar ayat-ayat hukum nasional yang tegas. Ketiga; nilai-nilai budaya dan kearifan lokal diberi ruang ekspresi yang lebih luas. Hukum nasional (karena lahir dari rahim budaya suku-suku bangsa) tidak boleh membunuh ibu kandungnya. Harus ada sinergisitas yang saling menghidupkan. Dengan cara itu, roh demokrasi lokal dibangkitkan untuk memperkuat praktek demokrasi di negara Pancasila ini. Dengan itu, demokrasi Pancasila makin diperkaya dan diperkuat.

Hanya dengan cara demikianlah demokrasi kita dapat dikembalikan ke rel-nya. Semua dinamika politik, kreativitas ide dan tuntutan kepentingan massa boleh bebas dan terjamin berbalapan ramai di landas pacu rute konstitusi dan dasar negara. Semoga dengan itu demokrasi menjadi sehat dan bertumbuh menuju kematangan yang mensejahterakan seluruh masyarakat Indonesia.

Salam Kompasiana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun